
Sri Tanjung hingga Rengganis: HISKI Hidupkan Kembali Warisan Banyuwangi dalam Sastra Lewat Lokakarya
Berita Baru, Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) menggelar Lokakarya Nasional “Penulisan Kreatif Sastra dan Pembuatan Produk Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip” pada Rabu, (28/05/2025). Kegiatan didukung oleh Dana Indonesiana, Kementerian Kebudayaan. Diselenggarakan secara hybrid, lokakarya digelar di Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi dan Zoom Meeting serta disiarkan langsung di kanal YouTube HISKI Pusat, Harian Surya dan Tribun Jatim Official.
Sebagai sesi lanjutan dengan tema yang sama, acara langsung berlanjut pada pemaparan materi oleh dua narasumber. Narasumber pertama Dr. Yeni Artanti, M.Hum. (Sekretaris Jendral HISKI dan Akademisi UNY), kedua Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd. (Peniliti dan Sastrawan) dan dimoderatori oleh Dr. Ari Ambarwati, M.Pd.
Narasumber pertama, Dr. Yeni mempresentasikan materi berjudul “Reproduksi dan Rekonstruksi Warisan Budaya Banyuwangi Melalui Produksi Sastra Anak”. Yeni memaparkan pentingnya menggali dan mendalami warisan budaya Banyuwangi untuk dijadikan bahan penulisan sastra anak dan konten kreatif yang adaptif terhadap zaman.
“Banyuwangi memiliki kekayaan tradisi seperti Lontar Sri Tanjung, Babad Tawangalun, dan Babad Rengganis yang sarat nilai moral dan spiritual. Ketiga kisah tersebut dapat direkonstruksi ulang dengan pendekatan kritis dan progresif agar lebih relevan bagi generasi muda, tanpa kehilangan akar budaya lokalnya,” urainya.

Kisah Sri Tanjung, misalnya kata Yeni, bisa diadaptasi menjadi cerita kesetiaan, keberanian, dan integritas perempuan dalam bentuk komik, animasi, atau teater modern. Sementara itu, Babad Tawangalun dapat dikembangkan sebagai narasi kepemimpinan bijak yang mengangkat nilai keadilan sosial, multikulturalisme, dan ekologi, cocok untuk media edukatif seperti podcast, film dokumenter, atau sandiwara digital.
“Adapun Babad Rengganis menghadirkan figur perempuan kuat yang dapat menjadi simbol feminisme lokal dan spiritualitas ekologis. Narasinya bisa dimodifikasi untuk memperkuat pendidikan karakter dan kesadaran lingkungan melalui pendekatan interdisipliner, dari filologi hingga antropologi budaya,” tambahya.
Yeni menekankan bahwa produksi sastra dan konten kreatif berbasis budaya lokal bukan hanya sarana pelestarian, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya global. “Upaya ini menjadi ruang kreatif yang membangun identitas, memperkuat pendidikan, dan memberdayakan masyarakat lewat inovasi konten yang relevan dan kontekstual,” pungkasnya.

Narasumber kedua, Dr. Tengsoe membawakan materi “Penulisan Puisi Berbasis Tradisi Lisan Banyuwangi”. Tengsoe menegaskan bahwa penulisan puisi berbasis tradisi lisan perlu dimaknai sebagai upaya revitalisasi, bukan sekadar pelestarian simbolik. Tradisi lisan, menurutnya, adalah warisan budaya tak benda yang mencerminkan jati diri, nilai kolektif, dan pandangan dunia masyarakat.
“Banyuwangi memiliki kekayaan tradisi lisan seperti Lontar Sri Tanjung, Babad Tawangalun, Gembrung, Jaranan Buto, hingga Babad Rengganis, yang merepresentasikan keberagaman spiritual dan estetika masyarakat lokal. Tradisi ini harus ditransformasikan secara kritis ke dalam bentuk sastra modern seperti puisi —bukan hanya dikutip bentuk luarnya, tapi ditafsir ulang secara kontekstual dan kreatif,” bebernya.
Puisi, ujar Tengsoe, bukan sekadar bentuk ekspresi personal, melainkan tindakan kultural dan simbolik. Ia meminjam pandangan Julia Kristeva bahwa puisi selalu bersifat intertekstual, berdialog dengan teks-teks lain, baik sastra, mitologi, maupun tradisi lisan. Sementara Sapardi Djoko Damono menyebut puisi sebagai “usaha mengatakan hal-hal yang tak bisa dikatakan dengan cara biasa.”
Tengsoe mengingatkan agar penulisan puisi tidak jatuh pada reproduksi ahistoris atau romantisasi semu. Penyair seharusnya menggali fungsi sosial tradisi, menafsir ulang narasi, serta menyuarakan isu-isu kontemporer seperti resistensi budaya, identitas, hingga keadilan sosial. Dengan begitu, puisi tidak hanya melestarikan, tetapi juga menghidupkan kembali tradisi dalam bentuk yang estetis dan reflektif.
“Melalui pendekatan ini, puisi diharapkan menjadi ruang kreatif yang menyuarakan masa lalu dan masa kini secara bersamaan —menjadikannya jembatan hidup antara kebudayaan lokal dan ekspresi sastra modern yang relevan dengan tantangan zaman,” tandasnya.
Dengan adanya kegiatan ini, HISKI berharap dapat mendorong penulis dan pegiat budaya untuk menggali kekayaan tradisi lokal sebagai sumber inspirasi dalam menciptakan karya sastra yang bermakna dan berakar pada kearifan lokal. Bagi HISKI, lokakarya ini menjadi momentum penting dalam mengembangkan literasi budaya, apresiasi sastra masyarakat, dan memperkuat identitas sastra Indonesia melalui warisan tradisi lisan dan manuskrip.
Acara ini diikuti oleh 30 peserta luring, bertempat di Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, 95 partisipan di Zoom Meeting dan ditonton sebanyak 188 kali secara akumulatif di tayangan Youtube HISKI Pusat, Harian Surya dan Tribun Jatim Official.
