Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sajikan Satire Patriarki, Teater Tiang Pentaskan Naskah Utuy T. Sontani

Sajikan Satire Patriarki, Teater Tiang Pentaskan Naskah Utuy T. Sontani



Berita Baru, Jember – UKM Teater Tiang FKIP Universitas Jember sukses menyihir para penonton. Naskah karya Utuy T. Sontani berjudul Sayang Ada Orang Lain, yang dipentaskan di Gedung PKM UNEJ tadi malam (27/08/2022) itu membuat penonton berdecak kagum. Keaktoran dan spectacle tata artistik menjadi pendukung dalam pementasan tersebut.

Hanya saja pada aspek dramaturgi, misalnya pada tata cahaya yang terkadang kurang menyorot langsung ke tubuh aktor, sehingga terkesan kurang terlihat wajahnya. Akan tetapi, repertoar yang disutradarai oleh Fanis Apriliani secara keseluruhan ciamik dan keren.

Naskah Sayang Ada Orang Lain ditulis oleh Utuy Tatang Sontani pada tahun 1954 dan diterbitkan ulang pada tahun 2002 oleh Balai Pustaka. Secara proses kreatif naskah ini lahir hampir bersamaan dengan diskursus emansipasi wanita dan gerakan feminis di Indonesia.

Pada saat itu (mungkin saat ini juga) eksistensi perempuan sangat dilematis, khususnya perempuan pekerja. Seperti yang melekat pada tokoh Mini sebagai sosok perempuan pekerja yang harus menghadapi pelbagai stereotip, gunjingan, narasi agama, dan fitnah yang dapat menggoyahkan eksistensinya. Bisa jadi, pemilihan naskah ini oleh Teater Tiang masih relevan secara tematik untuk saat ini.

Salah satu penonton dari mahasiswa Fakultas Kedokteran, Bening Suksma, sangat mengapresiasi dan bangga. “Saya melihat adanya aormasi ideologi dan kelas dalam pementasan tersebut cukup menarik, terpetakan secara gamblang,” terangnya.

Ia menjelaskan, pertama, tokoh lelaki bermata serigala sebagai representasi kelas borjuis dengan narasi-narasi ideologi sekuler. Kedua, tokoh Bu Hajah dan sosok lelaki yang selalu disebut si kufur sebagai representasi kelas menengah dengan narasi-narasi agama dan nilai-nilai modernitas yang terkadang dijadikan alat untuk mengintimidasi tokoh yang lebih inferior (Suminta dan Mini).

Ia mengaku merinding mendengar dialog Bu Hajah. “Jelas-jelas istri mu berzinah, lucuti dia telanjangi dia hingga keluar dari rumah ini.” Dialog tersebut menjadi aparatus ideologis dalam menghegemoni tokoh yang ada di kelas proletar.

“Ketiga, yakni korban dari peperangan ideologi adalah kelas proletar. Sudah jatuh tertimpa tangga mungkin pepatah tersebut lebih tepat disematkan pada tokoh Suminta dan Mini yang merupakan representasi dari ketidakberdayaan grass root dalam perebutan mode production. Kecuali spiritualitas yang mereka yakini dengan istilah “cinta” tanpa huruf kapital.” Pungkasnya.

Hal menarik lain dalam pementasan tersebut yakni juga menyajikan diskursus gender. Tokoh Mini menjadi sosok feminis yang mengalami kekerasan simbolik, fisik, psikologis, dan ambivalen. Adanya relasi patriarkis yang menempatkan dan memandang perempuan hanya sebagai plesure object, lemah, dan bahkan untuk meyakini suatu kebanaran pun tidak mampu. Sungguh ironi yang sangat mengaduk-aduk emosi penonton. Bahkan, atas nama cinta pun ia pun “dihabisi” oleh orang yang sangat ia cintai: Suminta. Pergi dan membiarkannya di titik paling sunyi di panggung.

beras