Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pelonggaran SVLK: Ancaman Bagi Ekspor Kayu Legal dan Keberlanjutan Hutan
foto hutan alam dengan tegakan kayu merbau di Papua Barat Daya, dan foto penebangan hutan ilegal di hutan Papua Barat Daya. (dok. Foto: JPIK)

Pelonggaran SVLK: Ancaman Bagi Ekspor Kayu Legal dan Keberlanjutan Hutan



Berita Baru, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menyetujui usulan pengusaha agar dokumen legalitas kayu (SVLK) menjadi persyaratan opsional dalam ekspor furnitur dan kerajinan, hanya diwajibkan untuk negara tujuan yang mensyaratkannya. Kebijakan ini, menurut CNBC Indonesia (21/5/2025), diambil sebagai respons terhadap tekanan perdagangan global, termasuk tarif tinggi dari beberapa negara seperti Amerika Serikat.

Keputusan pemerintah ini menuai kekhawatiran dari para pegiat lingkungan dan pemerhati tata kelola hutan. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) bersama lebih dari 50 organisasi masyarakat sipil secara tegas menolak kebijakan tersebut melalui pernyataan bersama, serta mendesak Kementerian Perdagangan untuk menunda penerapannya. Pelonggaran aturan ini dikhawatirkan dapat merusak reputasi Indonesia sebagai pelopor perdagangan kayu legal dan berkelanjutan.

Pelemahan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK)

Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) adalah hasil proses panjang sejak 2003 untuk menghapus stigma Indonesia sebagai penghasil kayu ilegal dan mulai diterapkan resmi pada 2009 guna menjamin legalitas serta daya saing produk kayu di pasar global. Meski sempat dilonggarkan pada 2015 dan 2019, kebijakan itu akhirnya dibatalkan setelah mendapat penolakan masyarakat sipil dan perhatian Uni Eropa.

Kini pada 2025, pelonggaran kembali muncul dengan menjadikan dokumen V-Legal opsional, hanya diwajibkan jika diminta negara tujuan ekspor. Rencana penghapusan kewajiban due diligence dan deklarasi impor juga sedang dibahas. Meski terlihat fleksibel, kebijakan ini dinilai melemahkan sistem tata kelola kehutanan yang selama ini menjaga transparansi dan akuntabilitas.

Dampak dari Pelemahan SVLK

Dikutip dari Siaran Pers JPIK, dalam Pernyataan Bersama yang dirilis pada 24 Mei 2025, para penandatangan menyampaikan sejumlah dampak yang akan timbul jika kebijakan relaksasi ini diberlakukan:

  1. Hilangnya Kepercayaan Pasar dan Peluang Ekspor
    Melemahnya sistem ini akan menimbulkan keraguan pada pembeli internasional karena tidak ada sistem resminya.
  2. Menurunnya Daya Saing di Pasar Global
    Jika Indonesia melonggarkan SVLK, maka produk kayu nasional berisiko kehilangan posisi kompetitif.
  3. Risiko Sanksi Perdagangan Internasional
    Kelonggaran ini dinilai bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) FLEGT dengan Uni Eropa dan Inggris.
  4. Merugikan Pelaku UKM dan Masyarakat Lokal
    Pelonggaran sistem akan membingungkan dan meningkatkan beban kepatuhan bagi UKM dan masyarakat adat, padahal mereka telah memenuhi SVLK untuk masuk pasar global.
  5. Memicu Kembali Pembalakan Liar
    Pelonggaran ini akan menimbulkan celah masuknya kayu hasil pembalakan liar ke rantau peredaran kayu dan merusak integritas sistem serta kelestarian hutan Indonesia.

Tuntutan Masyarakat Sipil

JPIK menyerukan kepada Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian, untuk:

  1. Membatalkan rencana deregulasi SVLK dan dokumen V-Legal, serta menjaga sistem legalitas nasional sebagai prasyarat mutlak untuk ekspor seluruh produk kayu, tanpa pengecualian.
  2. Bersinergi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, masyarakat sipil, dan mitra pembangunan dalam merumuskan kebijakan ekspor yang adil, legal, dan berkelanjutan.
  3. Mendorong upaya pengakuan pasar internasional terhadap SVLK melalui inisiatif diplomasi dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan.
  4. Memastikan UKM dan masyarakat adat tidak dikorbankan, tetapi justru diperkuat sebagai pelaku utama dalam rantai nilai kehutanan yang legal dan lestari.

beras