Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kiai Dardiri: Banyak Problem HAM di Sumenep

Kiai Dardiri: Banyak Problem HAM di Sumenep



Berita Baru, Sumenep – “Data yang dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) di tahun 2021 memang sedikit. Tapi bukan berarti pelanggaran HAM di Sumenep tidak ada. Seolah-olah tidak ada pelanggaran sehingga Sumenep dikenal kabupaten yang sejuk,” ucap Kiai A Dardiri Zubairi, Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep.

Dalam kegiatan yang bertajuk ‘Penegakan HAM Melaui Sinergi dengan Stakeholders Komnas HAM’ Kiai Dardiri mengatakan, Kabupaten Sumenep terdapat beberapa problem yang tidak diketahui oleh media nasional, termasuk persoalan HAM. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Lembaga Penyuluhan dan Pendampingan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Sumenep di aula PCNU setempat, Kamis (31/03/2022).

Dalam kurun waktu enam tahun, Kiai Dardiri bersama Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) bergulat di isu-isu agraria. Sebab potensi konfliknya sudah terasa. Menurutnya, hak memperoleh pendidikan dan standart hidup yang layak perlu diperhatikan. Karena di tahun 2021, ada penanganan kemiskinan ekstrem di 25 desa.

“Dari 25 desa di Sumenep itu, jumlahnya total sebanyak 1929. Sayangnya kami belum memiliki data  pasti, apakah berbasis KK atau NIK,” terangnya kepada NU Online.

Kondisi itu semakin diperparah dengan berbagai ekspansi pemodal besar yang mulai menghabisi lahan-lahan warga di pedesaan, khususnya di daerah pesisir. Kiai Dardiri menengarai hal itu ada hubungannya dengan pemilik kebijakan secara struktural yang lebih memihak pada pengusaha besar yang terasa sekali mulai tahun 2016.

“Kami tidak tahu, apakah kasus ini masuk dalam kategori HAM atau tidak? Karena masyarakat mengalami kesempitan dalam ruang hidupnya untuk memperoleh akses ekonomi. Misalnya, akses nelayan untuk memanfaatkan sumber penghidupannya mulai terganggu. Dan ini tidak ada yang melaporkan. Mohon maaf, data ini masih belum kuat,” sergahnya.

Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura itu menyayangkan peraturan daerah memperbolehkan tambak udang di daerah pesisir. Bahkan tidak pernah dikonsultasikan pada publik. Padahal, ia melanjutkan, masyarakat juga punya hak yang sama.

“Tahun 2015 mulai dibangun tambak udang di sepanjang pesisir. Selain membunuh akses nelayan, limbahnya dibuang ke laut. Apakah mengantongi surat izin lingkungan? Apakah ada sosialiasi pada warga tentang Amdal? Apakah air resapan limbah akan berdampak pada resapan tanah? Rata-rata melibatkan kekuatan pemerintah secara struktur,” keluhnya.

Secara faktual, banyak perkebunan warga di sekitar tambak tidak subur, bahkan cemara udang yang menjadi ikon masyarakat pesisir banyak yang mati. Tak hanya itu, masyarakat Madura mulai melepaskan tanah warisannya. Yang dulunya ada persepsi bahwa menjual tanah sangkolan (warisan) akan mendatangkan malapetaka, ternyata mereka melepaskannya.

“Tanah warisan bagi masyarakat Madura harus dikelola, dirawat, atau dijadikan tempat kuburan keluarga besar. Wajar warga lokal mengartikannya sebagai bertemunya ruang orang hidup dengan orang yang sudah meninggal,” terangnya.

“Kasus agraria jarang tampak. Kasus Wadas menasional, karena adanya solidaritas dan dukungan organisasi, sehingga menjadi isu nasional,” imbuh Kiai Daridiri.

Dirinya menyayangkan, kasus ini menimbulkan korban. Salah satu bukti, ada seorang warga yang jatuh di kubangan limbah tanpa diberi papan informasi dan sosialisasi. Sedangkan informasi di media, korban jatuh murni karena kecelakaan.

“Jika tambak udang itu mengancam fosfat, maka masyarakat akan krisis air. Kebijakan ini harus dikonsultasikan dengan pemangku pesantren, NU dan Muhammadiyah. Warga jangan terjebak pada isu-isu yang ada di Jakarta. Jangan-jangan itu pengalihan sehingga lupa pada kasus ini,” tambahnya.

Mantan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Sumenep itu menyebutkan, kasus Migas tidak hanya dilakukan dengan aksi demo satu kali saja. Karena masyarakat nelayan mulai resah.

“Saat itu teman-teman kebingungan. Kali ini, Komnas HAM yang hadir ke Sumenep dan bisa bersinergi dengan LPBHNU. Kami berharap ke depan ada akses pengaduan,” tandasnya.

beras