Partai Baru di Pemilu 2024, Pengamat: Lahir Karena Sakit Hati bukan Ideologi
Berita Baru, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 18 partai politik (parpol) yang akan menjadi peserta pemilu 2024 di tingkat nasional. Empat parpol yang diumumkan merupakan pendatang baru, di antaranya Partai Partai Buruh, Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), serta Partai Ummat.
Meski ada empat parpol pendatang baru yang akan jadi peserta pemilu, namun pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, menilai semua partai tersebut relatif tak ada yang menawarkan alternatif ideologi baru. Alih-alih lahir dari gagasan atau alternatif ideologi yang berbeda, partai-partai baru menurut dia justru lebih banyak yang lahir karena faktor sakit hati pendirinya.
“Partai baru di Indonesia itu kebanyakan lahir karena baperan, sakit hati, enggak dapat jabatan, dan seterusnya, jadi simpel sekali partai baru di Indonesia ini lahir,” kata Mada Sukmajati.
Partai-partai baru di Indonesia menurutnya kebanyakan merupakan sempalan dari partai-partai lama yang lahir karena adanya konflik atau perpecahan di partai lamanya. Hal itu membuat ideologi atau gagasan partai-partai baru yang lahir hanyalah replikasi dari partai-partai induknya.
Hal ini membuat lahirnya partai-partai baru tak mampu menambah konstituen atau pemilih secara signifikan. Partai-partai baru ini hanya akan berebut suara dari konstituen partai lain dengan ideologi yang sama, tanpa menarik konstituen baru secara signifikan.
“Sebenarnya ideologi mereka kan tidak terlalu berbeda dengan induknya. Partai Ummat dengan PAN, kemudian Gelora dengan PKS, yang notabene konstituennya dari pemilu ke pemilu trennya ya segitu-segitu saja,” ujarnya.
Dengan lahirnya partai baru namun konstituennya tidak bertambah, maka akan terjadi pertarungan internal antara partai induk dengan partai-partai sempalannya.
“Misalnya basis masanya yang dulu PKS, sekarang diperebutkan oleh PKS dan Gelora. Basis masanya yang dulu PAN, sekarang diperebutkan oleh PAN dan Partai Ummat,” kata dia.
Hal ini karena pergantian perilaku pemilih menurutnya jarang sekali terjadi partai yang beda ideologi, misalnya yang sebelumnya memilih partai nasionalis berubah memilih partai Islam, begitu juga sebaliknya.
“Tapi kita tak tahu untuk 2024, tapi berdasarkan pola yang terjadi selama ini, kira-kira juga akan seperti itu,” ujar Mada Sukmajati.