Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Analisis Sosial
ilustrasi

Analisis Sosial sebagai Instrumen Perubahan Sosial



Analisis Sosial sebagai Instrumen Perubahan Sosial
Syaiful Anam

Pelajar di Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik konsentrasi “Sosiologi Pembangunan” minat baca” Filsafat, Sastra, dan Sejarah” hidup di ruang bebas: gelandangan di kota Urban.

Analisis sosial merupakan salah satu instrumen penting dalam agenda-agenda gerakan sosial yang memiliki orientasi perubahan radikal dan total dalam merombak struktur sosial yang dianggap mapan. Kemapanan yang dimaksud adalah bersifat politis dan represif berada dalam suatu kekuasaan yang terstuktur. Intrinsik dalam kepentingan elit penguasa yang bertentangan dengan nilai keadilan: ekonomi, sosial dan politik. Oleh karenanya, diskursus mengenai analisis sosial tidak bisa dipisahkan dari gerakan sosial dan rekayasa sosial. Ketiganya merupakan satu kesatuan, erat berkaitan, integral yang tidak bisa dipisahkan sama sekali. Selain itu, analisis sosial perlu berpijak pada aspek nilai ideologi yang menjadi dasar dari cara berpikir dan keberpihakan dalam perilaku praksis gerakan sosial. Hal itu dikarenakan analisis sosial, bahkan dalam orientasi yang lebih jauh yakni perubahan sosial bukanlah sesuatu yang sederhana dan reduksionis dalam memandang realitas. Tidak dipungkiri, di dalamnya melibatkan subyek-politis dan orientasi politis. Sehingga untuk kepentingan itu, dalam makalah yang singkat ini penulis ingin menyampaikan beberapa hal mendasar sebagai titik tolak siapa dan bagaimana analisis sosial itu dilakukan. Apa tujuan akhir dari analisis sosial. Bagaimana mengimplementasikan hasil dari analisis sosial. Siapa sasaran penting dari analisis sosial, rekayasa sosial dan gerakan sosial?

Pertanyaan kunci tersebut sebagai pembuka awal bagi kita untuk menyelami kedalaman palung yang curam. Penuh teka-teki, melibatkan proses berpikir serta pertimbangan yang panjang dan ketegasan dalam membuat keputusan. Pertimbangan yang matang membuat kita lebih taktis dan waspada dalam bergerak. Mencapai tujuan akhir dengan pasti.

Pertama, jika analisis sosial adalah instrumen pemahaman bagi pola dan rerangkai permasalahan sosial maka siapa itu subyek yang melakukan analisis? Bagaimana “masalah” itu bisa dikatakan sebagai problem bersama sehingga kita bisa menangkap itu bukan persoalan perseorangan yang bersifat indiviudal. Saya ingin memualinya dengan meletakkan subyek-politis yang sadar sebagai upaya untuk menciptakan tipologi subyek.[1]

Oposisi Intelektual

Dalam hal ini, saya ingin memulainya melalui gagasan Edward Said dalam catatan-catatan kuliahya di stasion radio BBC (Representations of the intellectual: the Reith lectures, 1994). Dalam buku itu—diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah yang agak keliru dan sangat jauh dari subtansi buku itu yakni peran intelektual oleh yayasan obor Indonesia— ia menuliskan bahwa intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekpresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap filosofis dan pendapatnya kepada publik dan menjadi orang yang tidak gampang dikooptasi oleh kekuasaan (Said, 1994). Dalam pandangan Said, Intelektual, subyek-berkesadaran, sangatlah penting untuk memberikan sebuah catatan kritis terhadap kecenderungan-kecenderungan realitas yang diproduksi oleh kekuasaan. Bahkan  sikap kaum intelektual harus mengambil jarak oposisi dengannya.

Bersandar pada konsep Julien Benda, Said mengkategorikan dua jenis kaum intelektual yakni oposisi dan akomodasi. Intelektual yang berada dalam sikap oposisi adalah mereka yang tidak terkooptasi oleh kepentingan penguasa. Intelektual akomdasi adalah mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan. Chomsky menyebutkan golongan kedua sebagai teknokrat pengusa dan berpihak pada kepentingan penguasa[2]. Sebagai konsekuensi logis darinya intelektual jenis ini adalah penghianat (baca: penghinat intelektual dalam istilah Julien Benda) dari massa rakyat sebagai korban subordinasi dari pemerintahan. Kaum intelektual selalu memiliki pilihan ‘apakah membela kaum yang lemah; kelompok yang kurang terwakili dan tersisihkan serta terabaikan atau justu membela kaum yang kuat yakni penguasa’? Said menandaskan tugas kaum intelektual adalah menguniversalkan krisis yang terjadi dalam masyarakat di hadapan publik dan mengasosiasikan pengalaman demikian dengan kalangan lainnya yang berada dalam kondisi yang sama (1994). Dalam konteks Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah menuliskan suatu makalah pendek dengan judul ‘peran kaum intelektual di negara dunia ketiga’. Ia menuliskan peran intelektual, salah satu diantaranya adalah.

Berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual karena tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh sebelum memutuskan. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya karena keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual Indonesia (Toer, 1952).

Toer menyampaikan hal itu dalam konteks negara dan bangsa baru terbebas dari dunia penjajahan yang mengakibatkan tiga hal: perampasan rempah-rempah, pemiskinan yang sistematis, dan penguasaaan hegemoni barat terhadap negara dunia ketiga.

Kiranya jelas di sini bahwa subyek-politis yang dimaksud adalah implimentasi dari konsep intelektual kritis Said. Mereka yang bergerak bersama kelompok yang tidak terwakili dan sebagai korban dari  kekuasaan.

Jalauddin Rakhmat membedakan bahkan menganjurkan dalam melakukan analisis sosial perlu pembedaan yang jeli ikhwal masalah yang hendak diteliti. Kesalahan meletakkan masalah akan menimbulkan masalah yang lain. Seperti tidak tepatnya pengkategorian masalah yang dipilih. Apakah itu masalah individual atau sosial. Pertama, kita harus melihat problem itu dari segi Causes (sebab-musabab). Kedua, dari segi impact (akibat-akibat). Sebagai contoh: masalah kemiskinan bisa kita lihat sebagai maslah personal atau masalah sosial. Jika si A miskin sebab otaknya bodoh maka itu masalah personal. Akan tetapi, jika setelah digali-lagi bahwa penyebab kebodohan yang dialami oleh Si A bukan sebab ia malas belajar atau bukan sebab malas berpikir melainkan karena dirinya tidak mendapat akses pendidikan yang mana permasalahan serupa juga dialami oleh banyak orang dalam satu masyarakat maka hal itu tentu sudah menjadi masalah sosial. Pada persoalan personal itu tidak menjadi bagian dari perbincangan ini. Masalah sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu harus mampu ditangkap oleh mereka yang terdampak. Sebab itu penting demi mengikat keterlibatan mereka dalam collective action atau gerakan-gerakan sosial yang bisa merubah kehidupan mereka ke arah lebih baik. Entah mereka melakukannya dengan cara reform atau revolusi. Baiknya revolusi!

Jika dengan menggunakan role model logika “sebab-musabab” dan “akibat-akibat” sudah bisa ditangkap. Maka langkah berikutnya adalah mematangkan konsep kedua yakni social change atau ke arah perubahan sosial. Sebab ini adalah perubahan sosial maka mau tidak mau harus melibatkan perilaku kolektif dengan upaya-upaya penyadaran sosial. Tindakan kolektif untuk mengubah kondisi permasalah tersebut adalah collective action to solve social problems atau “rekayasa sosial”.

Kekuasaan dan Rekayasa Sosial

Negara dengan pelbagai aparatus state dan aparatus state ideologis kerapkali melakukan hal itu. Oleh karenanya, upaya untuk memberikan kritik tidak cukup pada sikap kritis yang membabi buta, kita harus kuat dalam diskursus teoritis dan analisis metodologi. Developmentalisme atau ideology pembangunan di era orde baru adalah fakta historis yang tidak bisa kita tepis. Perombakan habis-habisan tata pembangunan dengan jargon “Pembangunan nasional, stabilisasi, kesejahteraan umum” dan lain-lainnya. Pengahapusan MANIPOL USDEK sebagai garis-garis besar bahan pokok indoktrinisasi dan jalur revolusi nasional, lalu kemudian diganti dengan REPELITA adalah keniscayaan yang faktis. Negara memiliki kontrol yang kuat dan lebih luas daripada massa. Menggunakan pelbagai macam instrumen: serangkaian kebijakan, lembaga-lembaga sosial, kebudayaan, agama, dan sejenisnya. Kejahatan yang tidak pernah bisa dimaafkan oleh bangsa ini terhadap rezim orde baru adalah watak otoritariannya. Menggunakan sedemikian banyak taktik: jalur persuasif dan kekerasan tentunya adalah cara khas kekuasaan mengontrol mobilisasi kemajuan, sekali pun itu hanya sekadar kedok.

Merombak lajur pembangunan bangsa ini sama dengan berbelok arah ke arah yang ingin dicapai oleh segelintir elit orde baru. Di era orde baru, kebijakan swastanisasi menjadi alternatif untuk mencapai apa yang disebut pembangunan lepas landas. Menggunakan tenaga teknokrat –tinjau kembali catatan kaki dalam konsep Chomsky—seperti Sumitro, Mubyarto, dan mafia Barkeley lainnya, Indonesia membuka pintu seluas-luasnya bagi investor asing untuk menanamkan modal dalam pelbagai macam bidang usaha. Tentu World Bank dan IMF adalah tenaga donor yang paling antusias memberikan bantuan hutang pada Soeharto.

Dalih kesejahteraan dengan metode penanaman modal trickel down effect menjadi harapan akan datangnya terang bagi nasib bangsa. Sayang alih-alih rakyat sejahtera adanya malah jatuh sengsara. Bagai berharap munculnya matahari saat langit mendung dan banjir hujan. Tidak mungkin. Tetapi orde baru berhasil menggiring cara  berpikir kebanyakan orang-orang pada saat itu hingga 32 tahun lamanya. Tentu dengan pendisiplinan melalui ilmu pengetahuan dan seperangkat alat kuasa lainnya. Foucault menyebut istilah demikian dengan Govermentality (Disciplin & Punish: The Brith of The Prison, 1926). Pendisiplinan yang dilakukan oleh negara melalui kuasa ilmu pengetahuan dan legitimasi kekerasan adalah salah satu cara bagi negara untuk mengontrol cara berpikir dan bertindak kebanyakan orang-orang.  Sedangkan Gramsci menyebutkan bahwa negara beserta aparatus state adalah bagian dari alat kekuasaan yang otoritatif dan legitimate:

Negara adalah “kediktatoran + hegemoni”  Negara = political society + civil society, atau dengan kata lain hegemoni dilindungi oleh kekuatan koersif  “Negara meliputi kompleksitas aktivitas teoritis dan praksis, dengannya kelas yang berkuasa tidak hanya membenarkan dan memelihara dominasinya, tetapi juga mengatur untuk memenangkan persetujuan aktif dari kelaskelas yang dipimpin…” (Prastowo, 2008). Pandangannya yang tidak bersepakat dengan Marx bahwa diterminisme ekonomi (produksi dan reproduksi) menentukan suprastruktur. Bagi Gramsci tidak hanya lembaga ekonomi saja yang membuat kekuasaan itu memiliki legitimasi, melainkan lembaga-lembaga kebudayaan, pendidikan, agama dan sejenisnya turut membentuk pertalian trayektori kekuasaaan. (Selection from the Prison Notebooks, 1971)

Struktur dan sistem kekuasaan orde baru yang manipulatif tapi mengakar pada akhirnya berhasil membenamkan perilaku tunduk dan patuh pada kebanyakan orang. Terbiasa hidup dengan cara demikian menimbulkan apa yang dituliskan oleh Giddens:

Struktur berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang ditetapkan sebagai standar dan, dengan demikian, sangat berhubungan dengan institusionalisasi dan memberi bentuk pada pengaruh-pengaruh yang sangat dominan dalam kehidupan sosial (Giddens,1993:xx).

Berbeda dengan negara yang melakukan rekayasa sosial untuk melanggengkan kekuasaan. Rekayasa sosial yang dibangun oleh kalangan intelektual dan rakyat tertindas untuk merubah keadaan sosial yang membuat dirinya tersingkirkan, didiskriminasi, hidup dalam segala bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Tentu rekayasa sosial tidak hanya selesai pada tataran konseptual. Semisal untuk mengurangi angka kemiskinan di wilayah urban, maka harus dibukakan pintu yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengakses sumber produksi ekonomi sehingga mereka sama berdaulat dan egaliter dalam kehidupan berdemokrasi, melainkan harus menguatkan kolektivitas di internal grup mereka. Menguasai analisis aksi sosial menjadi bagian yang tidak bisa dilepas. Ada tiga tahap penting yang harus dipetakan terlebih dahulu:

  1. problem sosial: sebuah kondisi yang dialami oleh rakyat banyak yang dianggap tidak enak atau mengganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dapat dikurangi melalui upaya kolektif;
  2. perubahan sosial: terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi kelompok, lembaga, atau tatanan sosial yang penting, dan
  3. aksi sosial: tindakan kolektif untuk mengurangi atau mengatasi masalah sosial. (Rakhmat, 1999, hal. 82)

[1] Saya lebih suka menggunakan kata “subyek” daripada agen. Sebab istilah agen dalam diterminisme Anthony Giddens tidak sesederhana kita menangkapnya sejauh ini. dalam diskursus sosiologi modern agen bisa letakkan sebagai bagian dari rerangkai kuasa struktur yang mereproduksi kecenderungan dari sistem sosial. Ia pasih. Perilakunya tidak didorong oleh kesadaran motif melainkan dikondisikan oleh ketidaksadaran dan cenderung mekanis.

[2] Teknokrat adalah istilah khusus yang digunakan oleh Noam Chomsky yang bertolak dari lontaran kaum cendikiawan liberal Internasioanl di komisi Trilateral dalam kajian pada 1975 The Crisis of Democracy. Kalangan cindekiawan liberal memperluas konsep tentang intelektual yakni “intelektual teknokratik dan berorientasi pada kebijakan”. Sebuah kelompok pemikir yang mengkhususkan dirinya untuk menciptakan bahan indoktrinisasi pada kalangan pemuda, khususnya lewat bentuk-bentuk kebijakan pemerintah. Mereka adalah segerombolan elit yang berjabar erat dengan para penguasa. Munculnya intelektual Teknokrat, dalam artikel pendek Chomsky, adalah upaya untuk menepis gaya intelektual Prancis yag tertuang dalam “Manifesto Intelektual” pada tahun 1898 yang terinspirasi oleh surat terbuka Emile Zola berisi protes terhadap Presiden Prancis: menentang keputusan Presiden secara terbuka dimimbar pubilk. Memperjuangkan hak dan menuntut keadilan bagi Alfred Dreyfus. Para pembela Dreyfus meneguhkan gambaran para inteltual sebagai pembela keadilan yang melawan kekuasaan dengan keberanian dan integritas. (Who Rules the World?, hal. 2-10)

Selain bagan diatas, misi lain dari upaya melakukan rekayasa sosial adalah aksi massa. Gerakan turun jalan dengan memberikan pelbagai tuntutan yang jelas pada pelbagai macam institusi pemerintahan. Kita menyebutnya reform atau protest cause mendisiplinkan lembaga-lembaga negara yang menyimpang. Misalnya pemerintah atau Offending institutions (lembaga-lembaga yang mengganggu, yang berdosa dan sebagai penyebab masalah rakyat) (Rekayasa sosial: reformasi atau Revolusi, 1999). Reformasi dengan mengambil perubahan hanya terbatas pada beberapa institusi saja sangat berbeda dengan revolusi yang menghendaki perubahan total dan menyeluruh.  Dalam gerakan sosial perlu pembagian tugas agar tersusun dengan baik segala rencana dan mempermudah menempuh taktik dan strategi. Yaitu terdiri dari:

  • Change Agents terdiri dari dua subyek pertama, leader yang disebut tokoh. Kedua, Supporters.  Leader atau directors merupakan pengarah perubahan langsung yang berada di depan massa dan dibantu oleh advocates yang membantu dengan propaganda tulisan.
  • Backers: orang-orang yang backing pemimpin atau tokoh dan membantu menggunakan sumber daya seperti uang atau dengan fasilitas lain.
  • Administrator: orang yang hari demi hari bekerja mengatur rekayasa sosial ini secara administratif. Merekrut orang-orang untuk ikut gerakan, mendaftarkan mereka, mengatur keuangan dan sebaginya.
  • Suppoertes: Massa pendukung.

Sedangkan revolusi itu terjadi apabila sebagian besar dari komponen bangsa merasakan suatu gejolak krisis. Semua orang akan menuntut perubahan. Semakin menderita bangsa itu, makin ingin perubahan itu segera terjadi. Revolusi muncul sebagai stratgi terbaik (Rakhmat, 1999). Perlu dicatat gerakan sosial yang di bangun berdasarkan revolusi kecenderungannya menutup suatu era dan membuka era baru.  Secara singkat Revolusi ditandai dengan tiga hal: pertama, perubahan yang fundemental, komprehensif dan multidiensional, menyentuh inti tatanan sosial. Kedua, revolusi melibatkan massa yang besar dan dimobilisasikan serta bergerak dalam gerakan revolusioner. Ketiga, selalu melibatkan kekerasan dan koersi (1999).

Sepuluh Tahap Revolusi

  1. Intensifikasi kekecewaan, keluhan dan konflik karena krisis ekonomi atau keuangan. Krisis ini memukul paling berat kelas sosial yang justru sedang naik.
  2. Suara-suara kritis yang menuntut pembaruan, berbagai agitasi, suara-suara keras menentang rezim nulai muncul. Ada wacana protes di kalangan para cendekiawan. Sebuah kesadaran sosial –semangat revolusi—perlahan menyebar di tengah-tengah masyarakat.
  3. Rezim mulai kehilangan legitimasinya. Tidak bisa memberikan kontrol terhadap mobilisasi massa.
  4. Negara tidak bisa menggunakan alat pemaksa untuk mengatasi keadaan. Kelumpuhan negara. Ini memberikan peluang bagi kaum revolusioner untuk merebut kekuasaan.
  5. Rezim lama tumbang.
  6. Terjadi perpecahan di kalangan revolusioner yang menang: kaum konservatif ingin meminimalkan perubahan, Kaum radikal bergerak cepat, dan kaum moderat ingin perubahan gradual.
  7. Kaum reformis moderat menang. Mereka menjalin hubungan dengan kalangan administratif lama.
  8. Kaum radikal dan ekstrem mengeksploitasi frustasi yang meluas, memobilisasi massa, dan menggantikan kelompok moderat.
  9. Kalahnya kaum radikal akibat prilaku eksesnya dan diambil alih oleh militer yang merebut kekuasaan.
  10. Terjadi kestabilan pemerintahan dengan memfokuskan pada politik dan ekonomi.

Daftar Pustaka

Chomsky, N. (2017). Who Rules the World? Yogyakarta: Bentang.

Foucault, M. (1926). Disciplin & Punish: The Brith of The Prison. New York: Vintage Book’s.

Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks. New York: International Publisher.

Hoffer, E. (1988). Gerakan Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.                                                               

Justinus Prastowo. (2008, July 6). Pemikiran Gramsci tentang Negara dan Civil Society (1). Retrieved Maret 03, 2019, from Indoprogress.com: indoprogress.com/2008/07/pemikiran-gramsci-tentang-negara-dan-civil-society-1/

Prastowo, J. (2008, July 10). Pemikiran Gramsci tentang Negara dan Civil Society (2-. Retrieved Maret 03, 2019, from indoprogress.com: indoprogress.com/2008/07/pemikiran-gramsci-tentang-negara-dan-civil-society-2-selesai/

Rakhmat, J. (1999). Rekayasa Sosial: reformasi atau Revolusi. Bandung: Rosda.

Said, E. (1994). Representations of The Intellectual: the ReithLlectures. New York: Vintage Book’s.

Stoecker, R., & Stall, S. (2013). PENGORGANISASIAN KOMUNITAS ATAU KOMUNITAS. -Chicago: Northeastern Illinois University.

Syahri, M. (2015, September 03). Anthony Giddens dan Teori strukturasi. TUGAS MATAKULIAH PENUNJANG DESERTASI TEORI, pp. 1-32.

Toer, P. A. (1952). Peran Intelektual di Negara Dunia ke Tiga. kongres BEM FIS UI (pp. 1-5). Jakarta: -.

beras