Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Wacana Perpanjangan Jabatan Kades, FITRA dan Sijar Keluarkan Lima Catatan Kritis
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menemui massa pengunjuk rasa yang berasal dari para perangkat desa se-Indonesia, di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, (17/1/2022). Dalam aspirasinya, para perangkat ke desa menuntut revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Foto: Devi/Man

Wacana Perpanjangan Jabatan Kades, FITRA dan Sijar Keluarkan Lima Catatan Kritis



Berita Baru, Jakarta – Selasa (17/1/2023) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dipenuhi orang-orang dengan seragam coklat. Ribuan Kepala Desa se Indonesia melakukan aksi. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. 

Para kepala desa itu mendesak agar DPR segera melakukan revisi pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Demo Kepala Desa menuai banyak kritik dari eleman masyarakat. Beberapa pihak menilai aksi perpanjangan jabatan kepala desa itu hanyalah demi kepentingan kepala desa bukan masyarakat.

Menyikapi hal tersebut, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi (Seknas FITRA) bersama Simpul Jaringan (Sijar) berpandangan bahwa revisi Undang-Undang Desa saat ini belum mendesak dilakukan. FITRA justru mendorong agar pemerintah fokus pada perbaikan kualitas dan mandat UU Desa, diantaranya mandatory spending untuk memperkuat ruang fiskal di desa serta melakukan perbaikan regulasi pelaksanaan UU Desa agar tidak overlap. 

Sikap itu bukan tanpa alasan. FITRA dan Sijar setidaknya memiliki lima pertimbangan. Pertama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan hasil refleksi panjang dari pemaknaan posisi Desa di Indonesia. UU Desa diharapkan dapat meningkatkan peran desa dalam pembangunan Indonesia berdasarkan kewenangan yang dimiliki desa. 

Sejauh ini harapan itu belum berjalan optimal. Menurut hasil kajian FITRA, belum maksimalnya pelaksanaan UU Desa bukan karena isi dan subtansi UU Desa, akan tetapi karena tumpang tindih regulasi pelaksanaan UU Desa yang “mengamputasi” sebagian kewenangan Desa,” terang mereka dalam rilis yang diterima beritabaru.co.

Kedua, perencanaan dan penganggaran pembangunan desa yang baik sebagai sarana untuk meningkatkan produktifitas kinerja pemerintahan desa. Mereka menerangkan perencanaan dan penganggaran pembangunan yang baik dapat terlaksana jika mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas serta memperkuat partisipasi masyarakat. 

Pelibatan seluruh elemen masyarakat menjadi modalitas dan kekuatan bagi kepala desa untuk mewujudkan produktifitas kinerja. Sementara itu temuan FITRA di lapangan, menunjukkan partisipasi masyarakat di desa masih rendah. 

“Problem besar bagi Desa adalah banyaknya urusan supra desa diserahkan kepada Desa dan menjadikan beban desa semakin berat, sementara kewenangan Desa belum dapat berjalan sesuai yang dimandatkan,” jelasnya. 

Mereka menyebutkan bahwa prinsip-prinsip perencanaan dan penganggaran yang baik terabaikan, kasus korupsi di desa semakin meningkat. Maka solusi yang ditawarkan adalah pemerintah harus berkomitmen dan lebih fokus memperbaiki anomali pelaksanaan UU Desa secara konsekuen, mengurangi overlap regulasi, dan menyudahi pembangunan rezim administrasi yang berdampak koruptif, manipulatif, dan mobilisasi. 

Mereka mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menunjukan bahwa korupsi keuangan desa masuk daftar tiga besar korupsi terbanyak di Indonesia dengan 601 kasus korupsi yang melibatkan 686 tersangka berasal dari aparatur desa.

Ketiga, Supra Desa perlu meningkatkan kualitas pemerintahan desa agar memiliki kemampuan yang baik dalam melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka menilai problem mandulnya fungsi pembinaan dan pengawasan Supra Desa terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang lebih mensejahterakan rakyat. 

Mereka menawarkan solusi yakni, pemerintah Supra Desa harus konsisten untuk meningkatkan kapasitas aparat pemerintahan desa. “Penguatan itu dapat dilakukan dengan memberikan peningkatan kapasitas aparat pemerintahan desa agar memilki kemampuan menyusun perencanaan dan penganggaran yang lebih tepat sasaran,” kata mereka. 

Selain itu, perlu memperkuat fungsi pengawasan BPD, masyarakat dan supra desa agar tidak ada penyalahgunaan kewenangan jabatan kepala desa.

Keempat, wacana perpanjangan masa jabatan Kades 9 tahun dan dapat dipilih kembali selama dua periode belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya. Mereka melihat wacana itu perlu ditangguhkan. Bagi mereka yang dibutuhkan hari ini justru memperkuat demokratisasi di desa. 

“Demokratisasi Desa bertujuan untuk memperkuat kewenangan desa dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, untuk mencapainya diperlukan pendidikan politik warga yang baik,” tegasnya. 

Menurut mereka, pemberian wewenang warga desa memilih sendiri kepala desanya yang dikenendaki sesuai dengan adat istiadat setempat sudah berlangsung sejak tahun 1854. Polarisasi sebagai residu pilkades terjadi, menurut mereka, karena demokratisasi desa dimaknai sebatas suksesi kepala desa bukan subtansi demokrasi desa misalnya visi berdesa dan kualitas gagasan dalam program kerja. 

“Karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan kades belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya. Masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih 3 kali sebagaimana selama ini berjalan sudah baik. Tinggal bagaimana masalah kesejah-teraannya terpenuhi, terlebih dengan banyaknya beban pekerjaan yang diemban kepala desa,” imbuhnya. 

Kelima, problem yang dialami banyak desa bukan sebatas masa jabatan kepala desa, lebih mendasar lagi terkait kesejahteraan aparatur desa. Problem pengaturan penghasilan tetap dan tunjangan Kades dan perangkat desa, bagi mereka. belum mencerminkan rasa keadilan. 

Perintah membayar gaji/siltap, tunjangan, dan operasional pemerintahan desa harus bersumber dari ADD serta besaran prosentase antara jabatan Kades, Sekdes, dan perangkat lainnya sudah diatur sedemikian ketat dan tidak proporsional serta tidak mencerminkan jaminan peningkatan kesejahteraan. 

“Tawaran solusinya adalah pemerintah pusat berkomitmen mengalokasikan 10% Dana Desa dari dana transfer (on top) dan dapat dialokasikan untuk operasional Pemdes serta mengkaji kembali pengaturan prosentase siltap,” jelasnya. 

Di samping itu, pemerintah daerah juga diminta berkomitmen mengalokasikan ADD minimal 10 % dari DAU plus DBH dan bagi hasil pajak serta retribusi daerah untuk desa. 

beras