Kepada Yth. Perempuan yang Melenyapkan Semua Inderanya
Entah bagaimana caranya, pada layar laptop yang kosong ini, tiba-tiba saja melintas seorang tokoh laki-laki. Tentu saja aku tak mengenalinya. Mendadak ia muncul begitu saja. Ia hanya diam dan menatapku dengan tatapan tak nyaman. Sepertinya ia sedang gelisah. Atau barangkali ia baru saja meloncat dari cerita orang lain. Entahlah. Tapi kemudian ia berkata, bahwa ia ingin menuliskan sebuah surat untuk seorang perempuan yang memilih melenyapkan semua indranya. Dan ia juga bilang, kalau ia percaya–walau ia tak tahu bagaimana cara mengirimkannya–suratnya akan sampai kepada perempuan itu. Maka dalam cerita pendek ini, aku tak perlu bertanya apa-apa kepadanya. Aku hanya perlu menyulut sebatang rokok, menyeruput kopi, dan menyaksikan bagaimana ia melakukan aksinya. Sebab katanya, ia hanya ingin menulis suratnya sendiri.
Adakah yang lebih sedih dari sepasang kekasih yang berpisah dalam keadaan masih saling mencintai? Kau tahu, di antara kita, tak ada yang benar-benar pergi sebenarnya. Setiap detik adalah kenangan. Segala peristiwa akan abadi dalam ingatan. Dan sekali lagi, di antara kita, tak ada yang benar-benar bisa untuk saling melupakan. Walau kutahu, kau tak akan tinggal diam. Kau akan selalu melakukan apa saja hanya demi menghapus ingatan tentang kita. Karena memang begitulah perempuan. Aku tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak menyalahkan keadaan. Atau agama. Tidak. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku pun tidak menyalahkan apa-apa. Hanya saja, kau tahu, kita sudah terlanjur menyelam terlalu dalam.
Tidakkah kau berpikir tentang apa yang sedang hidup di dalam perutmu sebelum kau memilih untuk melenyapkan semua indramu? Tidakkah kau berpikir bahwa masih ada sesuatu yang bisa kita rawat selain kenangan yang suram? Aku tidak mengerti dengan pilihanmu itu. Semua indra itu dengan tega kau kerat hanya untuk menghapus kenangan kita? O, sungguh jika aku boleh berkata kasar sekarang, itu adalah tindakan bodoh! Sebab sekuat apapun usahamu, sekuat apapun tenaga yang kau keluarkan, kau lupa satu hal bahwa otakmu masih bekerja. Kau tahu, kenangan dan ingatan itu seperti belatung yang terus menggerogoti isi kepalamu. Selama kau masih hidup, kau tak mungkin akan lupa. Untung saja kau tidak memilih untuk menghancurkan kepalamu.
Karena rokokku sudah tandas dan cukup lama ia tidak menulis lagi, maka aku bertanya kepadanya:
Sudah selesai?
Haloo… hai… apakah sudah selesai?
Belum!
Tapi kenapa kau berhenti menulis?
Sebentar.
Baiklah.
Aku ingin bertanya kepadamu.
Apa itu?
Adakah yang lebih sedih dari sepasang kekasih yang berpisah dalam….
Oh, pertanyaanmu di awal suratmu itu?
Ya. Benar.
Kau terlalu sentimentil. Banyak yang lebih sedih dari itu.
Apa?
Buntu menulis, tulisan tidak dimuat-muat juga, atau honor yang tidak cair-cair. Kau tahu, itu lebih menyakitkan daripada kisah-kisah sedih lainnya.
Kau juga terlalu sentimentil.
Aku hanya diam. Dan ia melanjutkan menulis suratnya lagi.
***
Untukmu yang tak pernah ingin meninggalkan kota yang katamu telah hilang tiga perempat bagian, kutulis surat ini dengan bagian-bagian yang masih kuingat baik-baik. Tentang sebuah rumah lantai tiga berwarna biru yang dulu pernah kita kontrak, di mana dua kursi panjang di beranda itu kini sudah berdebu, namun di situlah pada saat itu kita sering menyaksikan anak-anak kecil bermain. Saling menyelami kedalaman pikiran masing-masing, bahwa dulu kita pernah memiliki mimpi yang sama: ingin mempunyai anak kembar. Kau tahu, itu adalah ingatan yang paling melekat di kepalaku. Terlebih ketika waktu itu kau mengatakan bahwa kau positif hamil. Aku bahagia walau hubungan kita di luar pernikahan. Entahlah kenapa tiba-tiba setelah kabar kehamilanmu itu menyebar, hubungan kita semakin memburuk. Padalah kita sama-sama tahu, bahwa kita saling mencintai satu sama lain. Dan setelah persoalan itu dibesar-besarkan oleh kedua orangtuamu, secara terang-terangan mereka mengatakan bahwa aku telah merusak kehidupanmu dan mencoreng agamamu. Dan kau tahu, nyawaku jadi taruhannya jika aku masih mendekatimu. Tentu saja bagian ini belum kau ketahui. Maka aku menulis surat ini. Aku menulis kebenaran ini.
Dan kau tahu kelanjutannya, kita akhirnya berpisah tanpa saling menatap mata. Kita berpisah tanpa mengucapkan kata selamat tinggal. Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Kabar mengerikan itu datang kepadaku, kau nyaris gila setelah melenyapkan semua indramu. Kau memilih untuk menghapus semua ingatan tentang kita…
Untukmu yang sedang jauh dari jarak pandang, bagaimanapun kondisimu sekarang, kau perlu tahu, aku masih mencintaimu. Bahkan aku semakin mencintaimu. Sebab dari rahimmu akan muncul satu kehidupan baru, yang barangkali suatu saat nanti akan menyatukan kita kembali. Surat ini mungkin akan sampai kepadamu. Tapi aku tahu bahwa kau tak mungkin bisa membacanya, terlebih mendengarnya. Maka harapanku satu-satunya ada pada anak yang sedang tersenyum di dalam perutmu itu. Semoga kelak ia membacanya, dan mengetahui kebenarannya….
Pada bagian ini, layar laptopku tiba-tiba menjadi berembun. Oh, apakah tokoh laki-laki yang sudah menghilang dan belum kuketahui namanya itu baru saja meninggalkan bekas air matanya? (*)
*Cerita ini terinspirasi dari cerpen Chikma W. Putri yang berjudul, Perempuan Nyaris Gila di Kota yang Hilang Tiga Perempat Bagian.
ALIF FEBRIYANTORO, lahir di Situbondo, 23 Februari 1996. Buku-bukunya antara lain, 60 Detik Sebelum Ajal Bergerak (Kumpulan cerpen, 2017), Romila dan Kutukan Ingatan (Kumpulan cerpen, 2019), dan Sebelum dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah Perpisahan (Kumpulan cerpen, 2020).
I really like what you guys are up too. This sort of clever work and reporting!
Keep up the fantastic works guys I’ve incorporated you guys
to our blogroll. Maglietta Lazio Bambino Poco Prezzo MitziOrho fotballdrakter barn LovieGlyd