Menakar Power Negara dan Civil Society Pascapandemi
Opini— Virus Corona atau Covid-19 muncul pada pertengahan Desember 2019 di Wuhan, China. Virus ini menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai. Bahasa corona berasal dari bahasa latin yang berarti Mahkota. Nama tersebut muncul karena virus tersebut jika diobservasi lewat mikroskop bentuknya akan seperti mahkota.
Semenjak virus ini menyebar di berbagai belahan dunia, World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia yang merupakan salah satu badan PBB yang bertindak sebagai koordinator kesehatan umum internasional menetapkan virus Corona menjadi status pandemi global pada pertengahan Maret 2020 lalu.
Pada hari ini, jika kita menganggap pandemi Covid-19 hanyalah problem biologi, medis, kedokteran dan kesehatan semata, maka akan menjadi suatu kesalahan yang besar. Mengapa begitu? karna tanpa survei pun, kita dapat melihat dengan mata telanjang bahwa musibah ini sangat berdampak pada aktivitas ekonomi, budaya bahkan kehidupan politik nasional.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan dalam waktu dekat? Saya menyatakan bahwa kita perlu muhasabah kehidupan nasional secara besar-besaran.
Ketika pandemi Covid-19 ini berakhir di negara kita, siapa yang akan lebih kuat antara kekuatan Negara dan Civil Society? Tentu saja keduanya akan keluar dari pandemi ini. Ketika peraturan PSBB dan Physical Distancing sudah dihapus. Manakah yang akan mendominasi? Apakah negara yang akan lebih kuat atau justru Civil Society. Apabila nantinya Civil Society lebih kuat maka dapat diprediksi akan terjadi kudeta. Namun, jika negara lebih kuat, tidak menutup kemungkinan cukong dan oligarki semakin mengakar di republik ini. Banyak kemungkinan dan dampak yang perlu kita prediksi dan perhitungkan ke depan.
Di sisi lain, struktur masyarakat kita akan berubah ke arah yang lebih pragmatis karena ditundukkan oleh perkembangan teknologi. Tidak hanya itu, teknologi juga menggerus kesadaran kritis gerakan Civil Society, terutama mahasiswa. Teknologi menjelma menjadi tempat wisata baru, sehingga tradisi kajian filsafat, sejarah dan teori kritis telah diokupasi atau dirampas oleh vitur-vitur kekinian yang menyenangkan, sehingga aktivis kehilangan elan vital kritisnya sebagai mitra kritis pemerintah dalam menuntaskan isu-isu kemanusiaan.
Sebelum pandemi meledak, sikap yang hilang dari pemakaian teknologi adalah kritisisme humanistik. Padahal, tujuan awal penciptaan teknologi sebagai bagian tidak terpisah membangun humanisme namun dalam perkembangan sejarah teknologi menjadi represif dan merusak.
Pemakaian teknologi, kritik lingkungan, konflik kepentingan, peran perusahaan, kelompok miskin kota, petani, buruh dan mahasiswa. Ini merupakan poin penting yang harus kita uji pascapandemi ini. Suatu problem yang dimungkinkan memunculkan karakter baru dari masyarakat kita– tapi entah siapa penggagasnya –Jika gerakan mahasiswa sendiri masih diam.