Tradisi Kritik Nahdlatul Ulama: Belajar dari Mahbub Djunaidi dan KH Saifuddin Zuhri
Oleh: Adil Satria Putra*
Mahbub Djunaidi seringkali mendapat peringatan dari KH. Saifuddin Zuhri karena kritik Mahbub yang dianggap terlalu terbuka kepada Pemerintah Orba dan Kepada KH. Idham Chalid Ketua Umum PBNU saat itu.
Menurut KH. Saifuddin Zuhri Gaya kritik Mahbub yang frontal dan terbuka itu “bukan kultur NU”, Orang NU yang baik harus pandai menyimpan “kritik di dalam saku belakangnya”, Mahbub kerapkali menerima dampratan jangan begini dan jangan begitu.
Sebab wataknya yang teguh akan prinsip itu Mahbub harus menerima banyak konsekuensi salah satunya ialah ditendangnya ‘Duta Masyarakat’ sebagai Organ resmi NU, Mahbub sebagai pimpinan Redaksi Koran tersebut mengibaratkan Duta Masyarakat sempat menjadi Anak Gelandangan.
Mahbub yang berkawan karib dengan Pramoedya Ananta Toer percaya bahwa kita harus “berperilaku Adil Sejak Dalam Pikiran” dan keadilan pikiran itu harus pula dituangkan dalam sebuah tulisan.
Ia mengakui sendiri dalam kolomnya di koran Merdeka pada 12 Juni 1982 bahwa Mahbub mengidap sikap ganda kepada KH. Idham Chalid, ia mencintai KH. Idham Chalid karena 2 hal yakni karena beliau Kurus perawakannya tipis tak ubahnya pedagang batu permata dari Banjar dan Kedua yakni Pak Idham Chalid memiliki selera Humor tinggi.
Lalu yang tidak disukai Mahbub dari Pak Idham Chalid ialah sifat pelupanya dan acapkali mengambil keputusan mengambang di saat-saat Genting, ini amat vital bagi Mahbub karena menurutnya pemimpin yang tidak dapat mengambil keputusan ibarat membiarkan (tak peduli keputusan itu benar atau meleset) segala sesuatu akan berjalan mengambang. Seperti layang-layang putus talinya, dan akan jadi rebutan anak-anak.
Namun suatu ketika saat eskalasi menuju tabuh genderang Muktamar ke-27 kian memanas dan tercipta kubu Situbondo – Kubu Cipete, Mahbub terlongo-longo karna Kiai yang selama ini kerapkali menasehatinya agar mengedepankan “tawadhu'” dalam kritik justru KH. Saifuddin Zuhri sendirilah yang turun Gelanggang melancarkan Misil kritik kepada KH. Idham Chalid dan Bobot kritiknya lebih keras lebih berat berton-ton karena sudah menjadikan “Fiqh” sebagai barometer dan pisau analisa kritiknya.
Berikut Gambaran keheranan Mahbub yang ia tulis dalam kolomnya:
“Rupanya dunia sudah terbalik sungsang, pikirku. Rupanya malam sudah menjadi siang dan siang menjadi malam. Sang wasit agung sudah turun sendiri ke lapangan dan menggiring bola hingga ke tiang gawang. Apalagi jadinya kalau bukan membikin saya terlongo-longo? Apa sesungguhnya sudah terjadi? Apa sekedar fatamorgana atau nyata senyata-nyatanya? Pening kepala saya”.
Apa yang kemudian dapat kita petik dari kisah jahitan kritik antara Mahbub Djunaidi, KH. Saifuddin Zuhri, dan KH. Idham Chalid ialah bahwa tradisi kritik di Nahdlatul Ulama bukanlah hal tabu selama kritik tersebut didasarkan pada argumentasi logis apalagi dilandasi barometer “Fiqh” meminjam istilah Sang Pendekar Pena itu akan menaikkan Bobot Kritiknya Berton-ton.
Ini juga berlaku pada kritik yang belakangan tertuju pada KH. Yahya Cholil Staquf perihal kebijakan memberhentikan berjalannya kaderisasi MKNU & PKPNU di seluruh jajaran Pengurus Wilayah dan Cabang Nahdlatul Ulama, wajar kiranya banyak kader lulusan PKPNU-MKNU yang kecewa dengan kebijakan tersebut sebab adanya kaderisasi organik ini telah dirasakan manfaatnya dimana kader akar rumput dapat menerima wawasan Ekopol hingga kajian ideologi kritis, kajian historis dan lain sebagainya suatu hal yang amat megah bagi kader daerah yang kerontang akan siraman air kaderisasi, juga yang paling penting kegiatan PKPNU ini secara mandiri didanai oleh kader tanpa Proposal (sesuatu yang justru sering digaungkan oleh gus yahya bahwa kader NU harus berhenti mainan Proposal).
Kritik kader terhadap kebijakan PBNU ini harus diterima secara bijak, jangan lagi ada perundungan bahkan labeling bahwa yang mengkritik kebijakan KH. Yahya Cholil Staquf hanyalah Kadrun berbulu Domba, Nanti Mahbub terlongo-longo sambil ketawa sebab telinganya dijewer KH. Idham Chalid (Semoga Beliau para sepuh guru-guru kita tersenyum melihat keriuhan hari-hari ini dari alam sana).