Nelayan Tolak Operasi Kapal Cantrang di Kepulauan Masalembu
Berita Baru Jatim, Surabaya – Persatuan Nelayan Masalembu bersama KIARA, LBH Surabaya dan Walhi sambangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur untuk melaporkan adanya aktivitas dan operasi kapal cantrang di wilayah Pulau Masalembu.
Menurut Moh Soleh dari LBH Surabaya, aktivitas kapal itu merupakan dampak nyata pasca direvisinya Permen KP No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan. Hasil dari revisi Permen KP No. 71 Tahun 2016 adalah Permen KP No. 59 Tahun 2020 yang diterbitkan pada tanggal 18 November 2020.
“Di dalam Permen KP tersebut pada pasal 36, cantrang dikeluarkan dari kategori alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Alat tangkap yang dikategorikan mengganggu dan merusak berlanjutan sumber daya ikan yaitu sebagai berikut Pair sein, Lampara dasar, Pukat hela dasar berpalang (beam trawl), Pukat hela kembar berpapan , Pukat hela dasar dua kapal, Pukat hela pertengahan dua kapal, Perangkap ikan peloncat, dan Muro ami,” .
Penerbitan Permen KP No. 59 Tahun 2020 yang melegalkan cantrang sebagai alat tangkap memiliki sejumlah persoalan serius diantaranya Permen itu mengabaikan cantrang akan menyebabkan dalam temuan KKP itu sendiri mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang.
“Ini memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput, memberikan izin penggunaan cantrang diberikan di WPP 712 yang berada di perairan laut Jawa, KKP terus mendorong eksploitasi sumber daya ikan dan pengerusakan terumbu karang di kawasan itu terutama di perairan pulau-pulau kecil seperti Kepulauan Masalembu demi memanjakan para pengusaha perikanan skala besar yang rata-rata berada di kawasan utara Pulau Jawa,” tambahnya.
Mat’Sahri Sekretaris Persatuan Nelayan Masalembu mengatakan aktivitas kapal cantrang di wilayah perairan tradisional Masalembu bahkan sudah memasuki wilayah 3 mil dari bibir pantai Pulau Masalembu.
“Sudah banyak rumpon nelayan yang hilang karena kapal cantrang masuk ke laut kami. Rumpon yang hilang itu ada yang berumur lebih dari lima tahun dan sangat merugikan kami nelayan yang hidupnya bergantung dari hasil tangkapan ikan dari rumpon,” ungkapnya.
“Penolakan ini terkait cantrang sudah kami lakukan bertahun-tahun tidak hanya 1 atau 2 tahun dan kami punya sejarah yang panjang terkait konflik dengan nelayan luar Masalembu yang sudah sangat resah. Kami datang ke Dinas Kelautan dan Perikanan untuk meminta perhatian serius dan tindakan nyata dari DKP Jawa Timur,” tambah Mat’Sahri.
Haerul Umam yang juga pengurus Kelompok Nelayan Rawatan Samudera mengutarakan telah melakukan musyawarah dengan Forpimka Masalembu pada (16/11/2020) lalu, nelayan sepakat menolak cantrang. Ia juga telah berkoordinasi dengan pihak Camat dan Kapolres namun masih belum ada hasil sampai sekarang.
“Kami beberapa kali berkoordinasi dengan Camat dan Kapolsek, namun terkadang saat kami berkoordinasi dengan Camat malah diminta untuk koordinasi dengan Kapolsek. Ketika kita datangi malah diminta koordinasi dengan Camat. Padahal dalam beberapa kali bertemu, selalu mengatakan bahwa Polsek Masalembu siap operasi kapan saja, tapi ketika kami ajak untuk operasi ke tengah laut masih banyak alasan dan ujung-ujungnya tidak ada tindakan nyata dari Polsek Masalembu,” sesalnya.
Nelayan Masalembu juga melaporkan hal tersebut kepada KIARA, Walhi Jatim dan LBH Surabaya.
Menurut Wahyu dari Walhi Jatim mengatakan pelegalan pemakaian cantrang akan memicu kerusakan ekosistem laut, terputusnya siklus regenerasi ikan karena cantrang kerjanya semuanya yang dibawah. Ketika terumbu karang rusak maka ikan akan kehilangan rumah dan makanan dan berpengaruh pada nelayan kecil dan tradisional di Masalembu.
“Kondisi ini memicu masalah karena kita tahu konflik nelayan ini intensitasnya sangat tinggi, apalagi berkaitan dengan wilayah tangkap nelayan. Kapal cantrang yang datang ke Masalembu diakibatkan oleh penurunan ikan di wilayah mereka yang mengalami kerusakan ekosistem parah. Sehingga dengan praktek cantrang tentu akan memicu kerusakan dan akan mendorong nelayan Masalembu untuk mempertahankan wilayah tangkapnya karena ada upaya perampasan dari nelayan-nelayan cantrang yang dioperasikan oleh “juragan besar” atau pemodal besar,” jelasnya.
“Maka pemerintah Jatim harus tegas melindungi perairan Masalembu dengan menetapkan wilayah tangkap nelayan tradisional dan melarang cantrang untuk praktek merusak lingkungan seperti pemakaian potas dan bom ikan. Nelayan tradisional harus dilindungi dan dijamin kesejahteraannya,” lanjut Wahyu.
LBH Surabaya, Moh. Soleh Pengacara Publik mengatakan menolak pemakaian cantrang karena akan merusak biota laut. Untuk itu LBH mendukung dan siap mendampingi nelayan Masalembu yang menolak keberadaan cantrang.
“Kita menuntut penegakan hukum atas penggunaan cantrang. Untuk itu LBH Surabaya meminta instansi terkait khususnya aparat penegak hukum agar melakukan operasi penindakan terhadap nelayan yang menggunakan cantrang karena tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Jatim Nomor 1 Tahun 2018 Tentang RZWP-3-K, khususnya pemanfaatan ruang di Pulau Masalembu dan meminta Menteri Kelautan dan Perikanan untuk segera mencabut Permen yang melegalkan penggunaan cantrang peraturan itu sangat merugikan bagi nelayan kecil,” tegasnya.
Fikerman Saragi, Jaringan dan Advokasi KIARA menyebut kepulauan Masalembu wilayah yang termasuk di dalam Kabupaten Sumenep. Hal ini menyatakan bahwa Kepulauan itu area penangkapan ikan tradisional. Selain itu, praktik-praktik penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan dan turun-temurun dari pengetahuan lokal nenek moyang masyarakat nelayan Masalembu,” imbuhnya.
Seharusnya DKP Jatim melakukan tindakan tegas wilayah 0 sampai 12 mil masih memerintah pemerintah daerah dan Kementrian KP untuk mencabut Permen KP No. 59 tahun 2020 untuk menjaga wilayah ruang laut terbatas dari praktek eksploitatif.
“Kami berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera mencabut Permen KP No. 59 Tahun 2020 demi menjaga seluruh wilayah ruang laut yang terbebas dari praktik eksploitatif serta praktik destruktif yang akan dilakukan oleh kapal cantrang dan kapal yang menggunakan alat tangkap merusak lainnya yang sebenarnya merusak lingkungan serta ekosistem yang ada di laut,” tuturnya.