
Kembali Digelar, Sekolah Sastra HISKI Angkat Tema Alih Wahana Sastra Indonesia
Berita Baru, Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) menyelenggarakan Sekolah Sastra pada Sabtu, (12/04). Kegiatan ini menjadi salah satu program HISKI yang didanai oleh Dana Indonesiana, Kementerian Kebudayaan RI. Acara ini dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting serta disiarkan langsung di kanal YouTube Tribun Network dan Official HISKI Pusat.
Pada putaran ini, HISKI mengangkat tema “Alih Wahana Sastra Indonesia” dengan narasumber utama, Prof. Dr. Yulianeta, M.Pd. dari HISKI Bandung, sedangkan Dr. Endah Imawati, M.Pd. (Tribun Network) bertindak sebagai moderator.

Acara dibuka oleh Dr. Pujiharto, M.Hum., Wakil Sekjen I HISKI Pusat. Pujiharto mengawali, dalam konteks kesusastraan Indonesia, konsep alih wahana sastra dimulai dari Sapardi Djoko Damono, kemudian dikenal luas setelah Ricard Jenkins menghubungkan antaran trans-fiksi dan trans-media.
“Isu ini masih gencar, terutama dalam sastra, film, atau produk kesenian yang lainnya, yang disajikan dalam bentuk atau medium yang berbeda,” paparnya.
Ia melanjutkan, bahwa upaya yang dilakukan HISKI, dengan mengadakan diskusi ini sangat berguna dalam merespons isu mutakhir dalam Alih Wahana Sastra Indonesia.
“Bidang alih wahana ini akan ada kaitannya dengan sastra digital. Kita akan dengarkan penjelasan lebih komprehensif dari Prof Neta,” pungkasnya.
Acara dilanjutkan dengan paparan inti oleh Prof. Dr. Yulianeta. Ia membawakan materi berjudul “Alih Wahana Sastra Indonesia dalam Perspektif Akademik dan Kreativitas Sastra”.
Neta menerangkan alih wahana adalah proses pengalihan karya sastra dari satu medium ke medium lain (teks ke film, puisi ke lagu, cerpen ke animasi, dan bentuk lainnya). Proses ini, lanjut Neta menciptakan makna baru dan memungkinkan karya menjangkau audiens lebih luas.
“Ada tiga fungsi alih wahana: menjembatani generasi dan medium, menawarkan pembacaan ulang (re-reading) atas karya sastra dan menguatkan literasi budaya dan sastra di ruang publik,” terangnya.
Neta menjabarkan, ada berbagai alih wahana dalam (fenomena) sastra Indonesia. Musikalisasi, pengungkapan puisi melalui musik untuk memperkuat ekspresi dan maknanya. Ekranisasi, mengubah karya sastra menjadi film atau televisi. Dramatisasi, mengubah karya sastra menjadi drama. Novelisasi, mengubah karya sastra menjadi novel. Penerjemahan, mengubah karya sastra dari satu bahasa ke bahasa lain. Penyaduran, penggubahan yang disesuaikan.
“Perbedaan antara alih wahana dan intertekstualitas, alih wahana lebih mengarah pada adaptasi yang mengubah bentuk medium. Sementara itu, intertekstualitas dikatakan sebagai perubahan dengan mempertahankan bentuk aslinya dalam sebuah karya baru.
Yulianeta menjelaskan perbedaan alih wahana dan adaptasi. “Alih wahana mencakup perubahan dalam bentuk medium, sementara adaptasi bisa mencakup tafsir ulang isi,” pungkas Neta.

Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara narasumber dan audiens. Sampai akhir acara, Sekolah Sastra kali ini diikuti sekitar 247 peserta di Zoom Meeting dan telah ditonton lebih dari 250 kali secara akumulatif di akun Youtube Tribun Network dan HISKI Pusat.
Sebagai informasi, Sekolah Sastra merupakan salah satu program kegiatan HISKI Pusat dalam meningkatkan kompetensi dan bekal pengetahuan bagi para anggota HISKI yang tersebar dari Aceh hingga Papua.

Sekolah Sastra tahun 2025 ini digelar setiap dua bulan dan disajikan dalam dua sesi. Agenda Tukar Tutur Sastra 2025 juga diselenggarakan setiap dua bulan dan tetap menjadi agenda rutin HISKI Pusat yang dipimpin Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.
Dengan mengangkat tema Alih Wahana Sastra Indonesia, program ini diharapkan dapat memberikan ruang diskusi dan pembelajaran yang inspiratif bagi para akademisi, peneliti, guru, mahasiswa, dan pecinta sastra di seluruh Indonesia, khususnya dalam memahami dan mengembangkan transformasi karya sastra ke dalam berbagai media dan bentuk baru.
