Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Toxic Productivity, Arti dan Ciri-ciri
Sumber: mamamia

Toxic Productivity, Arti dan Ciri-ciri



Berita Baru, Surabaya – Pernahkah kalian merasa terlalu sibuk hingga kewalahan dengan jadwal yang kalian miliki? Pernahkah kalian berada di depan layar laptop satu harian penuh untuk belajar atau mengerjakan sesuatu hal yang menurut kalian “produktif” dan mengesampingkan kebutuhan makan, minum, tidur, bahkan ke kamar mandi?

Pernahkan teman kalian berkata “Ah, kamu sibuk terus kalau diajak main” atau mereka jadi malas mengajak kamu lagi karena berbagai alasan yang kamu lontarkan.

Sibuk organisasi-lah, sibuk mengerjakan tugas-lah, atau kesibukan-kesibukan “produktif” lainnya. Jika kamu pernah mengalami hal-hal tersebut, berhati-hatilah! Mungkin secara tak sadar kamu telah melakukan toxic productivity.

Menurut Dr. Julie Smith, seorang psikolog klinis dari Hampshire, Inggris, toxic productivity adalah sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. Lantas, mengapa toxic productivity dapat muncul?

Toxic productivity lahir dari budaya kita yang menilai tinggi suatu produktivitas. Kita sering kali takjub dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam aktivitas dalam keseharian mereka. Kita juga sering memuji seseorang yang mampu untuk begadang setiap malam demi mengerjakan tugas-tugas mereka.

Tentu saja dengan adanya budaya ini, kita akan memiliki keinginan untuk menjadi salah satu dari orang-orang tersebut. Lantas, apa salahnya? Produktivitas itu akan menjadi sesuatu yang baik apabila kita tahu batasan bagi diri kita.

Namun, hal ini akan menjadi berbahaya apabila produktivitas itu malah mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan makan, minum, bersosialisasi, dan lain-lain. Produktivitas itu juga akan menjadi toxic apabila muncul perasaan bersalah ketika kita rehat sejenak dari kesibukan atau sekedar melakukan hobi dimana kita menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak produktif. 

Sebelum toxic productivity terlanjur melekat dalam keseharian, alangkah baiknya kita mengenali ciri-ciri dari toxic productivity antara lain:

  1. Bekerja berlebihan hingga membahayakan kesehatan dan mengganggu hubungan sosial dengan orang lain. Ini ditandai dengan berbagai keluhan dari orang sekitar kita bahwa kita terlalu sibuk. Kita juga mulai merasakan sakit yang berhubungan dengan penundaan kebutuhan dasar seperti terkena maag akibat sering menunda makan.
  2. Ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri sendiri. Seringkali, toxic productivity membuat kita tidak mampu untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada karena kita telah menetapkan sebuah standar yang tinggi untuk mencapai tujuan kita. Pada masa pandemi seperti sekarang ini, tentu saja hal tersebut dapat menjadi berbahaya. Bagi mahasiswa, ketidakmampuan untuk beradaptasi akan sistem perkuliahan yang baru akan memicu sebuah stressful condition dan dapat membahayakan status mental.
  3. Merasa kesulitan untuk beristirahat. Hal ini ditandai dengan munculnya rasa bersalah apabila beristirahat setelah seharian penuh bekerja atau berkegiatan.
     
    Keinginan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita dengan melakukan sesuatu yang produktif adalah hal yang wajar. Namun, setiap orang memiliki batasan. Jangan sampai apa yang kita harapkan berdampak baik, malah berefek sebaliknya bagi diri kita. 

Terakhir, tidak ada yang salah dengan menjadi “produktif”, apalagi di masa pandemi seperti sekarang yang seakan menjadikan “produktif” adalah suatu keharusan. Tapi, tetaplah ingat untuk menjaga kesehatan fisik maupun jiwa kalian.

Hidup bukanlah sebuah kompetisi, jadi untuk apa saling berlomba? What matters for you is your happiness and your health.

Jangan berhenti mengejar mimpi yang telah dibuat sembari terus menjaga kesehatan, istirahat yang cukup, dan rehat sejenak dari kesibukan dunia.

beras