Tingginya Deforestasi Akibat Kesewenangan Oligarki
Oleh: Isna Asaroh
Angka deforestasi Indonesia selalu tinggi setiap tahunnya. Jumlah deforestasi Indonesia terhitung dalam 10 tahun terakhir telah mencapai 12,5 juta Ha tanah. Hal ini selaras dengan data Global Forest Watch yang menyatakan bahwa; sejak tahun 2001 hingga 2022, Indonesia kehilangan 29,4 Mha tutupan pohon, setara dengan penurunan 18% tutupan pohon sejak tahun 2000 dan setara dengan 21,1 Gt emisi CO2e.
Adapun deforestasi sebagaimana Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), Deforestasi merupakan perubahan secara permanen areal hutan menjadi tidak berhutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Sehingga, secara sederhana deforestasi dapat dimaknakan sebagai pengurangan wilayah yang sebelumnya bertajuk hutan menjadi bukan hutan. Lebih singkatnya, deforestasi ialah berkurangnya lahan hutan.
Melihat tingginya angka deforestasi yang terjadi, Indonesia masuk dalam kategori merah sebagai salah satu Negara dengan penggundulan hutan tercepat di Dunia. Padahal, keberadaan hutan sangatlah penting kaitannya dalam keberlangsungan ekosistem kehidupan. Pasalnya, Indonesia merupakan Negara yang memiliki hutan hujan tropis yang dapat menghasilkan emisi dalam jumlah besar serta menjadi habitat berbagai macam biodiversitas, bahkan erat pula dengan masyarakat adat.
Selaras dengan itu, di dunia saat ini alam yang disediakan secara alamiah untuk makhluk hidup hanya tersisa 30 persen saja. Sedangkan, banyaknya lahan hutan yang habis yaitu seluas Negara Bangladesh yang terhitung hilang pertahunnya. Lahan-lahan hutan didunia telah berubah menjadi lahan-lahan lain untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia. Akibat adanya deforestasi ini, dapat menyebabkan terjadinya bencana alam, punahnya flora fauna, terganggunya siklus air, adanya pemanasan global dan perubahan iklim.
Contohnya, di Indonesia sendiri khususnya di Pulau Jawa, jumlah hutan yang ada saat ini sangatlah sedikit. Sehingga, lima tahun mendatang diprediksi Pulau Jawa tidak lagi memiliki cadangan air yang memadai untuk kebutuhan manusia yang ada didalamnya. Hal ini dikarenakan tidak adanya tangkapan air akibat keberadaan hutan yang telah habis untuk dijadikan resort, hotel, dll. Sisa hutan yang sedikit, hanya mampu menampung air dalam jumlah yang sedikit pula. Disatu sisi, manusia yang mengonsumsi air jumlahnya banyak. Maka 15 tahun dari sekarang, penduduk pulai Jawa harus mengungsi akibat cadangan air yang tidak memadai.
Selain itu, deforestasi akibat alih fungsi lahan untuk peternakan telah nyata kita rasakan dampaknya pada pandemi covid-19 kemarin. Banyak orang tidak menyadari bahwa salah satu penyebab pandemi adalah deforestasi. Mengapa demikian? Besarnya interaksi atau kontak manusia dengan hewan (unggas) melalui rekayasa genetik yang dilakukan, memperbesar pula interaksi manusia dengan makhluk hasil rekayasa. Sebaliknya, manusia kian menjadi jauh dari alam. Dimana, lahan peternakan yang semakin besar menyebabkan menyusutnya lahan alamiah yang tersedia. Akibatnya, hewan-hewan yang memiliki virus, virusnya akan menyesuaikan diri dengan manusia dan berinteraksi dengan manusia. Sehingga, pandemi hadir menghiasi kehidupan manusia.
Disisi lain, pada pandemi covid-19 angka deforestasi menurun. Sebagaimana data BPS Statistik, total deforestasi pada tahun 2017-2018 berjumlah 430.439,1 Ha, 2018-2019 sejumlah 462.458,5 Ha, kemudia turun drastis pada 2019-2020 yakni 115.459,8 Ha, tahun 2020-2021 120.705,8 Ha dan 104.032,5 Ha pada 2021-2022. Hal ini tentunya diakibatkan adanya pembatasan gerak yang menyebabkan keperluan produksi menjadi menurun dan membuat udara semakin bersih serta ekosistem semakin terjaga. Melihat kenyataan yang demikian, jelas bahwa manusia sebagai antroposen atau puncak tertinggi ekosistemlah yang mengakibatkan bumi menjadi rusak.
Dampak paling besar dari deforestasi adalah perubahan iklim dan pemanasan global. Saat ini, kita dapat merasakan betapa suhu dunia menjadi semakin panas dan hujan tidak lagi dapat diprediksi kedatangannya. Hal ini erat kaitannya dengan keberadaan hutan didunia. Selain itu, krisis iklim dengan ketidakpastiannya dapat berdampak secara psikologi terhadap perkembangan manusia. Tidak hanya itu, World Economy Forum telah menyampaikan bahwa krisis iklim menjadi factor yang berdampak pada ekonomi global. Maka, dipastikan dengan adanya krisis iklim akan berdampak pada krisis-krisis sektor lainnya.
Adanya deforestasi disebabkan karena beberapa faktor, diantarannya; kebakaran hutan, pembukaan lahan perkebunan, perambahan hutan, transmigrasi, serta pertambangan dan pengeboran Sumber daya alam. Adapun penyebab utama deforestasi adalah kesewenangan pemerintah untuk menyokong kepentingan sebagian orang (Oligarki).
Deforestasi yang terjadi terus menerus dari satu pemerintah ke pemerintahan yang lain terbukti tidak memberi dampak signifikan terhadap rakyat. Adanya pembabatan hutan untuk industry ekstraktif, perkebunan kelapa sawit, pertambangan batu-bara hanyalah menguntungkan segelintir orang saja. Dimana, penerapan model ekonomi ekstraktif sangatlah eksklusif dan minim pelibatan masyarakat secara luas. Sehingga, dampak ekonomi bagi masyarakat hanyalah omong kosong. Tentu dalam proses perizinan usahanya, ada campur tangan dari pemerintah.
Seperti beberapa tahun lalu Indonesia sempat digegerkan terkait Perusahaan Asing Korindo asal Korea yang sengaja membakar Hutan di Papua dengan luasan sebesar Kota Seoul. Konon, pembakaran hutan dilakukan untuk mengubah hutan menjadi perkebunan sawit. Padahal, masyarakat adat disana sangat bergantung kepada kelestarian hutan. Meski berhasil digagalkan, tentu kita patut mempertanyakan bagaimana Perusahan Korindo yang berasal dari Korea itu mendapatkan akses dan izin untuk membakar hutan Papua di Indonesia. Tentu disinilah letak peran birokrasi atau pemerintah.
Sebagian besar penggundulan hutan erat kaitannya dengan bisnis besar yang melibatkan kesewenangan pemerintah menggadaikan kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan sesaat. Segala kerusakan lingkungan dan industry ekstraktif bermula dari mekanisme sosial yang bernama politik untuk melanggengkan oligarki.
Apa sih yang dimaksud Oligarki?
Oligarki merupakan sistem pemerintahan yang persis dengan aristokrasi. Sistem Pemerintahan Aristokrasi merupakan sekumpulan kecil manusia yang cukup hebat dan bijak untuk mengatur masyarakat secara umum. Sedangkan oligarki merupakan versi jahatnya. Yakni sekelompok orang elit politik atau elit ekonomi / financial yang berkuasa penuh atas satu negara untuk kepentingan tertentu. Adapaun ciri-ciri oligarki adalah adanya kesenjangan ekonomi yang tinggi.
Sebagai contoh, diseluruh dunia ada 1% manusia yang menguasai 50% ekonomi. Di Indonesia lebih parah lagi, dimana ada 1% manusia menguasai 66% tanah di Indonesia. Mereka memiliki hak penuh untuk melakukan apapun atas tanah-tanahnya. Sehingga jelas, daripada menggunakan tanah untuk ditanami padi, akan lebih menguntungkan membangun pabrik tekstil atau pusat industry yang lain, meski dapat menimbulkan dampak buruk pada ekosistem alam disekitarnya.
Oligarki memiliki kuasa materil yang secara penuh dapat dimasukkan pada kuasa politik. Maka menjadi lumrah apabila ada pengusaha yang ikut campur dalam urusan politik atau menjadi backing sebuah sitem politik di Indonesia. Parahnya, wacana demokrasi yang awalnya menempatkan DPR sebagai lembaga yang menjadi alat rakyat mendelegasikan kekuasaanya, kini telah menjadi lumbung kekuasaan bagi pengusaha. Bagaimana tidak, jumlah rakyat Indonesia yang menjadi pengusaha hanyalah 0,8%. Sedangkan, anggota DPR yang menjadi pengusaha sebagaimana penelitian tempo.co lebih dari 50%. Artinya DPR bukan lagi perwakilan rakyat melainkan perwakilan pengusaha yang menyesuaikan kepentingan bukan untuk 98,2 rakyat, tapi kepentingannya sendiri termasuk dalam penyelesaian deforestasi.
Lalu, apakah mungkin memukul mundur oligarki yang telah menjadi kanker dalam pembangunan Negara utamanya pada kasus Deforestasi?
Pertama, untuk menghadapi oligarki yang berkuasa yang paling mudah adalah menggunakan lingkaran oligarki yang lain. Hal ini diakibatkan karena adanya akses tidak terbatas yang dimilikinya terhadap ekonomi dan politik, memungkinnya untuk melakukan apapun. Sedangkan, tentu hal tersebut tidak bisa dilakukan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan yang demikian. Maka perlu ada penguasa lain sebagai tandingan untukk meruntuhkan kekuasaanya. Namun ini tidaklah solutif, sebab bisa jadi oligark yang lainnya juga berjalan atas kepentingannya sendiri.
Maka, menghadapi oligarki yang kerap menggunakan kekuasaan materi untuk kekuasaan politik membutuhkan peraturan baku dan jelas untuk membatasi kepentingan mereka. Bahwa, kuasa materi tidak diperbolehkan masuk pada kuasa politik. Sebab, atas kekuasaan tersebut membuka jalan terbukanya akses bagi mereka mengambil kepentingan publik untuk kepentingan pribadi. Maka perlu adanya persatuan mendorong regulasi untuk membatasi kepentingan oligarki.
Jika solusi diatas terasa sulit dan naif, sebab adanya akses ekonomi dan politik telah memberikan akses manipulatif tanpa batas. Sehingga bisa saja mereka manamai tanah-tanahnya atas orang lain dan Peraturan tidak cukup ampuh membatasi mereka sedikitpun. Apalagi, setiap golongan atau kelompok tidak bisa melawan karena membutuhkan pemimpin dan ketika pemimpinnya diiming-imingi imbalan besar maka gugurlah perjuangan itu.
Maka Langkah yang paling dekat dan memungkinkan adalah mengurangi tuntutan kepada pihaknya dan tetap mendorong kekuatan terbesar untuk fokus pada tindakan-tindakannya. Misalnya, mengedukasi bahwa sebagai sesama makhluk organik perlu menggunakan kekuatannya untuk diberikan pada kesejahteraan yang lebih langgeng. Bahwa jangan sampai melubangi perahu yang sedang ditunggangi.
Selain itu, kita dapat berharap banyak pada Pemimpin Indonesia kedepannya. Pemimpin yang peduli pada Indonesia, pada rakyat dan alam Indonesia. Sehinggga dengan ketegasan yang dimilikinya, alam tidak lagi dikeruk untuk kepentingan segelintir orang saja, melainkan untuk kepentingan rakyat Indonesia secara luas. Dengan kebijaknnya, meningkatkan potensi sumber daya alam Indonesia untuk mendorong Indonesia menjadi Negara yang semakin berdaulat dan maju. Semoga persoalan lingkungan menjadi salah satu titik fokus yang juga dikedepankan kaitannya dengan Pembangunan Indonesia kedepan.