
Pemilu 2024, Antara Demokrasi Kultus dan Gagasan
Oleh : Eko Yudianto Yunus*
Demokrasi di Indonesia telah mengalami dinamika dan bentuk karakteristiknya sendiri. Sebagai negara yang menduduki posisi sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia selain Amerika Serikat dan India, Indonesia telah mengalami masa ‘demokratisasi gelombang ketiga’ bersama beberapa negara Asean lain yaitu Malaysia, Filipina dan Thailand, dan saat ini Indonesia telah memasuki fase perubahan yang signifikan dalam politik dan pemerintahannya.
Lebih dari Sepuluh tahun sejak awal demokratisasi Indonesia terjadi, demokrasi di Indonesia cenderung melamban untuk mencapai ‘kestabilannya’.
Berdasarkan riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi di tahun 2022. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada Indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Meski nilai indeks tetap, ranking Indonesia di tingkat global menurun dari 52 menjadi 54.
Saat ini demokrasi tidak akan bisa lepas dari politik dan kekuasaan. Karena kekuatan politik politik itu sendiri adalah kemampuan untuk membujuk, memaksa, mengubah, mempengaruhi, memodifikasi atau memanipulasi tindakan, keyakinan atau nilai yang dimiliki individu lain atau dapat pula dikatakan bahwa kekuasaan politik adalah tentang bagaimana mengubah arah tujuan.
Semua kekuasaan adalah politis karena memiliki kecenderungan luas, dimana dampaknya dapat dirasakan dan dilihat. Oleh karenanya terdapat perbedaan pandangan mengenai struktur kuasa, ada yang berpandangan bahwa kuasa politik hanya ada dan terdapat dalam struktur lembaga negara ada juga yang berpendapat bahwa kuasa ada dalam setiap lini kehidupan manusia.
Kekuasaan itu seperti pedang bermata dua, ada dimana saja, selama ada kehidupan sosial manusia, orang akan percaya bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki keinginan, motivasi dan rasa hormat.
Bahwa kuasa bisa bersifat langsung maupun tidak langsung tergantung pada relasi kuasa yang dibentuk. Semakin besar level relasi kuasa yang dibentuk maka akan semakin besar pula pengaruh yang dihasilkan untuk membuat perubahan terhadap lingkungan atau konten yang diinginkan.
Pemilu merupakan bagian integral dalam negara demokratis, sebuah conditio sine qua non karena tanpa hadirnya maka negara dianggap menanggalkan demokrasi. Samuel P. Huntington (1997;5-6) pun menegaskan suatu sistem politik sudah dapat dikatakan demokratis jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui Pemilu yang adil, jujur, dan berkala. Pemilu yang sudah dilakukan pasca reformasi, yaitu Pemilu tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 merupakan pemilu yang terselenggara lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu-pemilu di era rezim orde baru, meskipun secara hasil yang dicapai (output) dari demokrasi elektoral tersebut belum bisa mempercepat transisi demokrasi.
Budaya Feodalistik dan Pengkultusan Figur
Budaya feodalistik yang telah terwariskan pada era Presiden Pertama Soekarno dan Presiden berikutnya Soeharto sangat berpengaruh terhadap corak budaya pengkultusan di Indonesia. Sampai saat ini pengkultusan individu sangat berpengaruh dalam setiap pemilihan pemimpin rakyat dari tingkat daerah sampai tingkat nasional.
Pengkultusan individu adalah bentuk harga mati tanpa melihat bagaimana bentuk visi dan misi yang dibawa sang calon pemimpin untuk kebaikan bangsa ini kedepan. Kita bisa melihat di negara lain yang baru masuk dalam kategori belajar demokrasi juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia.
Misalnya saja bagaimana Vladimir Putin seakan menjadi yang tak tergantikan dalam pilihan rakyat Rusia. Masing-masing negara yang lahir dari budaya feodal yang kuat dan mengalami rejim diktator memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam menentukan figur pemimpin dan belum siap dengan kepemimpinan yang berganti-ganti dan sebaliknya kekuasaan melahirkan keinginan akan kekuasaan yang lain bagi penguasa.
Pada pemilu 2024 mendatang menurut penulis menjadi cukup strategis, karena Pilkada tidak hanya diselenggarakan ditahun yang sama, tapi Pemilu 2024 bisa menjadi momentum politik yang mengedepankan gagasan dan program kerja. Diharapkan pada pemilu 2024 setiap kandidat lebih fokus pada adu gagasan, visi, misi dan program kerja, bukan beradu kekuatan identitas kelompok, pengkultusan individu namun politik yang berbasis visi-misi serta gagasan akan lebih bermanfaat bagi pemilih dibanding politik yang menghadap-hadapkan identitas kelompok tertentu dalam mendukung calonnya yang sedang berkontestasi menghadapi pemilihan pemimpin rakyat.
Melihat kondisi seperti ini tentu saja tidak sejalan dengan tujuan reformasi. Semangat reformasi tak lagi membicarakan mendukung siapa atau melawan siapa. Demokrasi yang berkualitas harus berani keluar dari bentuk-bentuk pengkultusan dan bergerak ke demokrasi yang lebih bernilai. Semoga setelah Pemilu ini kita bisa kembali merajut kembali persaudaraan dan sama-sama berkomitmen untuk memajukan demokrasi kita pada tingkat nilai, ya menerima perbedaan secara dewasa.
