Putaran Ketujuh, Tukar Tutur Sastra HISKI Bicarakan Sastra Migran dan Tradisi Lisan
Berita Baru, Jakarta – Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) kembali gelar Tukar Tutur Sastra putaran 7 (tujuh), Sabtu, (20/07).
Bersama 3 (tiga) Komisariat HISKI, acara digelar melalui Zoom Meeting serta disiarkan secara langsung di kanal Youtube HISKI dan Tribun Network. Kegiatan Tukar Tutur Sastra ini difasilitasi oleh Bantuan Pemerintah Penguatan Komunitas Sastra yang dikelola oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Ketiganya adalah Prof. Pratiwi Ratnaningdyah M.Hum., M.A., Ph.D. (HISKI Unesa), Nailiya Nikmah, M.Pd., MCE. (HISKI Kalsel), dan Dr. Dharma Satrya, H.D., M.A. (HISKI NTB).
Sebagai moderator, Dr. Endah Imawati, M.Pd membuka acara dan memperkenalkan para narasumber dan topik yang dibahas oleh ketiga narasumber. Acara dilanjutkan dengan sambutan Wakil Ketua III HISKI Pusat, Dr. Sastri Sunatri, M. Hum.
Sastri memaparkan bahwa agenda Tukar Tutur Sastra adalah upaya pengurus HISKI Pusat untuk memasyarakatkan sastra lokal masing-masing komisariat. Ia berharap, para peserta dapat mendulang ilmu pengetahuan dari tiga narasumber di agenda Tukar Tutur Sastra yang ketujuh kali ini “Selamat ber-Tukar Tutur Sastra para peserta, semoga ilmu yang kita peroleh dapat bermanfaat dan dirahmati oleh Tuhan,” tuturnya.
Pembicara pertama, Pratiwi Retnaningdyah membawakan materi berjudul “Modernitas Islam dalam Sastra Migran”. Ia menjelaskan bahwa Sastra Migran merefleksikan perjalanan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menuju modernitas Islam.
“PMI yang tinggal di rumah majikan: tidak dipertimbangkan dalam regulasi perburuhan di negara penerima, terisolasi, dan status sosial dianggap rendah,” jelasnya.
Pratiwi menambahkan, beberapa kasus umum yang melanda PMI adalah gaji di bawah standar kontrak, kekerasan fisik dan emosional, pelanggaran kontrak kerja (tidak ada hari libur), dan kondisi tempat kerja yang memprihatinkan.
“PMI menggunakan tulisan fiksi dan naratif sebagai cara untuk menyuarakan diri secara individu dan kolektif (subjektivitas perempuan sebagai elemen modernitas),” ujar Pratiwi.
Beberapa tulisan PMI, lanjut Pratiwi, memiliki semangat menjaga habitus Islam melalui negosiasi dalam hal praktik agama sehari-hari.
Berlanjut ke pembicara kedua, Nailiya, ia mempresentasikan materi dengan judul “Bapandung di Tengah Generasi Z”. Ia mengatakan bahwa rakyat Banjar memiliki kebiasaan berkumpul saat malam-hari, beristirahat, saat kenduri, saat senggang sehabis gotong-royong, masing-masing mengeluarkan cerita lucu (humor).
“Kebiaasaan inilah yang kemudian disebut sebagai kesenian Bapandung,” ujarnya.
Nailiya menjelaskan bahwa Bapandung adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk membawakan sesuatu yang digendongnya, atau (gawean tukang gendong; dalam hal ini cerita atau kisah).
“Bapandung adalah salah satu wujud tradisi lisan yang keberadaannya sekarang ini dapat dikatakan hampir punah,” terangnya.
Pembicara ketiga, Dharma, mempresentasikan materi berjudul “Sastra dan Pendidikan Tinggi di Lombok”. Ia menuturkan bahwa sastra sebagai ilmu, bukan seni. Sastra berkembang di Universitas.
“Dalam konteks Lombok, banyak sastrawan yang lahir dari universitas dan mengapresiasi penulis yang dekat dan atau menjadi bagian dari dirinya,” terangnya.
Dharma menambahkan bahwa dosen sastra berada di antara menjadi ilmuwan sastra atau sastrawan.
“Kiki Sulistyo menjadikan seni sebagai jalan menjadi penyair, ia keluar dari seni masuk ke pendidikan tinggi, menawarkan kelas sastra dan diskusi sastra. Sastra sebagai pengalaman empiris,” ujarnya.
Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi interaktif antara audiens dan narasumber dipandu oleh moderator. Sampai akhir acara, webinar ini diikuti oleh 266 peserta dan ditonton sebanyak 210 kali di kanal Yotube HISKI dan Tribun Jatim.
Sebagai informasi, sama halnya dengan Sekolah Sastra, acara Tukar Tutur Sastra adalah salah satu agenda dari HISKI Pusat yang dipimpin oleh Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. Tukar tutur sastra diagendakan berlangsung setiap bulan sekali di minggu ketiga.