Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

RKUHP dan Mimpi Demokrasi di Indonesia

RKUHP dan Mimpi Demokrasi di Indonesia



Berita Baru, Kolom – Tujuan pembaharuan KUHP disusun guna ingin menghapus semangat kolonial yang menjadi sumber rujukan KUHP lama di Indonesia. Dengan demikian pemerintah dan DPR wajib menjamin setiap penyusunan peraturan dan kebijakan publik dilakukan secara transparan karena berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, proses legislasi terkesan tertutup dan tidak membuka susunan konsep RUU KUHP secara utuh padahal harusnya pemerintah wajib menyediakan ruang untuk masyarakat dapat berpartisipasi dan terbuka.

Adanya 14 poin draft RUU KUHP yang beredar di masyarakat membawa paradigma konservatif. yakni pemerintah ingin memberlakukan peraturan pidana yang sangat ketat, mulai dari persoalan hukum adat, hal-hal yang seharusnya menjadi ranah privat, hingga soal pencemaran nama baik presiden dan wakil presiden.

Adapun 14 poin hasil sosialisasi RUU tentang KUHP yang disampaikan Wamenkumham antara lain: (dikutip dari www.kemenkumham.go.id)

Pertama, penjelasan mengenai The Living Law. Wamenkumham menjelaskan bahwa dalam Pasal 2 yang dimaksud hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat.

Kedua, mengenai pidana mati. Dalam RUU KUHP ini pidana mati ditempatkan paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. Pidana mati yang selalu diancamkan secara alternative dengan pidana penjara dengan waktu tertentu selama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup.

Ketiga, menjelaskan tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Kemudian penjelasan keempat yaitu, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib. Penjelasan kelima, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin. Penjelasan keenam mencakup unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih.

Selanjutnya, Ketujuh, Contempt of court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan. Penjelasan kedelapan, Advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus).

Kedelapan terkait isu tentang penodaan agama. Kesembilan Penganiayaan hewan. Ke-10 menjelaskan tentang penggelandangan tetap diatur RUU KUHP. Penjelasan ke-11 tentang Aborsi ditambahkan satu ayat yang menyatakan memberikan pengecualian apabila keterdaruratan medis atau korban perkosaan. Ke-12 mencakup perzinahan melanggar nilai agama dan budaya. Ke-13 Kohabitasi dan ke-14 Perkosaan dalam perkawinan.

Dari poin-poin tersebut adanya suatu pengetatan norma yakni dengan suatu upaya-upaya yang konservatif dan harusnya pemerintah tidak boleh seketat itu. Kita hidup dengan norma-norma. Ada norma kesusilaan, norma agama, norma kesopanan dan norma hukum. Adanya perbedaan yang sangat tipis sekali antara norma yang ada di masyarakat dengan norma hukum. Tidak semua harus dimasukan dalam norma hukum, semua yang dianggap tidak patut tidak harus dipidanakan maka sebenarnya harus tegas kodefikasi yang dimasukkan kedalam RUU KUHP tersebut dan harusnya pemerintah jangan mereformasi sesuatu aturan yang nantinya akan sangat sulit diawasi dikalangan masyarakat.

Adapun pasal penyerangan harkat martabat presiden dan wakil presiden. Pasal 218 ayat (1) RKUHP mengatur setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama 3,5 tahun atau pidana denda. Selanjutnya, Pasal 218 ayat (2) menyebut, tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Selanjutnya dalam Pasal 219 diatur, setiap orang yang mempublikasikan terkait penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden melalui sarana teknologi informasi sehingga diketahui oleh umum akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal 220 diatur: tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden”. Pasal tersebut tidak perlu diatur secara khusus dimana adanya perubahan menjadi delik aduan tidak akan menghilangkan suatu masalah dan hanya akan memberikan catatan buruk dalam demokrasi.

Penghinaan terhadap figur kekuasaan kebanyakan negara-negara bersistem monarki, dan itu pun umumnya hanya dikategorikan sebagai tindak pidana ringan. Pemerintah harusnya mempertimbangkan itu karena kita di Indonesia sebagai negara demokratis jadi aturan ini tidak terkesan konservatif sehingga banyak orang nantinya yang dapat dipidanakan terkait aturan tersebut. Kemudian, terkait kohabitasi atau tinggal bersama pasangan di luar pernikahan. Pasal tersebut cenderung mencampuri ranah privat seseorang dan implikasinya dapat memicu perkusi di masyarakat.

Dengan ada atau tidaknya pasal tersebut apakah masyarakat di Indonesia apakah akan menjadi seseorang yang tidak bermoral? jawabannya yakni belum tentu justru nantinya akan muncul pertanyaan bagaimana yang akan terjadi pada pasangan yang menikah secara agama tapi tidak secara negara, atau menikah secara adat. Kalau pasal ini diberlakukan ini bisa banyak menimbulkan paradigma yang negatif, nantinya orang-orang bisa dipidana dan bisa memicu perkusi dan penerapannya dimasyarakat bisa main hakim sendiri terhadap hal tersebut.

Banyaknya Sentimen Negatif terkait RUU KUHP ini terutama dalam ranah yang mencakup demokrasi. Harusnya pemerintah melakukan pembentukan RUU KUHP ini lebih kepada semangat untuk menghilangkan gaya kolonial yang ada pada KUHP sebelumnya dan jangan menambahkan masalah nantinya di kalangan masyarakat. Memang nantinya ada suatu upaya-upaya hukum untuk melakukan Judicial Review. Akan tetapi, semangat untuk mereformasi suatu langkah hukum kebidanaan terkait RUU KUHP jangan sampai menciderai demokrasi yang sudah berjalan di Indonesia serta menimbulkan banyak paradigma yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat.

beras