Ideologistik: Ideologi, Logika dan Statistik
(Anggota PC LP Ma’arif NU Kab. Mojokerto)
Adalah sebuah akronim dari tiga kata keramat bagi komunitas intelektual yakni ideologi, logika dan statistik. Istilah itu muncul di benak penulis saat sayup-sayup mendengar celotehan sebagian rekan sejawat khususnya senior-senior, yang mempertanyakan sampai menyesalkan keputusan penulis masuk dalam sebuah jaringan partai politik praktis. Kendati celotehan itu sedikit yang langsung penulis dengar.
Seperti itu ideologistik yang ingin penulis sampaikan kepada anda, para pembaca kehidupan. Sekilas memang kata ideologistik hanya menyoal perkara otak (ideologi) dan perut (logistik), yang mana hal tersebut lahir akibat posisi dilematis antara idealisme dan realitas memenuhi kebutuhan hidup. Percayalah, bahwa ideologi juga sebuah kebutuhan hidup yang tak kalah pentingnya dengan sepiring nasi.
Berbekal dari cerita perjalanan hidup dua mentor penulis dalam ruang yang baru ini, menjadi sebab bertahan dan meyakini bahwa tidak ada yang bisa menggerus posisi ideologi selain kematian. Ideologi apapun terbentuk karena sebab adanya dinamika dan dialektika yang melatarbelakanginya, maka selagi pikiran masih hidup selama itu pula ideologi akan terus berkembang. Contoh; kendati ideologi komunisme dimatikan di Indonesia itu adalah sebuah proses politik, nyatanya kita yang lahir jauh setelah komunis dimatikan, masih tetap bisa belajar dan mendalami komunisme bukan?
Sementara itu tentang logika, seorang hujjatul islam, Al Ghozali mengatakan dalam kitabnya Tahafut Falasifah bahwa logika hanyalah sebuah perangkat berpikir untuk mencapai kebenaran filsafat, sementara untuk mencapai kebenaran filsafat orang tidak boleh melulu berpikir tentang logika. Ibaratnya logika adalah sebuah korek api untuk menyulut sebatang rokok, setelah rokok tersulut maka taruhlah korek api tersebut. Proses logika juga pernah dipakai Aristoteles untuk menyanggah dengan hormat pemikiran seniornya, Plato. Dia mengatakan “Plato sangat berharga dan kebenaran juga sangat berharga, tapi kebenaran jauh lebih berharga dari seorang Plato”.
Sekali lagi, logika tidak akan bisa menjadi tiang yang berdiri sendiri, dia hanya sebatas perangkat kerja dalam satu sistem kerja yang membutuhkan perangkat-perangkat kebenaran lainnya. Era Post Modern seperti ini, dalam bidang apapun, sebuah fakta tidak akan bisa menjadi konsensus ke-fakta-an, kendati didukung dengan logika yang melangit, dan hanya akan menjadi sebuah gelembung-gelembung retorika yang terbang diudara lalu sirna. Tapi pada sudut lain, logika adalah sebuah solusi dari segala kekeruhan yang tak berujung, dengan konsekuensi bahwa logika harus dikawal dengan proses ekperimen-eksperimen ilmiah.
Adalah statistika salah satu jawabnya. Yakni sekumpulan data dalam bentuk angka yang untuk kepentingan mudah dipahami, maka angka tersebut dibentuk dalam sebuah tabel diagram dengan definisi yang padat dan singkat. Perihal itu, kita sering menjumpainya pada sebuah produk ilmiah dari hasil kerja-kerja lembaga survey. Dengan adanya statistika produk ilmiah tersebut, kita bisa terhindar dari informasi yang simpang siur. Kendati proses produksi hasil statistika juga bisa penuh dengan muatan kepentingan tertentu.
Stastika menyajikan sebuah data yang akan dapat kita jadikan sebuah bahan evaluasi dan perencanaan suatu program kerja, agenda politik bahkan sangat berguna untuk pengembangan dalam suatu bidang usaha. Hal itu biasanya untuk mengimbangi informasi yang didapatkan dari mulut ke mulut, atau juga untuk menambah keyakinan atas sebuah petunjuk “langit”.
Pergerakan yang Ideologistik
Dengan penjelasan di atas, kita sudah dapat membayangkan apa kaitannya Ideologi, Logika dan Statistik dalam proses Pergerakan. Kita juga bisa langsung mengaplikasikannya dalam satu dua program kerja gerakan. Tarulah untuk menjawab problematika diaspora kader, maka tidak akan bisa dijawab oleh satu dua orang, selain kita bergerak sendiri, menyelami dunia kaderisasi, pergerakannya, konsekuensinya, nilai-nilainya. Dan kemudian, kita letakkan peran satu dua pemikiran dan pengalaman (senior) hanya untuk konteks konfirmasi. Ingat, hanya konfirmasi, bukan mencari salah dan benarnya.
Penulis tidak ingin menjelaskan seberapa penting Ideologistik untuk dipahami dan dijalankan, sebab itu sudah menjadi ranah kemerdekaan proses berfikir dan bergerak serta proses penciptaan pengalaman anda sendiri. Sebagai kader Pergerakan, penulis menjalani banyak proses dan jutaan perasaan yang terlahir akibat itu semua, dan Ideologistik tak lebih hanyalah sebuah hikmah yang sangat subyektif dari sebuah pengalaman berpikir, bergerak dan berperasaan. Oleh karena itu, penulis anggap Ideologistik ini penting untuk diutarakan.
Organisasi kemahasiswaan yang anda jalani dan pernah penulis jalani ini, memang jelas dikatakan sebagai organisasi yang menempatkan kaderisasi sebagai ruhnya. Tak penting membicarakan amunisi, materi dan jaringan sebab tanpa kaderisasi organisasi dikatakan mati. Tapi, melulu fokus tentang kaderisasi hanya akan menyebabkan pertumbuhan menyamping bagi tubuh organisasi. Maka kaderisasi sebagai subjek harus dilengkapi dengan perangkat-perangkat untuk pengembangannya.
Seperti sudah dibaca oleh para pendahulu, maka semangat kaderisasi yang ada di organisasi mereka lengkapi dengan satu sistem pendidikan kader yang bertingkat dan saling berintegrasi. Mereka membaginya dalam tiga konteks; formal, informal dan non formal. Namun ketiga konteks tersebut seakan hanya menjadi syarat syariat berorganisasi dan kehilangan ruhnya sebagai perangkat sistem kaderisasi. Dan hanya menghasilkan rutinitas-rutinitas semata. Proses pendidikan kaderisasi para kader kemudian diserahkan kepada kondisi pergaulan di dalam organisasi, yakni berbasis like dislike, suka dan benci, hormat dan hina dan sejenisnya yang sangat tidak mencerminkan intelektualitas.
Untuk menjawab tantangan tersebut, maka dibutuhkan tenaga dan pikiran untuk kembali kepada proses mendudukperkarakan Ideologi, nilai-nilai, norma-norma serta produk hukum organisasi. Bukan tidak mungkin proses itu dapat dijalani, bahkan bisa cepat dan singkat, lebih singkat dari mengumpulkan bintang dalam game Candy Crush. Dan proses itu sangat bergantung pada tingkat kecerdasan dan kedalaman dalam menggunakan logika.
Selanjutnya untuk menghidupi, bereksistensi dan membuat dampak nyata organisasi bagi masyarakat, kaum pergerakan dapat menggunakan kaidah-kaidah penelitian ilmiah yang didapatkan di kampus untuk diterapkan dalam menentukan program gerakan. Mengorganisir kaum intelektual dari semua segmen dan menggerakkannya dalam satu tarikan nafas. Salam Pergerakan!
Sebab mulai hari ini, ditengah cobaan Covid-19 ini, dan ditengah deruh perkembangan teknologi ini, meminjam catatan Budiman Sudjatmiko kita harus beralih fokus dari pergerakan yang berbasis massa kepada gerakan yang berbasis penguasaan ruang, data dan teknologi. Sudah, percayalah, kurang besar apa pengerahan massa 212 pada tiga tahun silam, nyatanya mereka hanya berhasil menjelekkan nama Ahok dan tidak berhasil membunuh eksistensinya. Mengapa? Inilah yang harus dibaca oleh kaum pergerakan.
Dampak Nyata Idelogistik Kaum Pergerakan
Berbagai instrumen gerakan sudah nampak dan dapat kita pilih dengan semau-mau kita, misalnya terjun dan mendampingi gerakan sempoyongan oleh orang-orang desa yang melawan koorporasi, mengambil alih kendali media sosial dengan memberikan akses para kader yang berbasis informatika untuk meningkatkan keahliannya, memberikan jaminan dan akses belajar perekonomian tingkat desa bagi kader yang berlatar ilmu perekonomian, dan sebagainya.
Menurut catatan M Hasanudin Wahid, kita masih belum bisa memanfaatkan lautan data yang setiap detik, disadari atau tidak semakin bertambah, yang mana hal itu disebut sebagai big data. Memang butuh proses yang tidak sederhana untuk dapat membaca dan memanfaatkan big data, tapi jika sejak awal sudah memiliki bekal konsentrasi bidang, maka akan terlihat sangat sederhana dan cepat dilakukan.
Penulis mengambil contoh kondisi saat ini, ditengah pandemi Covid-19 ribuan warga se- Kabupaten Mojokerto kehilangan akses mendapatkan penghasilan, akan tetapi menurut hasil survey PCNU Kab. Mojokerto tanggal 16-21 April ini mengatakan bahwa pengeluaran warga semakin banyak dan cenderung tetap. Sebagai kaum pergerakan kita bisa mengambilnya sebagai bahan dasar untuk bergerak, misalnya;
“Idelogi” kita adalah Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah, kemudian kita mengidentifikasi para terdampak Covid-19 yang dengan klasifikasi ideologi tersebut, kemudian merancang gerakan penanganan membangkitkan ekonomi yang bersifat survive dengan kondisi sekarang. Kita buatkan ruang produksi dan pasar sendiri, persis seperti sistem ekonomi kerakyatan yang digagas oleh Bung Hatta. ‘Dari-Oleh-Untuk Kita’.
Beberapa kajian ekonomi seperti yang disampaikan oleh ibu organasi Garda Bangsa, beberapa sektor usaha yang bertahan dan dipastikan dapat berkembang dalam situasi seperti ini adalah herbal dan vitamin, IT, telekomunikasi, retail, jasa renovasi, konsultan psikologi, jasa pengumpulan dan pembuangan limbah, kuliner.
Kita bisa mengadopsi atau menghidupkan kembali teori Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran, kita menggunakan itu untuk kemudian dapat mengembangkan bahkan menciptakan produk-produk pasar lokal yang diproduksi oleh masyarakat desa kemudian kita pasarkan melalui penguasaan kita terhadap teknologi. Masyarakat perkotaan yang pada dasarnya tetap bisa mendapatkan uang dengan bekerja dari rumah akan menjadi pangsa pasar.
Upaya penggalangan donasi biar difikirkan kelompok lain. Sementara melalui ide dan gagasan seperti tersebut di atas, kita menawarkan alternatif gerakan kebangkitan ekonomi yang bernafaskan semangat “ideologi” Nahdlatut Tujjar seperti masa pergerakan kaum santri sebelum Nahdlatul Ulama lahir. Apakah mungkin? Bukan tidak mungkin! Percayalah, ini Mojokerto Bung!
Kira-kira seperti itu dampaknya, jika kita benar-benar bekomitmen dan tetap ingin bergerak meski kondisi sudah sedarurat ini. Kecuali apabila kita ternyata juga bagian dari para terdampak, yang tidak bisa berimajinasi selain mengeluh menyalakan keadaan dan menyalahkan Jokowi, Khofifah dan Pungkasiadi.
Khusus tentang situasi dan kondisi seperti sekarang ini, kita harus memperbanyak konsolidasi lintas sektoral, kita tinggalkan ego sektoral. Sebab ini adalah masalah kita bersama, tanpa pandang bulu. Maka mari bergerak bersama, badan boleh #dirumahsaja tapi imajinasi intelektual jangan dibiarkan ikut rebahan.
Sejatinya, inilah harapan dalam Ideologistik untuk menjawab persoalan yang bersifat internal (ideologi, kaderisasi, sistem organisasi dll) dan kondisi eksternal (sosial, agama, politik, budaya, kesehatan dll). Salam Pergerakan!