WALHI Jatim Minta Hentikan Perubahan RTRW Kota Batu
Berita Baru Jatim, Surabaya — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim meminta pemerintah Kota Batu menghentikan proses perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal tersebut disampaikan melalui siaran pers yang diterima Beritabaru.co, pada Kamis (13/8).
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur Rere Christanto, menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan pondasi dasar pengelolaan ruang, oleh karenanya RTRW memberi dampak serius terhadap peri kehidupan masyarakat Kota Batu.
Namun, pihaknya menyayangkan proses penyusunan perubahan RTRW Kota Batu tersebut dinilai penuh pelanggaran prosedur dan cacat substansi. Hal itu nampak dari hal-hal berikut:
- Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa:
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program”.
Namun faktanya hingga saat ini, Pemerintah Kota Batu Kota Batu masih belum bisa menjawab terkait dengan keberadaan Dokumen KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). - Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah mensyaratkan Dokumen Peninjauan Kembali Tata Ruang jika akan dilakukan terhadap RTRW yang tenga berjalan. Revisi terhadap RTRW dilakukan bukan untuk pemutihan terhadap penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang. Penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (a.) pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukan dalam RTRW; dan/atau (b). pemberian izin pemanfaatan ruang untuk kegiatan yang melebihi dominasi fungsi dalam RTRW. (Pasal 22)
Pemerintah Kota Batu hingga sekarang tidak menunjukkan dokumen Peninjauan Kembali sebagai syarat perubahan RTRW. - Dalam Pasal 8 ayat (4) revisi perda yang baru dijelaskan bahwa Bagian Wilayah Perkotaan III yaitu kecematan Bumiaji mengalami penurunan fungsi wilayah konservasi. Hal ini bisa kita lihat pada Pasal 14 Perda nomor 7 tahun 2011 disebutkan bahwa Kecamatan Bumiaji sebagai kawasan agropolitan, pengembangan kawasan wisata alam dan lingkungan serta kegiatan agrowisata. Akan tetapi, dalam revisiperda baru fungsi tersebut berubah drastis,yaitu disebutkan fungsi dari Kecamatan Bumiaji adalah pertanian, perdagangan jasa skala kota, wisata alam dan buatan, pendidikan skala kota, kesehatan skala BWP, peribadatan, akomodasi wisata, sentra industri kecil, perumahan dan konservasi. Ada perbedaan yang sangat jelas terkait fungsi Kecamatan Bumiaji di Perda lama dan revisi. Kecamatan Bumiaji sebagai jantung Kota Batu yang terletak pada dataran tinggi dan melimpahnya SDA terutama Sumber Mata Air kini mulai terancam dengan diturunkannya status fungsi dari konservasi menjadi industri.
- Dalam Pasal 11 ayat (2) revisi rancangan Perda RTRW disebutkan adanya mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi ( PLTP ) atau Gheotermal yang terletak di Desa Sumber Brantas serta Desa Tlekung dan Desa Oro – oro ombo. Gheotermal sendiri bukan proyek yang benar – benar menjadi kebutuhan bagi masyarakat Kota Batu.
- Dalam Pasal 13 ayat (10) huruf c disebutkan bahwa mata air Gemulo sebagai jaringan air baku untuk air bersih melayani Desa Sidomulyo, Desa Pandanrejo, Desa Torongrejo serta Desa Beji dan Desa Mojorejo. Sedangkan Desa Bulukerto sebagai pemilik wilayah dimana sumber mata air Gemulo berada tidak tercantum dan Desa Bumiaji sebagai pengguna. Hal tersebut sangat disayangkan oleh masyarakat Desa Bulukerto khususnya RW 01 sebagai pengguna yang langsung berdampak pada pemanfaatan sumber mata air gemulo.
- Dalam Pasal 13 ayat (10) huruf e disebutkan bahwa sumber mata air cemoro kandang hanya melayani Panderman Hill. Adanya perlakukan khusus dan istimewa terhadap Panderman Hill ini bertentangan dengan fungsi sumber mata air untuk kemakmuran masyarakat. Dimana sumber mata air seharusnya mejadi milik umum tanpa ada privatisasi.
- Dalam Pasal 18 Sumber Mata Air tidak dicantumkan sebagai Kawasan Perlindungan Setempat. Hal ini menjadi sangat fatal Buku Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 disebutkan bahwa sumber mata air yang berada di Kota Batu, 52 mata air telah mengalami kekeringan dan 30% diantaranya berada di Kecamatan Bumiaji. Letak sumber mata air yang mengalami kekeringan tersebut, 20 buah berada di lahan milik Perhutani dan 32 sumber mata air di lahan rakyat. Investigasi yang dilakukan di daerah Toyomerto-Gunung Arjuno dan Sumberdem-Gunung Kawi menunjukkan mengecilnya mata air yang ada bahkan hilangnya beberapa sumber mata air. Suber mata air di Sumber Brantas, Kota Batu sebanyak 50% mata air hilang dalam kurun waktu dua tahun. Sebelas mata air mengering, sedangkan 46 mata air mengalami penurunan debit dari 10meter kubik/detik menjadi kurang dari 5 meter kubik/detik (Jumlah mata air tahun 2007: 170; tahun 2008: 111; tahun 2009: 46
- Dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan hanya ada 4 Keluarahan dan 11 Desa yang terdapat sempadan mata air. Pemerintah Kota Batu sendiri mengetahui bahwa diseluruh Desa/Kelurahan yang di Kota Batu memiliki mata air. Ada 9 Desa yang tidak dicantumkan dalam Pasal tersebut yang dapat berakibat pada hilangnya mata air.
- Dalam Pasal 23 disebutkan bahwa RTH Privat hanya sebesar 10 persen saja. Sedangkan pada Pasal 29 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Serta untuk proporsi RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.
- Dalam Pasal 26 disebutkan ada 4 kawasan pertanian yaitu kawasan tanaman pangan, kawasan hortikultura, kawasan peternakan dan kawasan pertanian berkelanjutan. Hanya kawasan tanaman pangan saja yang dijelaskan luasan jumlah kawasan dan daerah dimana penyebaran kawasan tanaman pangan. Untuk tiga kawasan seperti kawasan hortikukltura, kawasan peternakan dan kawasan pertanian berkelanjutan tidak ada penjelasan secara jelas yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum terkait hal tersebut.
- Dalam Pasal 41 ayat (2) disebutkan mekanisme perizinan dilakukan berdasarkan perwali dan pada bagian penjelasan tidak ada penjelasan. Ini menimbulkan kekhawatiran jika, perda ini berlaku dan kemudian tidak adapengaturan mekanisme perizinan, maka pembangunan yang ada akan semakin liar tanpa ada pengaturan yang jelas.
- Dalam Pasal 46 pengaturan sanksi tidak dijelaskan secara eksplisit sanksi bagi aparatur sipil negara yang melanggar peraturan tersebut. Sehingga ini akan menimbulkan kesewenang – wenangan kepada pejabat atau ASN dalam melakukan pemberian izin.
- Dalam Pasal 53 sampai 59 disebutkan kata “ peran “ masyarakat sedangan kata “ peran “ dan “ peran serta “ memiliki arti dan makna yang berbeda. Ketika masyarakat ikut terlibat dalam perencanaan revisi maka seharusnya menggunakan kata “ peran serta “ atau partisipasi. Dan dalam pelaksanaannya masyarakat belum dilibatkan secara penuh dalam perencanaan.
Atas seluruh kejanggalan tersebut, WALHI Jawa Timur menyerukan agar:
- Pemerintah Kota Batu dan DPRD Kota Batu menunda segala upaya pengesahan Ranperda RTRW Kota Batu 2019-2039 yang sekarang berjalan.
- DPRD Kota Batu melakukan inventarisasi masalah-masalah tata ruang kembali bersama warga. Penyusunan revisi atas RTRW Batu perlu dilakukan melalui pembangunan dan pemeliharaan kepercayaan warga (public trust) pada pemerintah dengan melakukan kerja-kerja “kolaboratif” bersama warga dalam hal pengaturan ruang dan wilayah Kota Batu.
3.Jika Pemerintah Kota Batu dan DPRD Kota Batu tetap mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bermasalah, maka warga bisa menggunakan hak hukumnya untuk melakukan Judicial Review terhadap regulasi ini.