Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Yang Netizen Belum Tahu Tentang Pesantren

Yang Netizen Belum Tahu Tentang Pesantren



Oleh: Ach. Taufiqil Aziz (Pengajar di Universitas Annuqayah)


Saya tahu pertama kali dari istri tayangan Trans7. Ia membuka HP dan melihat status orang yang dikenalnya telah menaikkan tagar #BoikotTrans7. Kemudian saya melihat langsung videonya. Reaksi pertama saya; marah.

Ini bukan hanya soal Lirboyo yang ada di dalam framing. Tetapi juga tentang keyakinan banyak orang. Dalam struktur sosial di Madura, sosok kiai itu kan seperti berada dalam bhaba’ bhabu’ guruh ratoh (baca; orang tua, kiai, dan pemerintah).

Semarah-marahnya kita semua, saya tahu dan sadar bahwa marah tak akan menyelesaikan masalah. Ada suatu pelajaran penting dari Kiai A. Warits Ilyas saat saya masih jadi santri baru sekitar tahun 2002 lalu. Usia saya masih belia ketika saya menyaksikan dinamika partai politik. Dulu konfliknya cukup menegakkan. Yakni antar partai islam.

Dalam situasi panas apapun dalam politik, Kiai Warits menyampaikan dawuh yang menyejukkan yang kira-kira begini maknanya. Jangan pernah hina partai lain. Walau kita dihina tidak perlu menghina balik. Cukup sampaikan atau puji pilihan kita.

Atas dasar inilah, saya menahan diri untuk juga tidak marah di ruang media sosial. Saya berada pada posisi untuk menyampaikan beberapa hal yang barangkali belum dimengerti oleh netizen tentang pesantren.

Menurut saya, tayangan Trans 7 adalah puncak gunung es dari “cacian” terhadap pesantren. Tiap hari saya juga aktif melihat media sosial. Bukan hanya konten yang saya lihat. Tetapi juga komentar netizen dalam setiap postingan tentang pesantren. Walau saya akui tak bisa membedakan mana akun asli dan mana yang buzzer.

Namun, beberapa hari belakangan ini komentar netizen menemukan eskalasi cukup tinggi saat kejadian runtuhnya Pondok Pesantren al Khoziny. Semua mata publik tersorot ke pesantren. Satu pesantren yang kena musibah, nyaris seluruh pesantren disalahkan. Cara pandangnya khas orang yang merasa modern dan SDM tinggi.

Karena sudah merasa SDM tinggi, maka beberapa tuduhan yang muncul berulang. Pesantren dituduh melanggengkan feodalisme, kiainya kaya raya dan santrinya miskin, bisnis di lembaga pendidikan dan SDM rendah.

Tuduhan ini tampaknya memang direproduksi. Entah karena pengetahuan atau tendensi. Ada yang dilupakan oleh netizen, bahwa berdirinya pesantren tidak sama dengan pendidikan umumnya. Tidak sama dengan sekolah rakyat misalnya yang memang diinisiasi oleh pemerintah.

Pesantren sejak berdiri telah mandiri. Modal utama pesantren itu adalah keikhlasan pengasuhnya. Karena modal utamanya keikhlasan, maka bangunan pesantren itu seadanya. Tempat saya nyantri di Annuqayah dulu berawal dari kandang kuda.

SPP nya sungguh murah. Saat saya masih nyantri aktif, SPP nya itu 150 setahun. Sekali lagi. Satu tahun hanya 150 ribu. Bandingkan dengan harga kost-kostan di Surabaya yang harga 500 saja itu sungguh petak kecil. Dengan uang 150 ribu satu tahun inilah santri dapat fasilitas tempat, listrik, air, dan sepanjang waktu dapat materi dan ilmu.

Karena orang tua santri sadar bahwa uang SPP itu memang tidak banyak dibandingkan dengan fasilitas dan pendidikan yang diberikan pesantren, dengan kesadaran keiklasan yang sama, adakalanya orang tua santri sowan (nyabis) ke kiai. Tradisi nyabis tak pernah dengan nominal banyak. Kadang dengan membawa hasil panen. Emak saya dulu pernah bawa sekarung mentimun ke pondok. Karena itu yang kami punya.

Teman saya yang lain orang tuanya membawa kambing, ada lagi yang membawa pisang dan sebagiannya lagi beras. Itu dengan sukarela dan keikhlasan. Kiai tidak pernah menarget dan mewajibkan. Hal-hal seperti ini yang banyak tidak diketahui oleh netizen.

Bagaimana saat santri mencium tangan kiai dan membungkuk di jalan saat gurunya lewat? Apakah melanggengkan feodalisme? Pelan-pelan saya ingin sampaikan bahwa penghormatan terhadap guru itu adalah rasa hormat terhadap ilmu pengetahuan yang melekat pada sosok alim.

Ilmu itu nur. Cahaya. Untuk bisa mendapatkan ilmu tak cukup dengan logika. Tapi harus mendekat ke sumber cahaya. Cara mendekatnya dengan mengosongkan kesombongan dalam diri dan berubah menjadi tawadhuk di dapan orang yang alim.

Cara menghormat santri itu berbeda dengan tradisi di birokrasi dan dunia industri. Di birokrasi relasi kuasanya adalah atasan dan bawahan. Di depan bisa tersenyum, di belakang bisa menyeringai.
Beda pula dengan cara hormatnya dalam dunia industri. Ini cerita teman-teman saya yang kerja di property. Hal sederhana yang bisa dicontohkan adalah soal jam kerja. Bila jam awal masuk kerja jam 08.00. kemudian ia datang lebih dari 5 menit, ia telah dipotong 50 ribu. Ini fakta di beberapa tempat. Jadi relasinya adalah relasi kuasa karena ekonomi.

Dua kacamata di dalam dunia birokrasi dan industri ini kalau kemudian dipakai dalam kacamatan pesantren, maka tidak akan nyambung. Karena basis berpikir mereka ekonomi dan struktral. Sementara santri ke soal etika komunal. Beda. Kata teman saya, Jaka Sembung bawa golok.

Kalau cara berpikir saja sudah beda dan situasinya juga tidak sama, maka titik temunya adalah saling menghormati. Sebenarnya bisa saja santri juga menyematkan kata-kata pedas seperti budak korporat, jongos modernitas dan hamba sahaya barat kepada orang luar. Tetapi sekali lagi santri telah diajari adab dan akhlak. Santri yang diajari cinta tak akan punya kemampuan untuk membenci.

beras