Pembiaran Terhadap Petani Probolinggo
Oleh: Mohammad Zia Ulhaq *
Opini – Sebagai punggung pangan negara untuk berdaulat kini, petani semakin terbelenggu oleh kebijakan negara. Tak sulit untuk menyebut kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada petani. Mulai dari hasil panen, pupuk, benih, hingga akses terhadap lahan. Pelan-pelan negara melemahkan para petani dalam menjalani produksinya. Kondisi ini memberi sebuah pernyataan, bahwa negara tidak bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Regulasi perlindungan petani yang termaktub dalam UU Nomor 19 Tabun 2013, hingga detik ini tidak memberi jawaban atas kesejahteraan petani.
Regulasi itu dengan tegas menjelaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan petani yang lebih baik. Negara bertanggung jawab bila hasil panen petani mengalami kegagalan seperti disebabkan perubahan iklim. Negara juga bertanggung jawab mengatur harga jual hasil panen. Tanggung jawab itu tertera jelas di BAB I, Pasal 1, Poin 1, Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
Namun itu hanya di atas kertas. Di lapangan tak seindah itu. Tak ada kepastian yang jelas terhadap petani. Kondisi tersebut dengan jelas dapat kita lihat di pundak-pundak petani Probolinggo. Mereka masih terus kebingungan saat dihadapkan dengan persoalan-persoalan pupuk, harga jual, dan perubahan iklim. Permasalahan semakin runyam kala petani terus kehilangan lahannya yang disebabkan oleh masifnya alih fungsi lahan.
Pupuk Mahal dan Semakin Berkurang
Carut marut harga pupuk, khususnya pupuk bersubsidi tak jelas juntrungannya. Problem klasik itu bukan hal baru yang diadukan petani. Akan tetapi, keseriusan pemerintah tuk menyelesaikan persoalan itu patut dipertanyakan. Lebih-lebih jatah pupuk jenis Urea bersubsidi di Probolinggo pada tahun 2022 mengalami penurunan. Entah, apa penyebabnya. Laporan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, mencatat pupuk subsidi hanya sebanyak 1.845 ton. Berkurangnya jatah pupuk subsidi ini menimbulkan pertanyaan, apakah berkurangnya pupuk subsidi akan berpengaruh kepada turunnya harga? Entahlah!
Sebab jika menggunakan rumus ekonomi supply and demand maka semakin langka barang, harga semakin mahal. Kondisi ini semakin membuat petani terseok-seok. Pasalnya, biaya produksi non pupuk tak kalah mahalnya. Problem pupuk ini semestinya mengetuk politicall will pemerintah untuk mengambil langkah tanggap dan cepat agar petani tak melulu kalah dua kali. Sudah hasil jual tak menentu, biaya produksi terus melambung tinggi.
Memaksimalkan pendataan terhadap pertanian sangat perlu, sebab jika secara data sudah keliru, maka pembagian pupuk bersubsidi tidak akan tepat sasaran. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban melakukan pengawalan terhadap harga pupuk, yang terkadang setiap desa tidak ada kesamaan harga dan aturan cara pemebeliannya. Namun, jika hal tersebut diabaikan, maka pemerintah justru akan menjebloskan petani kepada jurang yang lebih dalam dan berduri.
Pendampingan Petani dalam Kondisi Apapun
Aktualisasi pendampingan terhadap petani harus nyata dan berkelanjutan. Dari awal tanam sampai panen keterlibatan negara mesti jelas. Keterlibatan ini bukan berarti Ketua DPRD atau Bupati ikut mencangkul dan memanen padi di sawah. Melainkan pemberdayaan dan perlindungan petani secara berkelanjutan mesti terlihat nyata hasilnya. Misal, pemerintah mampu membuat sebuah road map distribusi hasil panen yang berpihak pada petani. Hari ini kita semua sepakat bahwa petani tak lagi berdaya di depan hasil panennya sendiri. Harga ditentukan bukan oleh mereka, namun oleh tengkulak-tengkulak. Kenyataan ini rasa-rasanya menimbulkan pertanyaan di kepala kita, apa yang dilakukan pemerintah? Apakah pendampingan tersebut sudah dilakukan?
Sialnya, jawabannya adalah tidak. Kita masih banyak mendengar jeritan para petani, khususnya di Probolinggo. Petani yang mengeluh dengan hasil panen yang tidak setimpal dengan biaya produksi. Mahalnya biaya produksi itu, salah satunya, disebabkan dengan mahalnya pupuk. Saban musim tanam tiba, kita akrab dengan keluhan-keluhan petani —yang telah kita anggap biasa—terkait kelangkaan dan mahalnya pupuk. Kondisi demikian diperparah dengan anomali cuaca yang mulai dirasa petani. Cuaca yang tak lagi bisa diprediksi itu berdampak kepada kualitas tanaman, hasil panen, dan tak jarang petani lagi-lagi mengalami kerugian. Buntutnya, kebutuhan pupuk akan semakin ditambah untuk memperbaiki kualitas tanaman.
Ala kulli hal, pemerintah sepatutnya mengambil tindakan tegas, cepat, dan tanggap. Ikhtiar untuk menyelesaikan persoalan itu mesti ditunjukkan keseriusannya. Sebab, pertanian adalah lumbung pertahanan pangan demi mencukupi kebutuhan rakyatnya.