Turats Syaikhona Kholil: Spirit Peradaban Bangkalan
oleh: Syamsul Hadi (Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darussalam (STIUDA) Bangkalan, Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir)
Syaikhona Muhammad Kholil merupakan salah satu tokoh asal Madura, Bangkalan yang turut berperan dalam upaya menumbuhkan kesadaran Nasionalisme di Indonesia. Pada kemudian hari bangunan Nasionalisme ini terbangun kokoh dan kuat, selanjutnya Indonesia memperoleh kemerdekaan pada 1945.
Mbah Kholil juga merupakan guru dari sejumlah pahlawan Indonesia seperti Hos. Cokroaminoto dan Sukarno. Menurut cerita, kala Bung Karno masih muda diajak oleh Hos. Cokroaminoto menyambangi Mbah Kholil di Bangkalan. Kejadian ini yang juga ditulis oleh Kh. As’ad Syamsul Arifin bahwa kala itu Bung Karno ditiup ubun-ubunnya seraya didoakan.
Perjalanan panjang Mbah Kholil, tentu menyisakan banyak peninggalan atau warisan (Turats). Hal ini tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga tidak banyak yang mengetahui. Oleh sebab itu diadakan Pameran Sejarah dan Turats Syaikhona Muhammad Kholil (23-26/11/21) yang bertempat di Masjid Syaikhona Muhammad Kholil, Bangkalan.
Selama ini, Masjid ini hanya dijadikan destinasi atau wisata religi, mengenang kembali sosok Mbah Kholil meskipun secara esensial banyak yang tidak paham. Mayoritas yang ziarah tidak lain bertujuan untuk mengais barokah Mbah Kholil (Tabarrukan), yang berorientasi religius sematas.
Mbah Kholil merupakan icon kebanggaan masyarakat Bangkalan pada khususnya. Ekspresi kebanggaan ini tidak terakomodir dengan baik sehingga banyak pesan atau warisan beliau yang tidak teridentifikasi dengan baik. Seperti misalkan perjalanan menimba ilmu, kitab-kitab peninggalan serta perilaku kedermawanan yang beliau lakukan semasa hidup.
Melihat sekilas perjalanan hidup Mbah Kholil, dapat kita petik beberapa nilai yang patut diambil dan memposisikannya sebagai warisan, yaitu semangat menimba ilmu, sikap kedermawanan, pluralisme dan seterusnya.
Semangat belajar Mbah Kholil tercermin bagaimana beliau menyambangi beberapa negara yaitu, Makkah, Madinah, Uzbekistan, Yaman, Suriah, Mesir, Al-Jazair, Rusia dan India. Tidak lain tujuannya untuk belajar, menimba ilmu pengetahuan.
Ada pun sikap kedermawanan dan pluralisme Mbah Kholil dapat kita lihat kala beliau membagikan sembako dan uang setiap kali bernjak dari Masjid Jami’ (posisinya depan Alun-Alun Bangkalan). Pemberian ini tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, melain kan juga kepada non Muslim di daerah Pecinan, Bangkalan yang notabenanya memang terdapat non Muslim.
Dari sekian pesan dan nilai yang Mbah Kholil ajarkan melalui perjalanan hidupnya, belum seutuhnya mampu merepresentasikan masyarakat Bangkalan saat ini. Contoh kasus, dalam aspek ilmu pengetahuan atau pendidikan, Bangkalan masih sangat rendah. Di beberapa daerah di Bangkalan ketimpangan pendidikan ini terjadi.
Selain itu, ketimpangan perekonomian juga sangat parah. Indikatornya tingkat pengangguran tinggi dan tingkat urbanisasi juga tinggi. Di samping memang masyarakat yang sudah kaya (Borjuis) tidak mewarisi kedermawanan untuk saling berbagi, juga instansi pemerinta sama sekali tidak dermawan, dalam arti penyediaan lapangan kerja sangat minim.
Jikalau diawal penulis sebut Mbah Kholil hanya menjadi objek tabarrukan, pada spek akhiratnya, mestinya juga kita bisa mengambil semangat Mbah Kholil dalam konteks duniawi.
Penulis menyimpulkan bahwa untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan atau akhirat, atau dunia dan akhirat secara bersamaan maka kuncinya adalah ‘ilmu’. Demikian pesan yang disampaikan Imam Syafi’i dalam pesannya:
“Barang siapa ingin mendapat (selamat) dunia, maka dengan ilmu. Barang siapa ingin mendapat (selamat) akhirat, maka dengan ilmu. Dan barang siapa yang selamat dunia akhirat, yaitu dengan ilmu” (terjemahan ala penulis).
Poin penting dalam pesan ini adalah ilmu. Bagaimana juga Islam datang membawa spirit ilmu. Terbukti seruan yang turun pertama kali adalah “bacalah”. Dan diulang berkali-kali dalam banyak ayat seruan untuk “berpikir”.
Perjalanan Mbah Kholil ke pelbagai Negara menjadi cambuk buat penulis sebagai bagian dari masyarakat Bangkalan. Bahwa penulis tidak ingin menuduh siapa, melaikan terhadap diri penulis sendiri yang sangat lemah dalam ilmu pengetahuan. Demikian juga masyarakat Bangkalan secara umum sangat rendah kesadaran pentingnya pendidikan.
Jika kita mengaca pada sejarah peradaban dunia, instrumen paling penting adalah ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Islam menjadi pelaku, Subjek yaitu pada masa kejayaan Kholifah Abbasiyah. Yang pada dekade selanjutnya peradaban beralih ke Barat dan sampai saat ini yang kita kenal dengan konten Globalisasi dan Digitalisasi. Tidak lain ini adalah kepanjangan tangan dari ilmu pengetahuan yang kemudian melahirkan teknologi.
Kesadaran ini sudah dibaca sejak dulu oleh Mbah Kholil. Penulis meyakini, perjalanan jauh Mbah Kholil untuk menimba ilmu tidak lain adalah ingin membangun peradaban Bangkalan.
Berbicara soal warisan atau Turots, penulis jadi teringat sosok Hasan Hanafi, pelopor Teologi Pembebasan. Hasan Hanafi dalam upaya revolusinya di Mesir menggunakan selogan Turots Wa Tajdid (Warisan dan Perubahan).
Menurut Hasan Hanafi, memaknai Turots tidak sesederhana, yaitu benda mati, peninggalan terdahulu yang terkoleksi di perpustakaan, atau museum. Akan tetapi Turost merupakan elemen budaya, kesadaran berfikir dan potensi yang hidup. Turats merupakan dasar argumentasi yang membentuk World View (Pandangan dunia) serta membimbing generasi mendatang dan menjadi tanggung jawab terhadap generasi selanjutnya.
Pola pendekatan atau metode yang digunakan untuk memaknai Turost, Hasan Hanafi menawarkan sebuah kaidah Ushul “Almuhafadlah ‘ala qaadimis al-shalih, wa al-akhdu bi al-jdidi al-ashlah” (Menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang relevan).
Yakni, warisan-warisan baik yang ditinggalkan, dilestarikan, dirawat dan diramut. Misalkan perkembangan zaman menuntut modifikasi, kita sesuaikan dengan tantangan zaman dan konteks, kebutuhan situasi.
Mbah Kholil mewariskan kita spirit keilmuan yang sangat luar biasa sebagaimana sudah diceritakan. Jika dulu Mbah Kholil perlu jauh menyambangi negara luar untuk bisa mengakses ilmu, di era kekinian dapat lebih mudah dengan adanya internet, teknologi dan sebagainya apabila ilmu yang dituju tidak bisa diakses secara langsung misalkan di bangku sekolah atau kampus.
Salah satu faktor rendahnya pendidikan di Bangkalan, selain perekonomian yang bisa diselesaikan dengan biasiswa yang melimpah, yaitu tingkat kesadaran.
Karena ini berbicara pendidikan maka perlu kiranya mengutip dari salah satu tokoh pendidikan dunia, yaitu Paulo Freiere. Freire menjelaskan klasifikasi kesadaran ada tiga; kesadaran Magis, kesadaran Naif, kesadaran Kritis.
Kesadaran magis yaitu kesadaran yang hanya pasrah pada kondisi yang diyakini adalah pemberian tuhan. Kesadaran Naif yakni kesadaran yang menyadari perlunya perubahan, akan tetapi enggan untuk mewujudkannya. Sedangkan kesadaran kritis adalah tingkat kesadaran tertinggi, yang tidak hanya sadar akan perubahan pada situasi yang lebih baik, namun juga harus bergerak untuk mencapai target perubahan.
Demikian bisa kita identifikasi dalam bagian tertentu, misalkan di Bangkalan perkotaan masyarakat sudah masuk pada kesadaran kritis, sedangkan di pedesaan masih pada kesadaran magis dan naif. Ini sifatnya subjektif. Mari lanjut diskusi di warung kopi.
Dengan cara apa mengatasi persolan ini? Kecenderungan masyarakat Bangkalan, Madura pada umumnya adalah meniru. Ini kelebihan kita juga. Maka, kaum terpelajar, kaum mahasiswa dan sejenisnya harus bisa membuktikan bahwa kulitasnya lebih baik dari pada mereka yang tidak peenah mengenyam bangku sekolah, apalagi kuliah.
Kulitas dalam arti tidak hanya berpenampilan modis, sok keren, apalagi sok jago karena mahasiswa, lebih dari pada itu pola pandang kita harus lebih progreaif dan visioner, serta tindakan kita lebih berintegritas dan bermoral untuk mencapai yang namanya perubahan. Tidak cuma tau ngoceh sana sini, koar-koar teori perubahan dan sejenisnya melainkan harus mampu mewujudkan perubahan itu sendiri. Ini yang disebut Intletual Organik (Antonio Gramsci).
Pada bagian akhir ini, penulis tegaskan warisan (Turats) paling berharga Bah Kholil adalah spirit ilmu pengetahuan. Sebagai menerima warisan kita harus dapat menangkapnya dengan baik dan benar. Dengan ilmu, kita akan dapat kebahagiaan dunia dan akhirat dan dengan ilmu pengetahuan kita dapat mewujudkan peradaban Bangkalan yang sampai saat ini hanya angan-angan utopis.