Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Walhi Sebut Perluasan Industri Ekstraktif di Jatim Ancam Keselamatan Ruang Hidup
Dok. Foto: Instagram @walhi.jatim

Walhi Sebut Perluasan Industri Ekstraktif di Jatim Ancam Keselamatan Ruang Hidup



Berita Baru Jatim, Surabaya – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur (Walhi Jatim) keluarkan pers rilis berisi catatan konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur pada Rabu (07/04/2021). Baik persoalan konflik sosial yang diakibatkan oleh persoalan tatakelola dan tatakuasa lingkungan hidup yang tak kunjung selesai hingga hari ini.

Dalam rilisnya, Walhi menyebutkan tiga poin penting. Pertama persoalan perluasan ruang industri ekstraktif. Kedua, kriminalisasi rakyat, dan ketiga bencana ekologis.

Walhi dan Jaringan Akar Rumput menyebutkan dalam perluasan industri ekstraktif, memperlihatkan jika Jawa Timur semakin liar dengan menetapkan beberapa kawasan rentan bencana dan kawasan pangan untuk beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan atau penunjang pertambangan, selain itu juga mencuat isu perkebunan sawit.

“Kami melihat baik dari wilayah pesisir utara, tengah dan selatan memiliki potensi penyempitan ruang hidup,” demikian dalam keterangannya.

Di wilayah pesisir utara Jawa, perubahan RTRW yang dilakukan oleh beberapa kabupaten salah satunya Tuban dan Lamongan turut mengancam keberadaan wilayah-wilayah esensial seperti karst.

“Padahal dalam dokumen KLHS wilayah Tuban dan Lamongan direkomendasikan untuk menyelamatkan dan melindungi kawasan karst mereka, tetapi secara praktik ternyata RTRW yang dibuat memiliki celah untuk mendukung eksploitasi kawasan karst,” terangnya.        

Selain itu, pihaknya juga menyebutkan keberadaan migas dan aneka infrastrukturnya juga difasilitasi oleh aturan tersebut, sehingga berpotensi untuk merampas ruang hidup rakyat dan kawasan pangan dengan dalih kepentingan nasional, seperti yang terjadi di Tuban.

Selain dua wilayah tadi, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil juga tengah terancam. Di wilayah Gresik yakni di Pulau Bawean rencana penambangan pasir skala besar untuk proyek kilang minyak Tuban akan memaksa perusakan masif ekosistem pesisir Bawean dan mengancam keberadaan flora dan fauna. Sementara di Sumenep tengah terancam karstnya oleh rencana penambangan fosfat, padahal karst di Sumenep menyimpan jasa lingkungan yang baik, sehingga ketika dieksploitasi akan semakin memperentan kondisi lingkungan di sekitarnya. Ancaman menurunnya debit air dan aneka kerusakan lainnya tengah menghampiri Sumenep.

Di wilayah Pesisir Selatan, pasca berjalannya Tumpang Pitu di Banyuwangi, pemerintah berencana untuk memperluas ruang eksploitasi mereka dengan menyasar Trenggalek. Kawasan karst Trenggalek yang merupakan area penting karena menjadi kawasan hidrologi dan penyerab karbon akan terancam dengan rencana penambangan emas yang akan memakan 12.813 hektar.

Selain ancaman hilangnya karst, rencana penambangan emas juga turut memperentan keamanan pangan karena areanya akan menyaplok kawasan pertanian. Tidak cukup di situ, keberadaan tambang emas di Trenggalek akan menghancurkan beberapa warisan budaya dan sejarah yang berada di sekitar kawasan karst, seperti situs kampak.

Selain  di wilayah Trenggalek, ancaman pertambangan dan perkebunan sawit juga menyasar kawasan Pesisir Selatan Malang. Menurut Walhi Jatim, kawasan Pesisir Selatan Malang merupakan wilayah penting di selatan Jawa sebagai penyeimbang ekosistem, tempatnya hewan dan tumbuhan langka serta menjadi kawasan yang menjaga emisi karbon. Tidak cukup di Malang Selatan, sepanjang pesisir Lumajang dan Jember juga tengah terancam pertambakan besar udang yang mengancam landskap pesisir karena menempati kawasan konservasi, dan berpotensi mengubah landskap tersebut.

“Ditambah rencana pertambangan pasir besi yang dihidupkan kembali di Jember, Paseban, berpotensi menghancurkan ekosistem pesisir dan pangan. Tidak cukup di situ, aneka eksploitasi karst di Puger, Jember juga mengancam keberadaan hidrologi karst,” ungkap Walhi.

beras