Peringatan 10 November, Getol Jatim Terus Ajak Masyarakat Tolak Omnibus Law
Berita Baru Jatim, Surabaya — 10 November merupakan hari yang penuh nuansa nasoinalisme dan patriotisme, yang mana seluruh masyarakat Indonesia merayakan dan berdoa atas gugurnya para Pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia. Namun, Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol Jatim) menyebutkan bahwa dalam peringatan kali ini masyarakat harus tetap fokus terkait permasalahan UU Cipta Kerja.
“Seharusnya khidmat kita kali ini dihadapkan dalam situasi yang berbahaya, di mana pemerintah baik itu eksekutif maupun legislatif secara tidak terpuji mengesahkan UU No 11 Tahun 2020 berlabel Cipta Kerja,” dalam keterangan tertulisnya dalam pers rilis hari ini, (10/11/2020).
Pada muatan UU Cipta kerja, terdapat 11 klaster yang mencakup kurang lebih 79 undang-undang beserta peraturan turunannya. Muatan dalam UU ini sederhananya adalah membuka gerbang investasi sebesar-besarnya dan memfasilitasi aktor bisnis besar. Hal ini dapat dilihat dari peta politik eksekutif maupun legilsatif yang memiliki relasi kuat dengan kepentingan ini.
“Apalagi wajah pemerintah Indonesia kini lebih banyak diisi oleh kartel politik, di mana mereka hanya mementingkan kepentingan terkait, bagaimana mempertahankan kekuasaan, lalu bagaimana memperluasnya. Sementara kepentingan bisnis hanya memikirkan, bagaimana mereka bisa mempertahankan kekayaannya, lalu bagaimana cara memperluasnya,” ungkap Getol Jatim.
Secara paradigma, Menurut Getol Jatim UU Cipta Kerja berpatron pada semangat developmentalism yang mana sangat erat dengan neoliberalisme, regulasi dibuat untuk memfasilitasi pasar bebas dan eksploitasi sumber daya alam masif, hingga menciptakan cadangan pekerja dengan sistem kerja fleksibel dan upah murah. Selain itu, negara dipaksa mengikuti skema global dan dibuat bergantung terus menerus (dependency), melalui pembiayaan utang jangka panjang. Maka tak heran World Bank, IMxe F dan kroni-kroninya bersuka cita dengan adanya UU Cipta Kerja ini. Karena dalam kerangka kerja SDGs semua terfasilitasi yang mana rumus kesejahteraan adalah membuka lapangan kerja besar. “Bumbu humanism, enviromentalism dan lain-lainnya hanya kamuflase agar seolah-olah baik, padahal tidak sama sekali. Eksploitasi atas manusia akan tetap eksis,” tegasnya.
Menurutnya, UU Cipta kerja adalah wujud dari neoliberalisme koersif, di mana deregulasi yang dibuat pemerintah untuk memfasilitasi investasi aktor bisnis besar, dibuat secara cepat, tidak demokratis dan memaksa. Hal ini ditampilkan melalui cara rezim dalam menghadapi rakyatnya yang protes, mereka melakukan represi, intimidasi dan kriminalisasi.
“Mereka menciptakan isu gelap untuk mendiskreditkan rakyatnya sendiri, memakai jasa keamanan dan buzzer untuk menggebuk rakyatnya sendiri,” imbuhnya.
Atas situasi Indonesia yang sedang sakit ini, maka Gerakan Tolak Omnibus Law Jawa Timur menyerukan segenap rakyat baik buruh, petani, nelayan, masyarakat marjinal, pelajar, mahasiswa, satpam, dosen, pedagang kaki lima, musisi, pelukis, aktor drama dan lain-lainnya, juga bagi mereka yang sekarang berada di pabrik, di kantor, di sekolah, di jalanan, di warung kopi dan lain-lainnya untuk tetap berjuang dan berdiri di atas keyakinan bahwa kita lah yang mampu mengubah nasib kita sendiri dan mewujudkan apa itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tuntutan Getol Jatim sebagai berikut.
- Pembangkangan sipil terhadap skandal UU Cipta Kerja. Artinya, masyarakat harus mengabaikan UU ini meskipun sudah disahkan, dan mendesak Jokowi untuk segera mencabutnya.
- Turun aksi ke jalan dengan damai dan lantang, menyuarakan tuntutan cabut UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 untuk memberikan tekanan politik kepada rezim dan negara hingga Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai tanda bahwa telah dicabut atau dibatalkannya UU Cipta Kerja.
- Membangun Persatuan Gerakan Rakyat Akar Rumput Nasional.