Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Re-Orientasi Gerakan Politik PMII
Mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari berbagai wilayah menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (5/9). Dalam aksinya, mereka menolak keputusan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan menghimbau pemerintah untuk meninjau ulang keputusan tersebut. (Sumber: Muhammad Zaenuddin/ Katadata)

Re-Orientasi Gerakan Politik PMII



*Syaiful Anam (Pengurus Besar PMII)

PMII sudah memasuki usia yang ke 63. Separuh abad lebih perjalanan mengarungi lika-liku sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia. Selain menjadi oraganisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia, PMII memiliki pengaruh penting terhadap tumbuh dan berkembangnya aktivisme sosial. Hal ini bisa diperhatikan dari keterlibatannya dalam suar gerakan rakyat dari waktu ke waktu. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam perkembangannya saat ini adalah sejauh apa signifikansi PMII dengan upaya demokratisasi di Indonesia yang sudah berjalan hampir empat dekade pasca-reformasi. Posisi itu penting untuk diketengahkan sebagi upaya penanda posisi politik PMII di dalam pengarus utamaan gerakan sosial di Indonesia secara umum dan gerakan kemahasiswaan khususnya.

Di dalam perjalanannya, posisi politik PMII cenderung dinamis. Hal itu bisa dilihat dari babakan peritiwa sejarah demokratisasi yang berlangsung di Indonesia. Di masa awal kepemimpinan Sukarno—secara pandangan politik lebih menekankan pada aspek kiri nasionalis dengan jargon politiknya yakni revolusi nasional— PMII dekat dengan misi revolusi-nya Sukarno. Meski, keterlibatan PMII di dalam politik kiri Sukarno terhitung singkat, tetapi hal itu sangat mengakar kuat di dalam mata rantai gerakan PMII hingga saat ini. Kondisi lain yang menjadikan—hampir rata-rata—gerakan mahasiswa tetap terikat dengan masa-masa tahun 1950-an adalah pola pandang Sukarnoisme yang lekat dengan semboyan ‘revolusi’-nya sebagai cita-cita bersama.

Hingga kemudian, pada tahun 1965 kepemimpinan Sukarno jatuh. Tahun-tahun akhir bagi kekuatan politik kiri di Indonesia menjelang kehancurannya. Hal itu seperti gerak bandul semakin negara melakukan represi terhadap gerakan-gerakan kritis, perlawanan tersebut muncul semakin menyeruak dari tahun ke tahun. Max Lane memberikan gambaran terkait perkembangan gerakan mahasiswa pada masa Orde Baru hingga puncaknya mencapai tahun 1998. Sebagai efek kejenuhan terhadap otoritarianisme Orde Baru.

Tahun 1973 dan 1978 memiliki kemiripan dengan gerakan kiri sebelum 1965 yakni “bercirikan kritik terhadap dominasi ekonomi dan budaya asing” (Lane, 2014, p. 148). Hal itu menjadi karakteristik tersendiri bagi model gerakan di tahun itu. Kemudian angkatan 1989-1998 berubah model menjadi gerakan dengan tuntutan reformasi total dengan tujuan mengahiri korupsi, kolusi, dan nepotisme, kediktatoran, dan peran tantara (149).

Posisi Politik PMII

PMII hadir menjadi bagian dari gerakan kontra kekuasaan yang berwatak kapitalis-predatoris. Hal itu terlihat dalam rumusan dua paradigma yang dihasilkan di tahun-tahun membesarnya gerakan mahasiswa; Paradigma arus balik masyarakat pinggiran dan Pradigma Kritis Transformatif

Memposisikan diri sebagai kekuatan civil society untuk mendobrak jalan buntu demokrasi akibat bercokolnya kekuatan oligarki-sultanistik di masa Soeharto. “secara politis posisi civil society juga dilemahkan secara sistematis melalui berbagai kebijakan negara Orde Baru yang eksklusioner-represif-korporatis” (Hadiz, 2005). Terdapat dua modus utama bagi PMII melahirkan paradigma kritis transformatif. Pertama, situasi sosial-politik yang terjadi di Indonesia; transisi dari Era Orde Baru ke Reformasi. Kedua, ramainya perbincangan ‘teori-teori’ kritis Neo-Marxian di tanah air sebagai wajah baru bentuk-bentuk kemajuan teori sosial pada saat itu. Di sisi lain, sebagai organisasi kemahasiswaan berbasiskan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, PMII memadukan pendekatan teori sosial kritis dengan pandangan teologi islam progresif. “Dengan kata lain paradigma kritis transformatif di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis” (Al-Ngatawi, 2000). Mengkomparasikan antara teori Kritis dengan teologi islam progresif seperti Hassan Hanafi dan Arkoun; menghasilkan sebuah formulasi pemikiran yang inklusif terhadap kemajuan-kemajuan ilmu sosial dan progressif di dalam gerakan sosial.

Seiring berkembangnya waktu, PMII mengalami dilema dalam orientasi gerakan, khususnya di masa pasca-reformasi. Hal ini digambarkan oleh Sahabat Malik Haramain di dalam PMII Simpang Jalan? (Haramain, 2000). Kondisi tersebut menggambarkan kebimbangan—di ranah gerakan— PMII sebagai organisasi yang memperkuat terwujudnya demokratisasi di satu sisi dan menjaga stabilitas politik nasional—pada saat itu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden di Indonesia— di sisi lain. Kondisi tersebut sampai saat ini terus berlangsung. PMII tidak pernah tegas mengambil sikap politisnya di dalam mata rantai relasi kuasa politis di Indonesia. Gamangnya sikap tersebut, membuat organisasi ini kabur di dalam pengarus utamaan gerakan sosial.

Konsolidasi Demokrasi Semu

Jatuhnya Soeharto dari kekuasaan menjadi tapal batas bagi berakhirnya otoritarianisme di Indonesia. Meski sampai saat ini, praktik represif yang kerapkali mengatasnamakan kekuasaan masih dialami oleh berbagai gerakan sipil. Berakhirnya orde baru, sebagian kalangan, menilai peralihan dari otoreterianisme menuju transisi demokrasi. Di tandai dengan munculnya kebebasan berserikat yang lebih leluasa dibanding sebelumnya dan peningkatan peran sipil di dalam kehidupan berpolitik. Transisi demokrasi mengarah pada terwujudnya ‘konsolidasi demokrasi’ secara terbuka. Adapun konsolidasi demokrasi sangat diterminan pada terpenuhinya empat syarat utama sebagai indikator, yakni: “Masyarakat, elite, organisasi. Selain itu juga ada unsur penting lain, yaitu elemen rule of law. Keempat elemen penting ini diperlukan untuk saling berintegrasi dalam menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi” (Kristal, 2021) . kendati demikian, kita perlu melakukan refleksi kritis bagaimana wajah demokrasi di Indonesia. Hal itu diperlukan agar kita tidak terjebak dalam normatifisme teoritis.

Indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan yang drastis. Hal ini bisa dilihat dari hasil rilis laporan The Economist Intelligence Unit (EIU). “Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48” (Putra, 2021).  Kualitas demokrasi di Indonesia saat ini menurun dibanding priode sebelumnya dan tercatat sangat buruk. Hal ini mengaskan bahwa perjalanan demokratisasi di Indonesia tidak mengalami peningkatan secara gradual. Justru sebaliknya. akibat dibatasinya peran sipil di dalam kehidupan berpolitik dan menguatnya unsur keterlibatan militer di dalam keberlangsungan kehidupan sipil; baik di lakukan melalui cara-cara langsung seperti pembubaran, pembatasan, pengekangan. Atau dengan cara-cara yang lebih persuasif.

Kondolidasi demokrasi menjadi terhambat sebab secara esensial demokratisasi di Indonesia berjarak dengan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Imajinasi kesejahteraan sosial yang berlangsung saat ini adalah hasil dari rekayasa penguasa yang sangat elitis dan administratif. Selain itu, di dalam relasi kuasa, Indonesia saat ini merupakan trayektori politik pasca-orde baru. Ditandai dengan bercampurnya oligarki ke dalam demokrasi. “sistem politik Indonesia berkembang pesat menjadi oligarki penguasa kolektif elektoral di mana pemangku jabatan semakin terikat kekayaan pribadi” (Winters, 2014). Konsolidasi demokrasi sangat inklusif terhadap sejumlah agenda politik elit tetapi eksklusif terhadap peran keterlibatan rakyat.

Re-orientasi

Re-orientasi menjadi upaya pencarian kembali model gerakan politik yang tepat untuk dilakukan di dalam setting sosial-politik saat ini. PMII secara kuantitas memiliki jumlah sumber daya manusia yang besar dan tersebar rata di seluruh Indonesia. Faktor jumlah tersebut sangat penting bagi setiap komponen gerakan sosial apapun dan di manapun. Sebab mustahil satu konsep gerakan dapat diwujudkan hanya dengan mengandalkan segelintir orang. Dalam iklim pembangunan yang semakin terbuka; ditandai dengan intensifnya keterlibatan kelompok swasta ke dalam ritme pembangunan, besarnya ketergantungan pada model-model pengembangan digitalisasi sebagai instrumen di dalam upaya peningkatan pembangunan domestik dan kerjasama global, PMII diharuskan adaptif terhadap perkembangan modus teknologisasi yang terintegrasi dalam—hampir sebagian besar— masyarakat otomasi atau digital citizens. Meminjam istilahnya Budi Hardiman, Sebuah kehidupan dengan penanda ‘dekorporealisasi’ dan ‘deteritoralisasi’  atas ruang dan waktu. “Dengan teknologi ini kita bisa menjadi kosmopolitan, dan terbuka kemungkinan terbentuknya kewargaan global” (Hardiman, 2021).

Tetapi pesatnya berkembangan fenomena ‘digitalisasi teknologis’ ini tidak bisa diletakkan dengan pandangan apolitis. Seperti istilah revolusi industry 4.0 ini bukan hanya bentuk kemajuan perdaban manusia. Adanya adagium tersebut berhubungan erat dengan perkembangan kapitalisme tingkat lanjut di sektor pasar global. Negara-negara maju di Kawasan utara adalah pelaku utama yang kemudian terhubung dengan negara-negara kawasan selatan yang secara politik dan ekonomi masih mengalami ketergantungan terhadap negara-negara maju di Eropa dan Amerika.

Kemudian, apa peran digitalisasi terhadap demokratisasi kita hari ini, apakah cukup signifikan? Mengingat hampir sebagaian besar orang dapat menyampaikan pendapatnya dengan bebas di pelbagai macam kanal mendia online. Dunia digital bisa menjadi ancaman bagi demokrasi kita hari ini. Menyandarkan penuh proses demokratisasi pada kerja mesin pintar bukan sesuatu yang tepat. Pada kenyataanya, aktor yang lebih cakap menggunakan mesin pintar didalam mereproduksi isu dan mengaburkan sejumlah kebenaran adalah kekuasaan itu sendiri. menggunakan sejumlah jasa aktor siber dan buzzer.

Teknologisasi di dalam kerja-kerja gerakan sosial harus diletakkan sebagai ‘alat’ untuk mempermudah tercapainya gerakan. Tetapi hal itu harus disandarkan pada konsepsi yang terdapat di dalam nilai-nilai ke-PMII an. Sebagai organisasi berbasis pengkaderan dan gerakan, PMII harus mencetak kader yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa menanggalkan posisi strategisnya di dalam gerakan politik.

Gerakan politik PMII bisa menggunakan dua kekuatan yang ada. Gerakan berbasis massa ekstra-parlemen. Pada posisi ini, PMII harus giat menggalang persatuan dengan pelbagai entitas sosial yang dimarginalkan oleh relasi kuasa yang oligarkis. Bersatu dengan gerakan sosial lainnya guna untuk menciptakan kekuatan politik yang lebih besar; seperti membangun relasi dengan serikat buru. baik itu buruh pabrik, buruh tani, pekerja ojek online di perkotaan, dan lain sebagainya. Di satu sisi, PMII bisa merajut kekuatan politik intra-parlementer. Membangun jaringan politik dengan aktor-aktor politik di parlemen yang memiliki komitmen pada terciptanya iklim demokratisasi yang lebih sehat dan terbuka guna menekan adanya kebijakan yang pro-terhadap kebutuhan rakyat banyak. Mendayung di antara dua kekuatan utama untuk mencapai keadilan sosial di dalam bingkai demokrasi yang lebih subtantif.

referensi

Al-Ngatawi, Z. (2000). Memahami Paradigma; meneguhkan kembali Paradigma Kritis Transformatif. In I. B. Prasodjo, S. A. Ngatawi, M. M. Said, W. Wahab, Hariyadi, & M. Mustafied, Dekonstruksi Paradigma Kritis Komunitas Tradisional (p. 49). Jakarta: Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Hadiz, V. R. (2005). Dinamika Kekuasaan; ekonomi politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.

Haramain, A. M. (2000). PMII di Simpang Jalan? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hardiman, F. B. (2021). Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital. -: universitas pelita harapan.

Kristal, D. (2021). Perbandingan (DE) Konsolidasi Demokrasi: Studi Penurunan Kualitas Demokrasi di Indonesia dan Filipina pada periode 2016-2020. Jurnal Penelitian Politik, 125-139.

Lane, M. (2014). Uncinished Nation. Yogyakarta: djaman baroe.

Putra, R. A. (2021, Februari 04). Indeks Demokrasi Indonesia Catat Skor Terendah dalam Sejarah. Retrieved from dw.com: https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-indonesia-catat-skor-terendah-dalam-sejarah/a-56448378

Qothrunnada, K. (2022, Maret 16). Revolusi Industri 4.0: Pengertian, Sejarah, dan Contohnya di Indonesia. Retrieved from detik.com: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5986030/revolusi-industri-40-pengertian-sejarah-dan-contohnya-di-indonesia

Winters, J. A. (2014). Oligarki dan Demokrasi di Indonesia. Prisma, 11-34.

beras