Sajak Seorang Tua untuk Istrinya Karya WS Rendra
Puisi – Willibrordus Surendra Broto Rendra atau WS Rendra merupakan sastrawan dan penyair tanah air yang mempunyai julukan “Si Burung Merak”.
Rendra lahir di Solo, pada 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009 di usia 73 tahun.
Selain piawai di atas panggung teater, WS Rendra juga menulis banyak sajak yang cukup beragam. Beberapa di antaranya tertuang dalam buku Sajak-sajak Sepatu Tua.
Kumpulan sajak yang terdiri atas 2 sub judul, bertemakan kesepian, kerinduan, sajak-sajak pada masa kanak-kanak, dan sajak-sajak kenangan pada kekasih.
Di dalam kumpulan Sajak-Sajak Sepatu Tua terdapat pula sajak-sajak yang bertemakan ketuhanan. Salah satunya berjudul Sajak Seorang Tua untuk Istrinya.
Sajak Seorang Tua untuk Istrinya
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu.
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang.
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita.
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh.
Hidup adalah untuk mengolah hidup,
bekerja membalik tanah,
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnya kita bukan debu
meski kita telah reyot, tuarenta, dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porakporanda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna tersenyum adalah suatu kedok.
Tetapi kerna tersenyum adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna!
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.