Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rencana Amandemen Konstitusi di Tengah Pagebluk

Rencana Amandemen Konstitusi di Tengah Pagebluk



Berita Baru Jatim, Surabaya – Rencana ihwal amandemen UUD 1945 kembali menghangat dalam beberapa hari terakhir. Lebih-lebih sejak Ketua MPR Bambang Soestyo mengatakan telah berbincang dengan Presiden Joko Widodo mengenai rencana amandemen UUD 1945.

Fenny Tria Yunita S.H., M.H mengatakan amandemen undang-undang penting dan perlu diamandemen untuk yang kelima. Pasalnya, ia menilai, dari amandemen pertama hingga ke empat belum sempurna. “Jadi banyak hal-hal yang perlu dirubah seperti adanya constitutional accident,” kata Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember, Kamis (19/08/2021).

Fenny mencontohkan di pasal 24 UUD 1945 perlu diperbaiki karena komisi yudisial masuk dalam bab kekuasaan kehakiman. Padahal, menurut Fenny, harusnya tidak masuk dalam kekuasaan kehakiman. Selain itu perlu melakukan penambahan lembaga-lembaga independen yang juga diatur dalam konstitusi. “Jadi tanggapan saya terkait amandemen itu perlu tapi untuk saat ini, saya rasa belum urgen atau saya belum menemukan urgensinya rencana amandemen di masa pandemi Covid-19,” ungkapnya.

Fenny menegaskan bahwa Ihwal amandemen dirasa belum penting karena harus fokus untuk menghadapi pandemi. “Selain itu, pasal-pasal apa sih yang sebenarnya mengakibatkan wacana amandemen ini digulirkan ketika pandemi dan pasal-pasal mana saja yang akan diamandemen itu juga belum jelas,” terangnya.

Tak hanya itu, menurutnya, proses legislasasi undang-undang membutuhkan anggaran besar dan waktu yang panjang. Apalagi untuk amandemen konstitusi. Menurutnya ini perlu cara legislasi yang istimewa dan berbeda dengan legislasi biasa.

Selanjutnya Fenny melihat model penyusunan dan perubahan undang-undang dasar atau konstitusi di Indonesia tidak menganut sistem amandemen yang harus mendapat persetujuan rakyat. Dia mengutip CF Strong terkait empat model amandemen atau perubahan konstitusi yaitu: (1) melalui legislasi, (2) referendum, (3) persetujuan negara bagian, dan (4) konvensi atau lembaga khusus.

Berdasarkan pasal 37 UUD 1945 usulan amandemen undang-undang dasar itu syaratnya minimal diajukan oleh 1/3 (satu per tiga) anggota MPR, sedangkan untuk persetujuan pasal-pasal minimal sekurang-kurangnya 50% +1 dengan sidang minimal dihadiri 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota untuk sidang istimewa MPR. “Demokrasi kita ada demokrasi langsung melalui pemilu dan ada juga demokrasi tidak langsung, seperti proses legislasi menerapkan demokrasi tidak langsung karena sudah diwakili oleh DPR, sama dengan perubahan undang-undang dasar yang diwakili MPR yang terdiri dari DPD dan DPR,” ungkapnya.

Di amandemen pertama hingga yang ke empat tidak melibatkan rakyat jadi murni dirubah dan ditetapkan MPR dengan melibatkan pakar-pakar ahli hukum tata negara yang ada di Indonesia. “Nah memang berbeda-beda di Swiss dan di Prancis memakai referendum harus ada persetujuan rakyat untuk mengesahkan pasal-pasal perubahan dari undang-undang dasar. Kalau di Amerika harus mendapat persetujuan dari negara bagian dan kongres,” jelasnya.

Di Indonesia, sayangnya tidak ada syarat keterlibatan masyarakat, ke depan perlu dirancang kembali tata cara prosedur amandemen, mengingat amandemen pertama hingga ke empat belum melibatkan partisipasi masyarakat.

Terkait materi amandemen nanti tentu ada draf usulan dan disertakan dengan dasar-dasar alasan yang kuat mengenai landasan filosofis, sosiologis, yuridis, dan empiris. “Merubah satu pasal saja perlu penjelasan yang sangat panjang,” tegasnya.

Perubahan dan pengesahan undang-undang dasar itu memang kewenangan MPR yang terdiri dari DPD dan DPR, tentu banyak kepentingan politik di dalamnya akan tetapi harus melalui pertimbangan akademis dan alasan mendasar karena konstitusi merupakan hukum tertinggi di Indonesia.

“Memang keputusannya keputusan politis akan tetapi jangan sampai kemudian alasan amandemen undang-undang dasar hanya karena ambisi politis saja, misal ada wacana lama Pilpres dilakukan kembali oleh MPR atau mungkin menghidupkan kembali GBHN yang dibuat MPR. Nah ini bisa merusak sistem presidensil kita, nanti kita bisa melihat ada kepentingan politis atau tidak dari usulan pasal yang diajukan dan alasannya,” tukas Fenny.

beras