Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Webinar Hiski Jember Menyoal Problematika Alih Wahana dari Sastra ke Film
Ngobrol Nasional Metasastra ke-19 (NGONTRAS #19).

Webinar Hiski Jember Menyoal Problematika Alih Wahana dari Sastra ke Film



Berita Baru, Jember – HISKI Jember kembali selenggarakan webinar, dengan tajuk NGONTRAS#19 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-19). Webinar menyoal problematika alih wahana dari sastra ke film. Alih wahana atau adaptasi/ekranisasi dari novel atau cerpen ke film atau sinetron senantiasa menyisakan tanya. Media verbal dan media audiovisual memiliki kekuatan ekspresi yang berbeda. Oleh karena itu, problematika alih wahana dari sastra ke filmbelum menemukan jalan akhir, tetap aktual untuk didiskusikan. 

Demikian rangkuman webinar rutin bulanan melalui zoom meeting yang diselenggarakan atas kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia & Program Studi Televisi dan Film Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (FTIK UIN KHAS) Jember, Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Film Studies, serta Kelompok Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat Media, Budaya, dan Gender (KeRis DiMas MEDAGEN), Sabtu (18/2/2023).

Pembicara yang menjadi narasumber adalah Yusri Fajar, S.S., M.A. (FIB Universitas Brawijaya) dan Dr. Bambang Aris Kartika, S.S., M.A. (FIB Universitas Jember). Webinar dipandu oleh moderator Soekma Yeni Astuti, S.Sn., M.Sn. (dosen PSTF dan anggota HISKI Jember), pewara Muhammad Rizqi Hasan, dan host Novianti Pratiwi (keduanya mahasiswa FIB UNEJ). Kegiatan webinar dibuka oleh Dekan FTIK UIN KHAS Jember, yang diwakili Wakil Dekan I, Mashudi, M.Pd.

Dalam sambutannya, Mashudi menyambut baik atas kegiatan akademik bersama, yang melibatkan institusi perguruan tinggi dan kelompok riset serta jurnal. Dirinya mendorong agar kegiatan serupa terus dapat dilaksanakan secara rutin. Mashudi juga menyampaikan bahwa fenomena alih wahana bukan fenomena yang baru, tetapi perlu terus dikaji guna memberi wawasan kepada generasi Z. “Forum ini bukan menyuguhkan obrolan semata, tetapi merupakan kajian ilmiah, dengan narasumber yang memiliki pengalaman luas dalam kajian alih wahana. Oleh karena itu, penting untuk ditularkan kepada generasi Z,” jelas Mashudi. 

Yusri Fajar ([email protected]), pembicara pertama, memaparkan materi berjudul “Adaptasi Sastra ke Film”. Dalam awal paparannya diungkapkan bahwa hubungan sastra dan film, atau sastrawan dan sineas, bagai hubungan rindu, benci, kecewa, dan cinta. Keduanya saling membutuhkan dan saling mengisi. Sastrawan yang karyanya dialihwahanakan ke dalam film akan menjadi lebih dikenal di dunia kesenian dan kebudayaan. Sebaliknya, pada sisi sineas, akan mendapatkan berbagai keuntungan, baik secara material maupun modal sosial.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa transformasi dari teks ke medium baru, membutuhkan interpretasi dan penyesuaian. Kepentingan dalam melakukan adaptasi tidak dapat dilepaskan dari kepentingan personal, ekonomi, budaya, dan politik. Adaptasi berimplikasi pada keuntungan dan kerugian.

Problematika yang muncul atas respons kritis dari publik, di antaranya bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan dalam karya sastra tak tersampaikan di dalam film. “Selain itu, problem yang muncul, bahwa alih wahana gagal mentransformasikan “roh” karya sastra ke dalam film,” tegas Yusri, yang pernah mengenyam studi di Jerman.  

Dicontohkan bahwa beberapa pengarang besar, di antaranya Ernest Hemmingway, Pramoedya Ananta Toer, dan Andrea Hirata, cenderung menolak atau berpikir ulang terhadap tawaran adaptasi dari karya-karyanya. Meskipun pada akhirnya beberapa karya dari pengarang tersebut diadaptasi, namun sejatinya pengarang kurang menyetujuinya.

Sementara itu, Bambang Aris Kartika ([email protected]), pembicara kedua, memaparkan materi berjudul “Membaca Alih Wahana dalam Perspektif Film”. Dijelaskannya bahwa alih wahana melibatkan dua medium yang berbeda, yakni bahasa tekstual dan bahasa gambar. Bahasa tekstual merupakan medium yang diakui tepat untuk mengolah penyampaian konsep-konsep pikiran, sebagaimana sastra. Sementara itu, bahasa gambar dinilai tepat untuk menciptakan visualisasi kreatif melalui kemampuan reproduktif kamera atas realitas.

Lebih lanjut diungkapkan bahwa alih wahana melibatkan tiga proses, yakni berpikir ulang, mengkonsep ulang, dan pengertian/pemahaman atas teks sumber adaptasi. Terkait dengan itu, upaya untuk memproduksi hasil alih wahana juga melibatkan tiga sisi, yakni teks naratif karya sastra, teks bahasa visual film, dan teks sinematografi film. “Teks sinematografi ini melibatkan angle kamera, kontiniti, editing, close up, dan komposisi,” jelas Bambang, yang pernah mengenyam studi di Malaysia.

Kemudian Bambang menekankan bahwa yang dihadapi penonton adalah pertemuan antara imajinasi abstrak dalam karya sastra dengan realitas filmis dalam karya film. Menurutnya, keduanya memformulasikan hal yang berbeda, sehingggaberimplikasi bahwa hasil adaptasi berupa film berbeda dari karya sastranya. 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada empat hal penting terkait keberhasilan alih wahana dalam apresiasi penonton, yakni konten cerita, interpretasi sineas, sinematografi, dan literasi penonton. Menurutnya literasi penonton sangat penting dalam konteks memahami film hasil alih wahana. “Penonton hendaknya tidak sekedar menkonfirmasi imajinasinya dengan visualisasi yang dihadirkan dalam bentuk film,” tandas Bambang, yang saat ini mendapat amanah sebagai Kepala UPT Percetakan dan Penerbitan UNEJ Press.

Acara NGONTRAS#19 yang dihadiri hampir 300-an partisipan,dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.

Webinar Hiski Jember Menyoal Problematika Alih Wahana dari Sastra ke Film

beras