Masyarakat Adat Tolak Pembangunan Trans Papua
Berita Baru Jatim, Surabaya – Masyarakat adat Marga Manim dan Manimbu menolak pembangunan proyek Nasional Jalan Trans Papua ruas Sorong-Manokwari yang dinilai gagal memenuhi hak masyarakat adat.
Marten Manim salah satu perwakilan masyarakat adat Marga Manim mengatakan di Kampung Arfu Distrik Mubrani mengatakan pembangunan ruas jalan baru trans Papua di gunung pasir sama sekali tak pernah melibatkan masyarakat adat marga manim dan manimbu selaku pemilik tanah adat di wilayah itu.
“Pembebasan hak ulayat sama sekali tidak diberikan kepada kami baik itu ruas jalan lama yang sudah dibangun maupun ruas jalan yang baru-baru ini dibuka. Kami sudah bertemu dengan perusahaan pembangunan ruas jalan PT Putra Bungsu tapi mereka tidak memberikan kepastian tentang hak kami sebagai pemilik ulayat. Mereka hanya sampaikan bahwa jalan ini dibangun untuk masyarakat dan pihak perusahaan sama sekali tidak menyinggung tentang hak kami. Padahal mereka sudah mulai bekerja di tanah ini,” kata Marten Manim melalui keterangan tertulisnya, Kamis (28/01/2021).
Yubelina Manimbu Perwakilan Perempuan Adat dari Mubrani mengutarakan penolakan terhadap ruas jalan trans yang dibangun di wilayah adatnya. Telah berupaya melaporkan kepada Kepolisian, namun belum ada penyelesaian.
“Ketika pimpinan perusahaan dipanggil oleh pihak kepolisian maka tidak ada tanggapannya. Macam masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan,” ujarnya.
Ia menilai bahwa pembukaan ruas baru di bawah gunung pasir dapat membahayakan dirinya dan keluarga di kampung Arfu.
“Kitong tahu, jalan baru ini dekat dengan Kali Kasi dan itu gampang longsor. Kalau longsor terus kali kais bisa tertutup dan kampung Arfu bisa banjir karena kampung ini dia datar. Bahaya bagi kami dan masyarakat adat manim dan manimbu yang tinggal di sini,” ungkap Yubelina.
Sulfianto Alias selaku perwakilan organisasi masyarakat sipil Perkumpulan Panah Papua menilai anggaran proyek strategis nasional biasanya telah mencakup anggaran untuk pembayaran hak dari masyarakat adat yang wilayah adatnya terkena dampak dari pembangunan jalan Trans Papua.
“Jika ditemukan bahwa hak masyarakat adat belum dipenuhi, bisa dikatakan ada indikasi korupsi dalam proyek pembangunan ruas jalan ini. Semestinya sebelum proyek dijalankan, terlebih dahulu pemenuhan hak harus dipenuhi oleh pemerintah,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) pembangunan Jalan Trans Papua masih belum mampu sejahterakan Orang Asli Papua.
“Kita lihat saja, masyarakat adat Mubrani kalau mau ke Fef Ibu Kota Kabupaten Tambrauw, untuk mendapatkan pelayanan publik misalnya urus KTP harus mengeluarkan biaya transportasi sebesar 8 Juta pulang pergi. Itu baru transportasi dan setiba di Fef, belum tentu juga dapat memperoleh akses pelayanan publik yang baik. Masyarakat Adat mau dapat uang sebesar itu dari mana?,” jelasnya.
Alias menilai pembangunan proyek jalan Trans Papua hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang yang pemenang proyek dan pemerintah bahkan memberikan hanya keuntungan kepada investor.
“Kami menilai pembangunan proyek jalan Trans Papua bisa jadi hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang, seperti pemenang proyek, pejabat pembuat komitmen pada pemerintah bahkan memberikan hanya keuntungan kepada investor yang menggunakan jalan trans papua untuk operasional perusahaannya,” tutupnya.