Jelang Pemilu 2024, KIPP Kota Probolinggo Beberkan Kerawanan Netralitas ASN
Berita Baru, Probolinggo – Seperti yang kita ketahui bersama, Aparatur Sipil Negara (ASN) harus menjamin dan dijamin netralitasnya dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Hal ini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Dalam Undang-undang tersebut, juga diharuskan bawah ASN tidak hanya dilarang menjadi anggota partai politik. Namun, juga dilarang melakukan tindakan yang cenderung terlibat dalam politik praktispraktis terutama masuki tahun-tahun politik.
Penguatan itu, juga ditambah dengan adanya sanksi jika dibuktikan bahwa ASN melakukan tindakan tidak netral. Sanksi itu, mulai dari yang paling ringan hingga berat.
Seperti, penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun hingga pemberhentian tidak dengan hormat sebagai ASN. Kendati demikian, kenyataan di lapangan masih juga ditemukan praktek tidak netralitasnya ASN.
Atas hal, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kota Probolinggo menegaskan agar para ASN tetap menjunjung tinggi azas netralitas sebagai ASN khususnya di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo.
Menurut Ketua KIPP Kota Probolinggo Rahmad Soleh, dasar hukum penindakan ASN antara lain diatur pada Pasal 87 ayat 4 huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara yang menyebutkan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
“Atas hal itu, sanksi atas ancaman bilamana ditemukan ASN melakukan praktek tidak netral dalam Pemilu menjadi kewaspadaan bagi oknum ASN khususnya di Kota Probolinggo,” jelasnya Senin, 13 November 2022.
Lanjut Rahmad, pada pasal tersebut perlu penegasan kembali. Sebab, kendati ASN tidak sebagai anggota parpol namun belum mampu mencegah keberpihakan ASN terhadap calon kepala daerah.
“Atas hal itu, demi menjaga netralitas ASN, dibutuhkan aturan turunan berbentuk Peraturan Pemerintah. Di sinilah pentingnya kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin ASN,” tambah Rahmad.
Dalam PP tersebut, termuat pada Pasal 4 angka 15 PP No. 53/2010 yang menjaga asas demokratis bagi semua ASN.
“Yang rawan itu misalnya, pertemuan-pertemuan di rumah kepala dinas. Pertemuan yang dikiaskan dengan nama silaturahmi tapi mampu mengancam indepedensi atau netralitas ASN dalam pemilu,” tegasnya.
Atas hal, itu ia menegaskan kembali pada ASN agar benar-benar memahami PP No. 53/2010 yang didalamnya memuat ketentuan sanksi hukuman disiplin bagi PNS yang melanggar netralitas.
Diantaranya, penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat selama 1(satu) tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
Selain itu, ada sanksi berat diantaranya penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
“Termasuk kerawanan ASN tidak netral dalam penyelenggaraan pemilu seperti penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dari oknum pejabat setempat,” tambah Alumni S2 Ilmu Hukum Universitas Islam Malang ini.
Seperti, keberpihakan pada salah satu peserta pemilu dan/atau pemilihan melalui media sosial; kedua adalah terlibat dalam kampanye tertutup dan terbuka, ketiga adalah menguntungkan salah satu peserta dengan menggunakan fasilitas (ruangan) dari unit kerja untuk menggelar acara.
“Oleh karena itu, ini menjadi kewaspadaan bagi para ASN agar tetap netral. Terlebih lagi ada Bawaslu, Gakkumdu, maupun Lembaga Pemantau serta media massa yang ikut mengawasi jika ada ASN tidak nentral,”tandasnya.