Dilema Perempuan dalam Pembangunan Nasional
oleh: Etik Mahmudatul Himma (Sekretaris Korps PMII Puteri Jawa Timur)
Pembangunan Nasional pada hakikatnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi. Pembangunan Nasional dalam modernisasi diberbagai sektor harus diakui telah memberikan manfaat yang besar terhadap upaya pemberdayaan perempuan. Akan tetapi kemajuan tersebut hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil perempuan, khususnya mereka yang berada pada lapisan sosial ekonomi menengah sampai atas. Status dan peranan perempuan dalam masyarakat Indonesia masih bersifat subordinatif dan belum sampai pada posisi sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020 jumlah penduduk perempuan sebanyak 133,54 juta orang atau 49,42 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Angka ini jelas menunjukkan bahwa jumlah perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda, namun tingkat kesenjangan gender di Indonesia masih cukup tinggi.
Dalam konteks pembangunan bukan saatnya lagi pria mendominasi di semua lini kehidupan, namun sudah selayaknya menjadi partner mitra dalam mengarungi bahtera kehidupan dengan saling pengertian, membantu dalam menyelesaikan tugas bersama, baik dalam keluarga, masyarakat, dunia kerja, maupun kehidupan global. Semua lapisan masyarakat mempunyai peluang yang sama dalam mencapai target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) 2015-2030 sesuai dengan kemampuan (capability), potensi (capacity), dan kebutuhannya (needs) dalam mewujudkan cita-cita pembangunan. Perempuan harus mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan yang tersedia, perempuan dituntut memiliki sikap mandiri.
Profil perempuan Indonesia saat ini dapat dilukiskan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Kedilematisan ini karena di satu sisi perempuan dituntut untuk berperan dalam semua sektor, sedang di sisi lainnya dituntut agar tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan. Oleh sebab itu kita harus cerdas mengidentifikasikan antara kodrat dan budaya (kultur) kehidupan perempuan Indonesia. Makna Kodrat menurut KBBI yaitu kekuasaan Tuhan yang dimana manusia tidak akan mampu menentang atas dirinya sebagai mahluk hidup. Kodrat yang melekat dan dimiliki perempuan adalah 4M yakni menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Dalam hal ini penulis menginterpretasikan bahwa keempat kodrat tersebut pada intinya tidak bisa diganti oleh kaum laki-laki. Lain halnya dengan budaya (kultur), yang dimana hal tersebut di bentuk oleh masyarakat. Tak jarang telinga kita mendengar bahwasannya perempuan mandiri yang bekerja diluar rumah dianggap menyalahi kodrat.
Achmad Mulyadi dalam bukunya “Relasi laki-laki dan perempuan (Menabrak Tafsir Teks, Menakar Realitas)” menegaskan bahwa dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan terhadap dua wilayah peran penting yaitu peran publik dan sektor publik dengan peran domestik atau sektor domestik. Pada sektor publik diasumsikan sebagai wilayahnya kaum laki-laki, sementara pada sektor domestik diasumsikan wilayahnya perempuan.
Manifestasi ketidakadilan gender tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan secara masif, yang mengakibatkan ketidakadilan tersebut merupakan kebiasaan dan akhirnya dipercaya bahwa gender itu seolah-olah kodrat yang diterima masyarakat secara umum. Tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa perempuan pembawa petaka, perempuan yang menyesatkan kaum pria masuk dalam neraka dan perempuan adalah penggoda sebagaimana jatuhnya Adam dari surga oleh rayuan ibu Hawa.
Perempuan karier di satu sisi merasa terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat dan keahliannya kepada bangsa tetapi di sisi lain perempuan dihantui oleh opini masyarakat yang melihat bahwa perempuan atau ibu karier adalah salah satu sumber kegagalan pendidikan anak, tidak pantas apabila perempuan itu bekerja di luar rumah, menghabiskan waktunya hingga larut malam dan pandangan-pandangan negativ lainnya. Padahal dalam urusan ini Islam memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berkiprah di luar rumah, sebagaimana yang disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Alquran Universitas Sayf al-Dawlah, Dr. Abd. al-Qadir Manshur yang menyebut Islam tidak pernah melarang seorang perempuan untuk bekerja. Dalam buku berjudul ‘Pintar Fikih Wanita’, beliau menyebut muslimah boleh melakukan jual beli atau usaha dengan harta benda pribadinya. Tidak ada seorangpun yang boleh melarang mereka selama mereka mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh agama. Beliau juga menyebut banyak teks-teks hadis dan pendapat ulama yang menyebut seorang perempuan diperbolehkan untuk bekerja. Muslimah yang telah menikah boleh bekerja jika mendapat izin dari suami, bagi yang belum menikah ia mendapat izin dari walinya. Meski demikian, hak memberi izin oleh suami ini gugur secara otomatis jika sang suami tidak memberi nafkah pada sang istri.
Kekhawatiran masyarakat terhadap peran ganda perempuan ini tentu bukannya tidak beralasan, karena apabila melihat kenyataan bahwa dunia modern yang kaya ilmu pengetahuan serta teknologi agaknya tidak cukup memberikan bekal yang kokoh bagi manusia sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Pada era modern ini perempuan menghadapi dua tantangan. Pertama, berasal dari dirinya sendiri yaitu berkaitan dengan peran dan fungsinya dalam keluarga khususnya. Kedua, ilmu dan teknologi, terutama bagi perempuan yang berperan ganda. Perempuan dituntut untuk meningkatkan peranan dan potensinya dengan melakukan berbagai cara salah satunya melalui pendidikan formal maupun non formal dalam negeri maupun di luar negeri.
Perempuan sebagai pendidik dituntut memberikan pendidikan kepada anak-anaknya atau bahkan kepada generasi muda dengan pendidikan yang lebih terarah terutama dalam mempersiapkan kepribadian anak sehubungan dengan gencarnya pendidikan yang hanya menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Soemarsaid Moertono (1984) dalam bukunya pragmatisme kaum politik elit seorang perempuan harus mempunyai sikap eneng, ening, awas, eling, tata, titi, teteg, ngati-ati, artinya diam, jernih, waspada, ingat, teratur, teliti, teguh, dan hati-hati. Perempuan tidak cukup hanya memiliki kekayaan, anak dan kepandaian, tetapi juga harus memiliki keluhuran budi. Keluhuran budi itu di antaranya keimanan perempuan terhadap Tuhannya, meliputi pikirannya, perasaannya, perkataannya dan perbuatannya.
Perempuan harus turut andil dalam setiap aktivitas pembangunan Nasional agar tercapainya kesetaraan Gender untuk mencapai semua tujuan dan target dalam Agenda 2030 pembangunan berkelanjutan. Perempuan secara pripadi atau organisasi perempuan dapat mendorong pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan praktik yang selama ini merugikan perempuan dan belum memperoleh perhatian dari pemerintah maupun legislator seperti perkawinan anak, sunat perempuan serta ODGJ perempuan korban pemerkosaan.