Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store
Presiden yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menghadiri perayaan HUT Ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/02).

“Ndasmu” dan “Kau yang Gelap”: Rezim Anti Kritik?



Berita Baru, Jakarta – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto menuai kritik dari publik akibat pernyataannya. Pada puncak acara HUT Partai Gerindra di Sentul, Bogor, pada Sabtu (15/2/2025), ia melontarkan kata “ndasmu”, sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti “kepalamu”. Dalam konteks tertentu, kata-kata tersebut bisa terdengar kasar atau merendahkan karena merupakan ekspresi ketidakpercayaan, sindiran, atau ejekan.

Dilansir dari VOAIndonesia, Presiden Prabowo beberapa kali melontarkan kata “ndasmu”, salah satunya saat menanggapi kritik terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang merupakan salah satu janji kampanyenya.

“Negara kita sangat besar. Sudah kita mulai sekian ratus orang, masih ada yang komentar belum banyak. Kalau enggak ada wartawan, saya bilang ndasmu,” ujar Prabowo, peserta menanggapi dengan tawa.

“Ada orang pintar bilang, kabinet ini gemuk, terlalu besar… ndasmu,” ucapnya lagi, merespons kritik terhadap susunan kabinetnya yang dinilai tidak efisien.

Pernyataan kontroversial ini tidak hanya dilontarkan oleh Presiden Prabowo, tetapi juga beberapa pejabat publik lainnya dengan nada serupa.

Sebagai contoh, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, pernah menanggapi kritik masyarakat mengenai situasi negara yang semakin sulit—yang disampaikan melalui tagar #IndonesiaGelap—dengan pernyataan, “kau yang gelap!”

Gaya komunikasi pejabat yang semakin bebas dari norma dan cenderung kasar menimbulkan pertanyaan: apakah ini merupakan strategi komunikasi politik yang spontan untuk menarik simpati publik, atau justru berpotensi memperlebar kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat?

Seorang pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan berpendapat bahwa penggunaan bahasa informal yang cenderung kasar oleh pejabat publik bukan hanya persoalan gaya berkomunikasi, tetapi juga mencerminkan pola interaksi antara pemerintah dan masyarakat.

“Secara teoritis maupun secara praktis, pemerintah, atau mereka yang menjalankan amanat dari rakyat, membutuhkan partisipasi (masyarakat). Ketika dialog (antara pemerintah dan masyarakat) itu kemudian ditutup dengan kata-kata yang tidak pantas, masyarakat akhirnya akan mengambil jarak, sehingga secara teoritis partisipasi publik akan menjadi minim,” paparnya.

Firman juga berpendapat bahwa sebuah kritik sudah seharusnya dipahami sebagai bentuk partisipasi publik. Kritik bukanlah ancaman yang harus ditanggapi dengan sindiran dan pernyataan defensif. Jika bentuk komunikasi seperti itu terus dinormalisasi, hal itu berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Di sisi lain, saat cara komunikasi pejabat yang kasar menjadi tren, media menghadapi dilema besar dalam melaporkan pernyataan tersebut. Media dihadapkan dua pilihan, antara menuliskan pernyataan apa adanya atau memoles untuk menghindari kesalahpahaman.

Pengamat jurnalistik dan media di Universitas Multimedia Nusantara, Rossalyn Asmarantika menilai bahwa media sering kali memilih jalur yang lebih sensasional dalam memberitakan pernyataan pejabat.

“Seperti cuplikan, misalnya ada menteri, atau presiden, mengeluarkan diksi tertentu yang kontroversial, atau yang bikin kita tercengang, yang mungkin tidak sepantasnya dikatakan. Nah, itu dilempar begitu saja sama medianya. Mungkin yang perlu dilakukan adalah put the context,” papar Rossalyn.

Tren pernyataan pejabat yang semakin berkembang di masyarakat ini berpotensi buruk bagi pemerintah sendiri. Di sana lah pesan juru bicara harus dihadirkan agar pesan pemerintah dapat tersampaikan dengan lebih baik dan beretika.

“Kan sudah menunjuk juru bicara, sudah memilih orang-orang yang bisa berbicara dengan masyarakat yang beragam. Menurut saya, gunakanlah itu untuk membangkitkan partisipasi publik,” pungkas Firman.