Intrik Politik Belanda Meraup Simpati dengan Kebijakan Haji
Berita Baru, Surabaya – Di tahun 2022, Pemerintah Indonesia mulai memberangkatkan kembali jamaah haji. Sebab di tahun sebelumnya, mereka dibatalkan berangkat karena pandemi Covid-19. Dalam lipatan sejarah Indonesia, pembatalan pelaksanaan ibadah haji pernah terjadi sebelumnya.
Pemerintah Arab Saudi pernah melarang pelaksanaan haji pada tahun 1814 karena wabah penyakit thoun, 1837 dan 1858 karena epidemi, 1892 akibat wabah kolera, dan 1897 karena wabah meningitis. Sedangkan pemerintah Indonesia pernah tidak memberangkatkan jamaah haji pada 1946 hingga 1948 akibat agresi militer Belanda.
Pada masa-masa revolusi antara tahun 1946-1948, Belanda tidak juga surut untuk terus berupaya kembali menduduki Indonesia. Menurut catatan Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017), gejolak revolusi tersebut dirasakan sebagai penderitaan luar biasa karena semua kegiatan sosial ekonomi terganggu termasuk aktivitas menjalankan ibadah haji bagi umat Islam.
Umat Islam risau karena perjalanan haji terhenti akibat perang sehingga tidak menjamin keamanan para jemaah calon haji. Melihat situasi itu, Gubernur Hindia-Belanda, Van der Plaas segera mengambil tindakan untuk menolong umat Islam. Belanda mengumumkan bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanannya.
Tawaran Kolonial Belanda itu menggoda umat Islam yang kebetulan selama beberapa tahun dalam gelora revolusi itu perjalanan ibadah haji terganggu, saat itu Belanda menjamin fasilitas untuk mereka, maka banyak yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji. Sekilas kebijakan tersebut nampak populis, tapi mengandung intrik politik untuk meraup simpati umat Islam Indonesia.
Di tengah kegairahan umat Islam untuk berhaji, Rais Akbar NU, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat ini hukumnya haram. Ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat rukunnya terlengkapi.
Sementara saat itu Indonesia dalam keadaan perang, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang kafir (Belanda), maka hukumnya haram dan hajinya tidak sah.
Fatwa itu membuat umat Islam tertegun, tetapi bagaimana pun dengan hujjah-nya yang kuat dan sesuai nalar, maka seberat apapun fatwa itu mesti ditaati, umat Islam banyak yang membatalkan perjalanan hajinya. Tentu saja hal itu dan membuaat Belanda geram, bukan karena usaha pelayarannya tidak laku, tetapi lebih penting lagi usahanya gagal dalam mempengaruhi hati umat Islam agar tidak memihak pada republik pimpinan Soekarno-Hatta.
Jauh sebelum era revolusi, yaitu pada 1824-1859, Hindia Belanda justru melakukan pengetatan pemberangkatan haji. Kolonial menilai bahwa haji menjadi ancaman eksistensi kolonial di Indonesia. Makna politis ibadah haji baru dirasakan secara serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan VOC. Mereka menganggap, seseorang yang pulang dari ibadah haji mempunyai potensi menggerakkan rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap kolonial.
Segala upaya dilakukan oleh Hindia Belanda, dari mulai pengetatan pemberangkatan dan aturan-aturan lain setelah pulang dari tanah suci. Kekhawatiran pemerintah kolonial tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji.
Beberapa dekade kemudian, pada tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan.
Yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).
Dari sinilah sebenarnya dimulai penyematan gelar haji, juga atribut fisik yang melekat pada orang-orang yang sudah menunaikan rukun Islam kelima, kepada penduduk pribumi. Tujuan utamanya untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap para haji. Pemerintah kolonial tak mau repot-repot mengawasi satu per satu haji di daerah-daerah. Jika ada pemberontakan berdasarkan agama meletus, pemerintah tinggal mencomot haji-haji di daerah tersebut.