Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Refleksi Reformasi 24 Tahun Lalu
Foto: Reuters/Darren Whiteside

Refleksi Reformasi 24 Tahun Lalu



Berita Baru, Jakarta – Era Reformasi di Indonesia masih terbilang cukup muda. Pada hari ini, Sabtu (21/05/2022) memasuki usia ke-24. 21 Mei 1998 lalu Rezim otoriter Soeharto tumbang setelah 32 tahun berkuasa.

Saat ia menjabat sebagai Presiden, Soeharto mencatatkan sejarah kelam Indonesia. Jendral bintang lima itu dinilai sebagai penguasa otoritea. Pelangfaran HAM, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengakar. Lebih-lebih, ia gagal menjalankan mandat MPR menyelesaikan krisis moneter. Buntutnya berujung pada krisis kepercayaan masyarakat.

Enam catatan penting agenda reformasi di 24 tahun lalu. Gatot Priyowidodo Dosen Komunikasi Politik dan Komunikasi Organisasi Universitas Kristen (UK) Petra, memaparkan di Radio Suara Surabaya Sabtu (21/5/2022).

“Yang pertama dan sampai saat ini tidak bisa terselesaikan adalah pengadilan untuk pak Soeharto dan kroni-kroninya, sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Kedua agenda pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang selama ini terus digaungkan, namun faktanya belum pernah dan sangat sulit untuk dilaksanakan,” paparnya.

Namun, adapula agenda yang berhasil dilaksanakan, yakni Amandemen Undang-Undang 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden, juga Penghapusan dwi fungsi ABRI.

“Agenda kelima yaitu Supremasi Hukum, sebenarnya masih setengah-setengah bisa berhasil dijalankan. Kemudian agenda terakhir ada Otonomi Daerah (Otoda) yang saya pikir juga berjalan, terbukti dengan adanya Pilkada Serentak. Jadi kalau menurut saya, enam agenda ini tiga berhasil, dan tiganya masih belum,” tutur Gatot.

Hasil tersebut, lanjut dia, masih bisa dihitung sebagai sebuah kegagalan melihat bagaimana perjuangan Mahasiswa yang melancarkan aksinya, memperjuangkan Reformasi pada Mei 1998.

“Karena masih sebagian yang berhasil, jadi masih bisa dibilang gagal. Contohnya ya Supremasi Hukum yang memang belum bisa dimaksimalkan sesuai cita-cita reformasi,” ujar Gatot.

Meski demikian, Gatot menjelaskan, hal tersebut tidak bisa disalahkan ke pihak manapun baik kalangan elite maupun publik. Apalagi, dengan keberagaman yang dimiliki Indonesia, mulai dari etnis, agama, bahkan kepentingan politik, jadi kendala utama tidak segera terselesaikannya permasalahan Reformasi.

Sementara itu, terdapat sebuah anggapan terkait demokrasi yang lahir dari reformasi di Indonesia, justru menyebabkan tak kunjung selesainya permasalahan yang ada.

Dosen Komunikasi Politik Komunikasi Organisasi UK Petra menambahkan, sistem demokrasi sebenarnya sudah sangat tepat untuk Indonesia. Namun, tergantung pada bagaimana kedewasaan masyarakat dalam menyikapi.

“Setiap lima tahun pun kita ada Pemilu, disitu sebenarnya pembaruan kontrak politik dengan elit. Disitu seharusnya ada ruang evaluasi untuk menilai, pada pemerintahan periode sebelumnya mana yang beres dan mana yang belum,” terangnya.

Meski demikian, Gatot mengakui jika beberapa kebijakan yang ada saat ini, masih tersandra kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

“Solusinya, generasi sekarang apalagi yang baru jangan egois, harus buka catatan sejarah. Jangan hanya teriak reformasi tapi tidak tahu isinya dan asal berjuang,” pungkasnya.

beras