Kiai Hasyim Muzadi dan Berubahnya Arah Layar Gerakan FPI
Kolom — Beberapa tahun silam Kiai Hasyim Muzadi pernah mengisi Forum yg diinisiasi FPI, dalam seminar tersebut, Kiai Hasyim memaparkan materi yang berat dengan bobot kajian eko-politik yang kental.
Beliau memulai dengan satire bahwa FPI selalu menjadi headline di majalah-majalah politik Barat, lengkap dengan foto-foto pengrusakan warung makan di bulan Ramadhan, penggrebekan lokalisasi, persekusi diskusi-diskusi buku mengenai 65′, dan sederet onar jalanan yang didalangi ormas bermarkas di Petamburan itu. Dan Kiai Hasyim menutup dengan punchline “FPI Adalah Ormas Paling Populer di dunia” disambut tawa massa.
Lalu pada point berikutnya, Kiai Hasyim berharap FPI jangan terjebak dengan rutinitas onar semacam itu, “Kalau bisa lakukanlah Amar Ma’ruf Nahi Munkar bil Ma’ruf, tegakkanlah keadilan dengan cara yang arief.” Daripada melakukan persekusi yang menyedot animo pemberitaan negatif semacam itu, lebih baik FPI membuat lembaga Think Tank mengkaji kebijakan Ekonomi Politik yang merugikan umat.
Beliau mencontohkan di antaranya UU Minerba dan UU Penanaman modal asing, kata Kiai Hasyim, coba dikaji lagi, jangan-jangan undang-undang ini jauh lebih destruktif dibanding lokalisasi Dolly dan warung makan yang buka di bulan puasa. Ini nyata berdampak sistemik kepada umat muslim dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Ungkapan tegas Kiai Hasyim itu lalu kemudian direspon dengan janji Habib Rizieq untuk membentuk lembaga kajian sebagaimana yang diusulkan.
Sekian tahun berlalu, Abah Kiai Hasyim Muzadi berpulang pada tahun 2017, tahun yang sama ketika FPI mulai mengorganisir massa untuk terlibat dalam sebuah pertunjukan politik praktis Pilgub DKI. FPI nampaknya sukses menghantarkan Anis Baswedan ke tampuk kekuasaan. Namun, menurut saya, orkestrasi politik yang digunakan FPI jauh dari harapan Kiai Hasyim, alih-alih menyuarakan politik berbasis ummat dengan kuda-kuda materialisme dialektik (Diamat) yang kokoh, FPI justru jatuh pada kubangan populisme sentimentil dengan terus-menerus mengamplifikasi politik identitas.
Upaya FPI untuk jihad Ekopol pun anti-klimaks dan sekedar jadi kuda lumping elit politik semata. Dalam kasus 2019, mereka ditunggangi oleh Prabowo-Sandi lalu dicampakkan begitu saja saat pesta telah usai.
Tidak hanya itu, pada tahun 2010 saat ramai video dewasa mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari. FPI bergerak paling militan di garda depan, mereka mendesak kepolisian menangkap 3 oknum tersebut karena dianggap sebagai simbol kemaksiatan. Itu dulu sekali sebelum FPI jatuh pada kubangan asyik-masyuk politik praktis. Hari ini, ketika perkara yang mirip terjadi kembali dengan menghadirkan dua aktris mirip pesohor layar kaca, yakni Gisela Anastasya dan Jessica Iskandar, FPI tak berkomentar apapun, bagi FPI yang kekinian, urusan selangkangan sepertinya tak lebih penting dari mantengin takziah Rocky Gerung dalam pengajian malam rabu yg diampu Karni Ilyas tersebut.
Kini FPI sedang mengarak kembalinya Imam besar mereka dari pengasingan politik yg panjang dan melelahkan, FPI tak lagi menghiasi layar televisi dengan pedang dan lemparan batu yg memecahkan etalase rumah bordil. FPI kini hadir sebagai wajah oposisi politik, namun sayang sekali, lagi-lagi mereka tak hadir dengan bobot politik yang diharapkan Kiai Hasyim. FPI masih terjebak pada isu politik permukaan berlatar agama, belum ada tokoh di dalamnya yang konsern pada isu lingkungan hidup, isu Hak Asasi Manusia, isu Korupsi serta isu-isu keummatan lain yang fundamental.
*Tulisan ini pernah dipublikasikan di akun Facebook pribadi Adil Satria dan diterbitkan kembali atas persetujuan penulis.
Penulis: Adil Satria
Editor: Rizal Kurniawan