PBSI FKIP UMS Adakan Kuliah Umum Bahas Budaya, Tradisi, dan Kearifan Lokal
Berita Baru, Surakarta – Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Magister Pendidikan Bahasa Indonesia bekerja sama dengan HISKI Komisariat Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali gelar Kuliah Umum “Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya”, pada Selasa (12/10) via Zoom Meeting.
Panitia mengambil tema “Budaya, Tradisi, dan Kearifan Lokal”. Kuliah umum ini sekaligus sebagai “Pertemuan Ilmiah Rutin (PIR)” yang sudah diadakan keempat kali.
Sambutan pertama oleh Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Miftakhul Huda dan Sambutan kedua oleh Atiqa Sarbadila, ketua program Magister Pendidikan Bahasa Indonesia.
Kuliah umum ini diharapkan memberi pencerahan kepada mahasiswa dan dosen serta para peserta yang hadir dan mengikuti melalui zoom meeting.
Pembicara pertama adalah Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum dari Universitas Negeri Jakarta yang membawakan makalah berjudul “Budaya Using: Kearifan Lokal Agraria dan Pesisir”.
Novi mengawali presentasinya dengan menjelaskan terminologi kearifan lokal serta memperkenalkan salah satu penulis dan budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan yang beberapa kali mendapat penghargaan karena kesetiaannya menulis fiksi dengan latar budaya Banyuwangi.
Novi fokus membahas Gandrung yang dikaitkan dengan salah satu tokoh dalam novel Hasnan yang berjudul Kerudung Santet Gandrung yang pernah diangkat menjadi sinetron berjudul “Jejak Sinden” yang ditayangkan di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia).
“Gandrung sebagai seni tradisi bermertamorfosis dari seni perjuangan menjadi seni pergaulan dan akhirnya menjadi seni hiburan. Seni pertunjukan gandrung ini selalu berkaitan dan menjadi bagian dari proses ritual,” jelasnya.
Barong Ider Bumi Desa Kemiren, Seblang Bakungan, Keboan Aliyan, Kebo-keboan Alasmalang, dan Petik Laut Muncar senantiasa menghadirkan gandrung sebagai bagian ritual tersebut.
Novi juga menceritakan perjalanan Gandrung Supinah yang menjadi sinden legendaris karena memiliki vokal yang kuat dan Gandrung Temu sebagai maestro Gandrung yang masih mengikuti program “Maestro Mengajar”.
“Sebab Gandrung dalam fiksi dan realitanya berbeda. Pemaknaan yang dilakukan seorang penafsir atau periset tidak boleh berhenti hanya dalam teks, tetapi juga meneliti realitas keseharian penari Gandrung. Bagaimana ia bertahan hidup dan melakukan negosiasi dengan kehidupan,” ungkap Novi.
“Gandrung Supinah menyadari bahwa masa primadona sebagai penari gandrung berkisar usia 20-35 tahun” ungkap Novi. Oleh karena itu, untuk bertahan hidup selepas masa primadona, Supinah melakukan diversifikasi usaha dengan mendirikan sanggar tari, membangun homestay, melayani jasa boga, membuat dan menyewakan kostum gandrung, serta asesori berbasis budaya lokal Banyuwangi.
Selanjutnya, dalam melalui novel Kerudung Santet Gandrung, Hasnan Singodimayan menampakkan keberpihakan dan pembelaannya terhadap gandrung yang di masyarakat mendapatkan stigma negatif. Merlin yang berprofesi sebagai penari gandrung dalam Novel Singodimayan mendapat serangan santet namun dapat ditolak dan dikembalikan kepada pengirim.
Akibatnya pengirim santet, yaitu istri pertama suaminya yang sudah dicerai mengalami kelainan, perutnya busung.
Berlanjut ke pembicara ke dua, Prof. Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beliau membawakan makalah berjudul “Menggali Kearifan Lokal pada Karya Sastra: Studi Kasus Novel Ronggeng Dukuh Paruk Kajian Stilistika dan Semiotik”
Ali mengawali presentasinya dengan menceritakan proses penelitian novel Ronggeng Dukuh Paruk.
“Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) mengungkapkan permasalahan yang kompleks dan menarik untuk dikaji. RDP juga mempunyai ekspresi kebahasaan yang khas Tohari dengan pemanfaatan gaya bahasa,” jelasnya.
Ali menambahkan bahwa RDP mengandung kearifan lokal Jawa di tengah dinamika kehidupan global.
“Dengan penguasaan dan kekayaan wawasan sosial budaya, keagamaan, dan filsafat Jawa, Tohari secara plastis mengungkapkan berbagai kearifan lokal Jawa melalui stilistika RDP,” tambahnya.
Pembicara pamungkas ialah Dipa Nugraha, Ph.D juga dari Universitas Muhammadiyah Surakarta yang membahas terkait perkembangan budaya.
Dipa Nugraha menelusuri secara teoretis berdasarkan hasil penelitian sebelumnya mengenai perkembangan budaya Indonesia yang bertolak dari India.
Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif, sampai akhir acara peserta diskusi 300 partisipan.