Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Puasa dan Pesan "Tirakat" dalam (Pendampingan) Pembangunan Desa
Winartono, Ketua Asosiasi Pendamping Desa Indonesia (APDI) Kabupaten Malang.

Puasa dan Pesan “Tirakat” dalam (Pendampingan) Pembangunan Desa



Oleh: Winartono*


Di antara hikmah puasa Ramadhan adalah melatih kita untuk berempati pada sesama. Empati bisa menjadi modal tersendiri dalam gerak (pendampingan dan pembangunan) yang inklusif.

Salah satu arti leksikal dari Romadlon adalah “membakar”. Dengan puasa Romadlon, seorang diharapkan juga bisa membakar ke-egois-an, ke-eksklusiv-an, dan termasuk ke-gabut-an.

Bahkan perang (jihad/perjuangan) untuk melawan ke-bathil-an dalam sejarah kenabian, kondisi puasa tak menghalangi para mujahidin untuk lebih semangat dalam medan juang. Justru, puasa dalam penjelasan ilmiah pun bisa membangkitkan “adrenalin” semangat gerak kebaikan.

Tak ada orang hebat dan bangsa atau peradaban besar tanpa tradisi puasa (meski format dan cara mungkin tak mesti sama). Bukankah alur metamorfosa dari “tirakat/puasa” kepompong hingga menjadi “keindahan” kupu-kupu mengandung pelajaran tersendiri.

Demikian kiranya, Desa yang kuat dan berhasil dalam pembangunannya mensyaratkan “puasa” atau tirakat dalam proses menuju keberhasilan yang hendak dicapai/direncanakan, atau bahkan menghasilkan hasil yang tak disangka. Hanya saja, tahapan tirakat “puasa” ini biasanya tak manifest atau muncul di permukaan. Bukankah tak semua upaya perjuangan termasuk dalam pembangunan Desa/Supra Desa bisa tertangkap oleh angka statistik, banner, dokumen publik, atau bahkan sulit diunjuk-rekam dalam seremonial formal.

Dalam salah satu hadist Sang Pendamping Kemanusiaan, yait Baginda Muhammad bin Abdillah menginformasukan bahwa Puasa adalah “urusan” Allah, dan hanya Dia yang akan membalas (reward) sendiri. Dengan bahasa lain, amalan tirakat puasa murni berkait pada sistem kalkulasi Allah SWT.

Tak hanya ganjarannya yang murni urusan Allah, prosesnya pun sulit diatraksikan. Demikian tak semua upaya “tirakat” yang dilakoni pemerintah dan masyarakat desa untuk kemandirian Desanya sebagian besar sulit “diunjuk-gigi-kan”.

Seringkali upaya (program/kegiatan) pemerintah diluncurkan berujung pada output atraktif belaka. Malahan atraksi tersebut bermodal manipulatif alias sulapan. Ironis lagi, pegiat pendampingan sebagai kanal alternatif (penambal/penyempurna) terjerembab pula pada semangat dan nuansa yang serupa: mekanistik dan kering makna.

Dalam sistem pembangunan Desa, supra Desa (Kabupaten, Provinsi), dan bangsa ini, sudah sepatutnya mode tirakat/puasa ini terus digalakkan. Memang tak mudah, apalagi aktivitas tirakat puasa ini sulit dipamer-pamerkan. Hanya ta’jil dan berbuka (ifthar) masih bisa diatraksikan.

Namun demikian, dunia pendampingan tak boleh abai dengan zona jalan sunyi ini. Tapi, yakinlah puasa dan jenis tirakat (pembangunan) lainnya bisa menjadi oase penggerak di zaman yang sarat kamuflase ini.

Selamat Puasa di Bulan Ramadhan 1443 H ini, sobat. Jangan kendor untuk mendampingi perubahan, kebaikan dan kemajuan-Kemandirian (Desa) Indonesia.

beras