Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Tadarus Cerpen Besutan Alif Febriyantoro

Tadarus Cerpen Besutan Alif Febriyantoro



Review Cerpen Gabriel Marcell, seorang filsuf populer asal Perancis ini melalui pemikiran eksistensialismenya mendefinisikan cinta adalah bagian dari pribadi manusia yang mengarahkan pada nilai absolut untuk melampui keterbatasannya. Unsur transendensi tersebut dirumuskan menjadi sebuah kerelaan (disponibilite), penerimaan (receptive), keterlibatan (engagement) dan kesetiaan (fidelite). Pada kenyataannya, cinta membutuhkan kerendahan hati manusia sebagai bentuk penguasaan diri.

Yang menarik dari pemikiran Gabriel Marchell adalah cinta berdaya kreatif. Hubungan intersubjektifitas manusia dari kata “Aku dan Engkau” dapat disulap menjadi creatio, sederhananya pada seniman menerjemahkan cintanya pada bentuk karya seni.

Begitulah yang dilakukan oleh Alif Febriyanto pada buku kumpulan cerpennya yang ketiga “sebelum dan setelah hujan, sebelum dan setelah perpisahan”. Pertama kali melihat dan membaca judul kumpulan cerpen ini di instastorynya (yang kebetulan kurang lebih sebulan sebelumnya ia mengikuti saya hehe), jujur saya sama sekali tidak tertarik. Saya adalah mahasiswa semester akhir dari jurusan sastra yang terlalu sombong ini menganggap skeptis karyanya. Padahal saya tidak punya karya, sama sekali. Huhu maaf ya Mas Alif hehehe.

Dan sampailah saya pada puncak kebodohan. Saya dirajam, ditampar, diporak-porandakkan perasaan ini oleh ketiga belas cerpennya dalam satu malam. Arrghh, benar-benar tidak berprikemanusiaan si Alif itu. Sisi dominan perempuan saya memaksa untuk membuat kota air mata. Hiks 

Saya menemukan dua cerpen terbaik diantara yang terbaik pada buku ini. Pertama, cerpen yang berjudul “Sebuah Kisah tentang Lempuyangan yang Magis”. Dengan berlatarkan stasiun Lempuyangan, konon adalah tempat perpisahan para pasangan yang masih saling mencintai. Layaknya Gabriel, sebuah kerelaan melepaskan orang terkasih demi kebahagiaan yang lebih nyata terdapat pada cerita ini. Cerita ini menegaskan bahwa cinta nyatanya tidak tidak cukup kuat untuk mempertahankan sosok  perempuan itu agar tidak pergi. Dihadapkan oleh pilihan yang amat kaku, antara memilih kekasih yang dicintai atau menuruti keinginan orang tua. Saya seperti melihat si Alif meraung-raung menggugat Tuhan karena memberikan takdir yang rumit pada ia dan kekasihnya. hehehe

“Setelah keretaku berangkat, berjanjilah, kau secepatnya berhenti mengingatku.”

Tersayat!!! Saya yakin, Alif menuliskan cerita ini sambil memilih bongkahan hatinya yang tercecer di tanah. Ia sangat lincah menarasikan cerita ini dengan penuh khidmat seakan ia mengalami bencana kehilangan itu sendiri. Ini benar-benar tidak mudah, mengingat kembali persitiwa menyakitkan dan dihadirkan pada sebuah kesadaran. Melupakan orang yang telah lama menempati sebagian besar bilik hati sama halnya membunuh diri sendiri. Ingatan tidak bisa dihapuskan, hanya bisa dipendam dan mengkristal menjadi kenang. Saya pun merasa kesakitan, membaca cerita ini sama halnya membaca diri sendiri. Berpisah di stasiun pemberangkatan untuk menuju muara masing-masing. Huhuhu…

Kedua, cerpen itu ada dibagian penutup. Judulnya “Sebelum dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah perpisahan”- tidak untuk siapa-siapa. Ya, judul itu sama dengan sampul bukunya. Sudah bisa ditebak, bahwa cerita itu adalah jantung dari kumpulan cerpen Alif yang ketiga ini. Kisah itu diawali dengan pertanyaan menggunakan tulisan Capslok.

“INI ADALAH CERITA TENTANG MENINGGALKAN DAN DITINGGALKAN. SIAPAKAH DI ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN YANG PALING BANYAK MENGHADIRKAN PENDERITAAN?”

Wah, ini bahaya. Puncak dari segala resah ada pada bagian ini. Hujan dan ingatan kembali menyeruak pada kesadaran untuk dinikmati kembali kenangannya. Pengarang lagi-lagi menggunakan sudut pandang orang pertama yang paham segalanya “Aku”. Tak ubahnya sepasang kekasih yang sering nongkrong di kafe-kafe. Membicarakan banyak hal tentang masa depan atau cukup dengan saling memandang sembari mengatakan kalimat klise, aku mencintaimu. Itulah yang terjadi pada cerita ini. setelah peristiwa kehilangan, jendela kafe menjelma seperti layar yang menampilkan gerak-gerik perempuannya, menyimpan senyumnya yang bertebaran, merekam cerita-cerita lama yang pernah dibicarakannya. Ya, kenangan sangat mirip dengan genangan hujan di luar. Apabila tidak berhati-hati maka bersiaplah, siapapun akan tercebur dan basah olehnya. Hhhhh ini sangat berat. Sungguh. 

Sebuah kerelaan (disponibilite), penerimaan (receptive), keterlibatan (engagement) dan kesetiaan (fidelite) saat ini adalah milik pengarang seutuhnya. Ia mampu menghadirkan cinta lewat buku-bukunya sebagai bentuk persembahan tiada tanding, membuktikan bahwa seorang Alif tidak pernah main-main memadu kasih dengan hawa manapun. Semoga dengan mata sayunya yang meneduhkan sekaligus menghangatkan itu tidak dijadikan sebagai bentuk sihir pemikat perempuan yang akan ia hadirkan pada karya selanjutnya. 

Selamat pagi, jangan lupa makan yang banyak. Agar lebih kuat menghadapi kenyataan. Wkwkwk-

beras