PMII Jember Sikapi Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren
Berita Baru, Jember – “Kasus kekerasan seksual semakin banyak ditemukan di Indonesia. Tidak kenal tempat, waktu, orang terdekat atau orang jauh kekerasan seksual hampir sulit untuk tebak. Beragam modus yang dilancarkan oleh pelaku kekerasan seksual. Mulai dari bersikap seakan-akan melindungi hingga kasar sedari awal,” kata Ketua PC PMII Jember M. Faqih Al-Haramain melalui keterangan tertulisnya pada Minggu (19/12).
Respon tersebut merupakan efek positif dari hadirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Ia menilai peraturan itu dapat memberikan angin segar bagi masyarakat kampus perihal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Meskipun masih banyak menuai pro dan kontra. Namun bila dibaca secara utuh, katanya, peraturan tersebut sudah dapat dijadikan instrumen hukum untuk menekan angka kekerasan seksual di kampus. Ia mengatakan kini publik kembali dihebohkan dengan terungkapnya satu persatu kasus kekerasan seksual yang dilakukan di Lembaga Pendidikan Islam atau Pesantren.
“Kasus-kasus tersebut tentu mencoreng nama baik pesantren-pesantren,” tegasnya. Mengingat pesantren di Indonesia, Faqih melanjutkan, sudah lama berkiprah dan banyak berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Kasus tersebut tidak hanya pelanggaran tapi juga kejahatan terhadap anak di bawah umur.
Tercatat 21 santriwati korban kekerasan seksual oleh seorang pengasuh sekaligus guru di Yayasan Pendidikan dan Sosial Manarul Huda, Madani Boarding school, Bandung Jawa Barat. Data yang ia himpun mencatat bahwa usia korban berkisar antara 13-17 tahun. “8 di antaranya dikabarkan telah melahirkanan dan sedang hamil,” ungkapnya.
“Tentu kekerasan seksual tersebut merupakan sebuah kejahatan baik dari segi norma agama, susila, maupun pelanggaran hukum negara,” imbuh PC PMII Jember melalui press releasenya. Mirisnya tindak kekerasan tersebut dibungkus dengan penyediaan lembaga pendidikan gratis berbasis pesantren tahfidz qur’an.
Kasus serupa juga terjadi di salah satu pesantren di Tasikmalaya dengan total korban 9 santriwati yang masih di bawah umur. Kejadian yang sama dilakukan oleh seorang ustad di Kabupaten Trenggalek yang melakukan pencabulan terhadap 34 santriwatinya.
Dari sekian kasus diatas, ada beberapa walisantri yang selama 1,5 tahun tidak mengetahui bahwa anaknya sedang mengalami kekersan seksual hingga hamil dan melahirkan. Tentu masih banyak kasus yang belum terungkap. Pasalnya, kekerasan seksual, ia melanjutkan, bagai fenomena gunung es. Nampak sedikit, padahal sebenarnya banyak kasus yang tidak tampak dan menguap.
Melihat kasus-kasus diatas PC PMII Jember melakukan tuntutan kepada pemerintah. “Khususnya Kementerian Agama,” tegasnya. Di samping itu, PC PMII Jember juga menghimbau kepada masyarakat dan wali santri melihat maraknya kasus kekerasan seksual.
Tuntutan dan Himbauan PC PMII Jember
Pertama, mendesak Kementerian Agama Republik Indonesia segera membuat Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Pondok Pesantren dan lembaga lain yang dinaunginya.
Kedua, mendesak Kementerian Agama untuk segera menginvestigasi dan mencabut izin lembaga pesantren dan lembaga yang dinaunginya yang mencurigakan dan tertutup dari masyarakat sekitar.
Ketiga, mendesak Kementerian Agama Republik Indonesia membuat pojok aduan yang mudah diakses santri dan masyarakat, apabila ditemukan kejanggalan akan lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama.
Keempat, tidak menganggap remeh kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, khususnya di pesantren dan pendidikan islam lainnya.
Himbauan
Pertama, masyarakat supaya melaporkan kepada penegak hukum apabila menemukan lembaga pendidikan yang janggal tidak sebagaimana mestinya.
Kedua, bagi orang tua yang akan memondokkan putra-putrinya supaya meneliti terlebih dahulu sanad keilmuan pesantren dan memastikan bahwa pesantren tersebut aman dan tidak mencurigakan dengan cara menanyakan kepada lingkungan sekitar pesantren.
Ketiga, bagi orang tua supaya selalu mau mengetahui dan menjenguk secara berkala untuk mengetahui kondisi putra-putrinya di pesantren dalam keadaan aman.