RUU TPKS Disahkan DPR RI
Berita Baru, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.
“Apakah RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?,” ujar Ketua DPR Puan Maharani selaku pimpinan sidang kepada anggota dewan yang hadir, Selasa, 12 April 2022. “Setuju,” jawab para anggota dewan diiringi ketukan palu sidang oleh Puan.
“Berikutnya kami tanyakan sekali lagi kepada seluruh anggota, apakah Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?,” kata Puan lagi disusul kata setuju dari seluruh anggota DPR.
Willy Aditya, Ketua Panja RUU TPKS, mengatakan dalam laporannya bahwa Badan Legislasi (Baleg) DPR RI secara intensif dan maraton membahas RUU yang terdiri dari 93 Pasal dan 8 Bab itu. Mulai dari 24 Maret hingga 6 April.
“Ini pembahasan cukup ekspres dan sesuai dengan komitmen politik DPR dan pemerintah untuk sama-sama merealisasikan RUU TPKS,” ujar Willy.
Beberapa progresif dari rancangan ini, kata Willy, adalah rancangan yang berpihak pada korban. Kedua, bagaimana aparat penegak hukum memiliki legal standing yang selama ini belum ada di setiap jenis kasus kekerasan seksual.
“Ketiga ini adalah kehadiran negara bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dengan fenomena gunung es,” katanya.
Politikus NasDem itu juga mengatakan, UU ini hadir juga dengan adanya dana bantuan korban.
“Kami membuka persetujuan untuk disahkan sebagai UU dimana penantian korban, perempuan Indonesia, diasabilitas dan anak-anak dari kaum predator seksual yang selama ini masih bergentayangan. Ini kata ibu Puan akan jadi kado di hari Kartini,” kata Willy.
Dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI, terdapat delapan fraksi yang menyetujui RUU TPKS, yaitu Fraksi PDI Perjuangan, F-Golkar, F-Gerindra, F-NasDem, F-PKB, F-PAN, F-Demokrat, dan F-PPP. Sedangkan satu fraksi, yaitu F-PKS menolak pengesahan RUU TPKS dengan alasan menunggu pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam pembahasannya, RUU TPKS telah mengatur antara lain tindak pidana kekerasan seksual; pemidanaan (sanksi dan tindakan); hukum acara khusus yang menghadirkan terobosan hukum acara yang mengatasi hambatan keadilan bagi korban, mulai dari restitusi, dana bantuan korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan; dan penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu.
Pada tindak pidana kekerasan seksual, RUU TPKS mengatur perbuatan kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial, yaitu tindak pidana pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini juga mengakomodir sejumlah masukan koalisi masyarakat sipil seperti memasukkan mekanisme “victim trust fund” atau dana bantuan korban. Kendati demikian, RUU TPKS masih menyisakan catatan seperti, belum diaturnya secara gamblang perkosaan dan pemaksaan aborsi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, dua jenis tindak pidana tersebut tidak masuk RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, karena akan diatur dalam RKUHP. “Tapi sebenarnya kalau kita perhatikan dalam pasal 4 ayat (2) RUU TPKS, sudah memasukkan pemerkosaan itu sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Tetapi mengenai deliknya itu ada di dalam KUHP,” kata Eddy.