WALHI Jatim Desak Kementerian ATR/BPN Cabut Izin HGU PT Bumi Sari
Berita Baru Jatim, Surabaya – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur menerbitkan rilis resmi mengenai perampasan ruang hidup warga desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi. Dalam rilisnya WALHI mengungkap data-data dan kronologis perjuangan warga Pakel melawan PT Bumi Sari.
“Pada tanggal 24 September 2020, bertepatan dengan Hari Tani Nasional yang ke-60, dan hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, warga Pakel, Licin, Banyuwangi, melakukan aksi pendudukan lahan kembali (Reklaiming) di lahan mereka yang selama ini dirampas oleh PT Bumi Sari. Aksi tersebut terus berlangsung hingga kini, dan melibatkan sedikitnya 800 orang lebih,” tulis WALHI Jatim dalam rilisnya, Jumat (8/1/2021).
Sebelum aksi reklaiming warga Pakel telah menempuh berbagai jalan selama puluhan tahun untuk mendapatkan tanahnya kembali namun jalan ditempuh kerap berujung buntu.
“Sebelumnya, warga Pakel telah menempuh berbagai cara selama puluhan tahun untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka. Namun, segala usaha yang mereka lakukan kerap berujung buntu. Misalnya, pada tahun 1999-2001, aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh warga Pakel telah menyebabkan puluhan warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan,” ungkapnya.
Peristiwa kekerasan tersebut juga telah menyebabkan sebagian besar pemuda/i Pakel putus sekolah, dan membuat Pakel sepi dari laki-laki dewasa, karena mereka terpaksa mengungsi dan meninggalkan kampung untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan.
“Selanjutnya, aksi reklaiming yang dilakukan pada Desember 2018, juga bernasib sama. Puluhan warga Pakel kembali mendapatkan surat panggilan dari pihak Polres Banyuwangi sepanjang tahun 2019. Bahkan, satu orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka dan sempat ditahan tapi mendapatkan putusan tidak bersalah oleh PN Banyuwangi pada tahun 2020. Aksi itu bermula pasca terbitnya sebuah pernyataan dari BPN Banyuwangi nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, yang menyatakan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari,” tambahnya.
Kini di tengah penindasan dan ketiadaan lahan untuk dikelola sebagai lahan pertanian, beredar rumor secara luas, bahwa PT Bumi Sari telah mengantongi HGU terbaru, yang konon memasukkan sebagian wilayah Desa Pakel sebagai HGU mereka. Patut diketahui salinan dokumen tersebut tidak dimiliki oleh warga dan pemerintah Desa Pakel.
“Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, mencatat bahwa konflik agraria yang terjadi di Pakel semakin mengukuhkan Banyuwangi sebagai kabupaten penyumbang konflik agraria tertinggi di Jatim. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2014 selain kasus Pakel, terdapat 5 kasus agraria lainnya di wilayah Banyuwangi yang bersumber dari sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Enam konflik tersebut sedikitnya telah menyebabkan 105 orang warga menjadi korban (mengalami tindakan kekerasan, kriminalisasi, ataupun hukuman penjara), tutupnya.
Kronologi Singkat Kasus Pakel dari tahun-ketahun
Pada tahun 1925, sekitar 2956 orang warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran yang terletak di Pakel, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda. Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929 permohonan tersebut dikabulkan dan mereka diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 Bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Dalam perkembangannya, walaupun telah mengantongi izin Akta 1929, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari pihak aparat pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, warga Pakel terus berjuang untuk mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam Akta 1929. Diantaranya adalah pada tahun 1960-an, mereka mencobanya dengan mengajukan surat permohonan untuk bercocok tanam di kawasan yang berlokasi di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Namun surat tersebut tidak mendapatkan jawaban apapun dari pemerintah.
Di tengah situasi itu, untuk sekedar menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel mulai bercocok tanam di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (berada di Pakel dan masuk dalam peta Akta 1929). Namun pasca meletusnya tragedi kemanusiaan 30 September 1965, warga Pakel tidak berani menduduki lahan itu dan takut dituduh sebagai anggota PKI.
Selanjutnya, pada tahun 1980-an, lahan yang mereka kelola tersebut, yang masuk dalam kawasan (Akta 1929), tiba-tiba diklaim menjadi milik perusahaan perkebunan PT Bumi Sari.
Padahal jika merujuk SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar, yang terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni: Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi.
Walaupun SK Kemendagri diatas menegaskan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Desa Pakel, namun dalam praktiknya, PT Bumi Sari tetap menguasai dan melakukan kegiatan penanaman hingga Desa Pakel. Fakta penting lainnya adalah bahwa kawasan hutan “akta 1929” yang semula hanya diklaim milik PT Bumi Sari, juga dikuasai oleh Perhutani. Dari sinilah konflik agraria di Pakel semakin kompleks, dan perjuangan warga terus berlangsung hingga kini.
Oleh sebab itu, WALHI Jatim menuliskan tuntutan dengan sejarah panjang penindasan dan eksploitasi:
- Mendesak Kementerian ATR/BPN mencabut izin HGU PT Bumi Sari demi kesejahteraan warga Pakel, Banyuwangi.
- Mendesak KPK RI untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi dan pelanggaran perizinan yang dilakukan oleh PT Bumi Sari dan instansi terkait. Kami menduga, penguasaan lahan yang dilakukan oleh PT Bumi Sari selama puluhan tahun ini di Pakel, telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang cukup besar.
- Mendesak Kapolri beserta jajarannya mengusut dugaan tindak pidana penguasaan lahan secara ilegal oleh PT Bumi Sari, seperti yang telah dijelaskan dalam surat Kemendagri tahun 1985 di atas dan Surat Keterangan BPN Banyuwangi tahun 2018. Sekaligus menghentikan seluruh tindakan kriminalisasi terhadap warga Pakel yang sedang berjuang atas kasus konflik agraria ini.
- Mendesak Komnas HAM melakukan investigasi dan pengumpulan data secara langsung, terkait pelanggaran HAM yang menimpa perjuangan warga Pakel selama ini.