Dikaitkan dengan Film KKN di Desa Penari, Begini Cerita Rowo Bayu
Berita Baru, Banyuwangi – Tiga tahun lalu lokasi ini dikaitkan dengan cerita horor ‘KKN di Desa Penari’. Rowo Bayu, salah satu destinasi wisata religi di Kecamatan Songgon, Banyuwangi ini mempunyai cerita mistis sendiri. Selain itu, lokasi ini juga lokasi bersejarah bagi masyarakat Banyuwangi.
Rowo Bayu berada di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi menjadi viral lantaran dihubungkan dengan cerita horor ‘KKN di Desa Penari’ pada tahun 2019 lalu. Meskipun penulis cerita mengatakan hanya memakai foto Rowo Bayu sebagai ilustrasi, namun netizen telanjur percaya tempat ini adalah setting cerita horor itu.
Rowo Bayu dikenal sebagai telaga yang tersembunyi di balik hutan di kaki Gunung Raung. Suasana sepi dan rimbun akan didapati wisatawan yang datang ke telaga yang berada di kawasan KRPH Perhutani Banyuwangi Barat, atau di Dusun Sambungrejo Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi ini.
Danau ini memang menyimpan misteri, tapi bukan cerita horor mahasiswa, melainkan sejarah perjuangan masyarakat Banyuwangi melawan penjajah. Rowo dalam bahasa Indonesia adalah Rawa, sementara Bayu berarti angin.
Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan mengatakan, Rowo Bayu adalah tempat lokasi perang bagi masyarakat Banyuwangi dalam melawan VOC. Terjadi beberapa perang yang dikatakan sebagai Perang Puputan Bayu. Istilah ‘puputan’ kurang lebih mirip dengan istilah ‘total war’ dalam Bahasa Inggris.
“Perang Puputan Bayu itu perang habis-habisan di Banyuwangi. Puputan bisa diartikan sebagai penghabisan. Sementara Bayu lokasi dari perang itu, yakni di sekitar Rowo Bayu,” ujarnya.
Kala itu, penetrasi VOC di Banyuwangi semakin meluas. Hingga akhirnya membuat Pangeran Rempeg Jogopati mengungsi di Rowo Bayu. Pengungsian Jogopati kemudian didengar oleh pejuang dan relawan di desa-desa. Hingga akhirnya mereka pun datang ke Rowo Bayu. Wilayah Rowo Bayu kemudian dijadikan kerajaan sementara, dengan dilengkapi benteng terbuat dari kayu yang ujungnya dibuat runcing.
Pada 18 Desember 1771, kata Hasnan, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam catatannya yang menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah tentang Puputan Bayu, ribuan prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran. Mereka berseru-seru dengan semangat, membawa apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Pangeran Jagapati berada di barisan terdepan sebagai pemimpin pasukan.
“Dan terjadilah Puputan Bayu, perang besar-besaran di tanah Banyuwangi. Lebih dari 60 ribu orang Blambangan menjadi korban, baik tewas, melarikan diri, atau hilang tanpa jejak,” ujarnya.
Namun literatur lain, kata Hasnan, Thomas Stamford Raffles punya perhitungan berbeda. Dalam ‘The History of Java’, ia menyebut, pada 1750, sebelum Puputan Bayu, Blambangan dihuni lebih dari 80.000 orang. Sementara dalam buku yang ditulis Sri Margana, ‘The Puputan Bayu: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan 1771-1773’, 2003, imbas dari peperangan itu, penduduknya menyusut tinggal 8.000 jiwa pada 1881.
“Ini perang terkeji di Nusantara. Sebab pejuang Banyuwangi sempat memenggal kepala orang Belanda dan mengarak kepalanya di perkampungan. Selain itu, VOC menghabiskan 8 ton emas untuk perang menaklukkan Banyuwangi,” tambahnya.
VOC dalam hal ini sebenarnya merugi, karena apa yang dikeluarkan ternyata tak sepadan dengan apa yang didapat. Blambangan tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda selama berkuasa di Indonesia.