Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Walhi Jatim Sebut Pentingnya Peran Pemerintah Soal Tingginya Intensitas Bencana
Wahyu Eka Koordinator Manajer Kampanye Walhi Jatim. (Foto: beritabaru.co)

Walhi Jatim Sebut Pentingnya Peran Pemerintah Soal Tingginya Intensitas Bencana



Berita Baru Jatim, Surabaya – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur merilis tulisan ‘Intensitas Bencana Hidrometeorologi dan Pentingnya Peran Pemerintah’.

Wahyu Eka S Manajer Kampanye Walhi Jatim menjelaskan bencana Hidrometeorologi sebuah proses fenomena alam pada atmosfer, hidrologi yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa dan hilangnya mata pencaharian.

“Bencana Hidrometeorologi secara umum dapat dipahami sebagai proses atau fenomena alam pada atmosfer, hidrologi atau oseanografi yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak kesehatan lainnya, kerusakan harta benda, hilangnya mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau adanya kerusakan lingkungan yang masif,” jelasnya.

Secara lebih luas bencana ini disebabkan oleh peristiwa meteorologi dan iklim yang ekstrim, seperti banjir, kekeringan, angin topan, tornado, atau tanah longsor.

“Mereka bertanggung jawab atas sebagian kecil dari bahaya alam dan terjadi di semua wilayah di dunia, meskipun frekuensi dan intensitas bahaya tertentu dan kerentanan masyarakat terhadapnya berbeda antar wilayah,” lanjutnya.

Bencana di Jatim berdasarkan perhitungan dari catatan BNPB dari tahun 2013 sampai pada tahun 2019 telah terjadi 2676 bencana hidrometeorologi.

“Rinciannya adalah banjir sebesar 743 kasus, longsor 514 kasus, kekeringan 66 kasus, kebakaran hutan 361 kasus, gelombang pasang 22 kasus dan angin kencang sebanyak 970 kasus,” paparnya.

“Jika dilihat dari pendekatan pendekatan per kasus, setiap tahunnya ada peningkatan jumlah bencana, dari tahun 2013 dan 2014 ada sekitar 233 kasus, lalu meningkat menjadi 297 kasus pada tahun 2015, semakin meningkat lagi pada tahun 2016 sebesar 404 kasus, 2017 sekitar 434 kasus, 2018 bertambah menjadi 455 kasus dan semakin pesat peningkatannya pada tahun 2019 dengan jumlah kasus sebesar 620 kasus,” tambahnya.

Peningkatan bencana hidrometeorologi pada tiap jenis bencana mengalami perubahan yang signifikan, pada peningkatan grafis sistematis. Kondisi ini dapat di cek dengan melakukan studi media

“Mencari bencana yang terjadi pada periode 2019 hingga tahun 2020, akan didapatkan sekitar 50 lebih warta lokal menuliskan soal bencana hidrometeorologi, dari banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, gelombang pasang dan kekeringan,” lanjutnya Koordinator Kampanye Walhi Jatim.

ia menuturkan pada tahun 2019 bencana hidrometeorologi melanda 21 wilayah di Jawa Timur sesuai laporan BPBD dan sekitar 18 wilayah mengalami bencana angin kencang

“Wilayah Jember, Trenggalek, Lumajang, Pamekasan, Magetan, Kabupaten Blitar, Sidoarjo, Kabupaten Probolinggo, Nganjuk, Kota Kediri, Sumenep, Kota Batu, Ponorogo, Kabupaten Kediri, Kabupaten Madiun, Kabupaten Mojokerto, Kota Pasuruan dan Bojonegoro. Dua wilayah lain mengalami banjir cukup parah yakni Pasuruan dan Mojokerto, sementara satu bencana yakni longsor terjadi di Bojonegoro,” ungkapnya.

Tambahnya, BPBD mengungkapkan pada tahun 2019 dilanda banjir yang cakupannya meliputi 15 kabupaten Kabupaten Madiun, Nganjuk, Ngawi, Magetan, Sidoarjo, Kediri, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo, Gresik, Pacitan, Tranggalek, Ponorogo, Lamongan dan Blitar.

“Banjir paling parah terjadi di wilayah Madiun. Bencana tersebut berdampak pada 12.495 KK dari total populasi 15 kabupaten di Jawa Timur. Di tahun 2019 ini juga BPBD juga mencatat wilayah terdampak kekeringan dan kekurangan air bersih yang meliputi 22 kabupaten, 128 kecamatan dan 450 desa di Jawa Timur,” tambah Eka.

Selain itu, kebakaran hutan dan lahan diketahui jika 7 gunung di Jawa Timur pada tahun 2019 hutannya mengalami kebakaran hutan saat memasuki puncak musim kemarau.

“Gunung tersebut adalah Arjuna, Welirang, Kawi, Wilis, Semeru, Bromo, dan Ijen. Menurut KLHK ada kurang lebih 23.655 hektar kawasan hutan serta lahan yang terbakar pada tahun 2019,” imbuhnya.

“Pada tahun 2020 sendiri ada beberapa catatan terkait bencana seperti angin kencang yang melanda Ponorogo, longsor yang terjadi di Lumajang dan banjir yang melanda Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Madiun dan Trenggalek,” jelasnya.

Sementara, ia merincikan 5 daerah terbakar dari tahun 2001 hingga 2021 dan Jatim memiliki 19.400 hentar di seluruh wilayah atau setara dengan 0,28 persen dari penutupan pohon di Indonesia

“Banyuwangi 15.800 hektar, Jember 12.200, Malang 8.780, Bondowoso 4.740 dan Tulungagung 3.860. Pada tahun 2000, 37% Jawa Timur merupakan tutupan hutan alam. Kini Jawa Timur telah kehilangan area hutannya. Sehingga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan cukup tinggi dan resiko kerentanan bencana juga memiliki nilai yang tinggi, jika melihat kondisi yang ada,” jelasnya.

Perlu dilihat bahwa pemerintah terlalu abai terkait keselamatan rakyat dengan tidak melihat faktor kerentanan wilayah dalam menetapkan tata ruang dan sebuah kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari masifnya izin tambang dan aneka izin yang tumpang-tindih dengan kawasan hutan lainnya.

“Perlu diketahui menurut catatan dari JATAM Nasional sampai pada tahun 2016, pada laporan yang dipublikasikan 16 April 2019 terdapat 378 izin usaha pertambangan setara dengan 86.904 hektar di tahun 2012. Selama empat tahun terakhir dari 2012-2016 telah terjadi peningkatan luas 535% dari 86.904 hektar menjadi 551.649 hektar, baik di kawasan hutan maupun non-hutan,” lanjutnya.

Salah satu yang masih lemah, masih terbatasnya data tentang dampak kesehatan dari peristiwa cuaca ekstrem, serta masih abai terhadap sains dan realitas.
“Hal ini dapat dilihat dari penanganan kasus penyakit menular hingga dampak kesehatan mental dari suatu peristiwa itu sendiri atau dari proses pemulihan, yang tidak ada penanganan tepat sasaran dan hanya sebagai pemadam api,” tambahnya.

Pemerintah juga harus merancang, melaksanakan, mengevaluasi strategi, kebijakan, dan langkah-langkah untuk meningkatkan pemahaman tentang risiko bencana. Lalu meningkatkan pengurangan dan pengalihan risiko bencana, terus mempromosikan peningkatan kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan bencana.

“Sampai saat ini, manajemen risiko bencana tidak mempertimbangkan bagaimana perubahan iklim dapat mengubah efektivitas program mereka. Karena kebutuhan, fokus mereka adalah pada pencegahan, respons, dan pemulihan dari berbagai peristiwa, tidak semua terkait iklim, dengan lebih sedikit perhatian pada risiko jangka panjang,” tutupnya.

beras