Menteri Perdagangan Klaim Petani Untung Harga Cabai Tinggi, Petani: Tetap Rugi
Berita Baru, Jakarta – Lonjakan harga cabai rawit sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir. Saat ini cabai rawit di tingkat konsumen sudah mencapai Rp100.000 per kilogram. Bahkan di beberapa daerah seperti Kalimantan harga cabai rawit mencapai Rp130.000/kg.
Padahal di periode normal, harga cabai rawit hanya kisaran Rp30.000/kg. Keluhan warga terkait harga cabai rawit yang melambung tinggi ini sudah didengar oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Namun pria yang akrab disapa Zulhas itu mengklaim, ketersediaan stok cabai di dalam negeri masih cukup. Karena itu, kata dia, Kemendag masih membiarkan harga cabai melambung agar bisa dinikmati petani cabai.
“Kadang-kadang utang nggak bisa dibayar, wajar dong petani sekali-sekali dapat bonus [dari kenaikan harga]. Stok [cabai saat ini] ada, [masih] cukup,” kata Zulhas di Press Room Kemendag, Jumat (24/6/2022).
Zulhas memastikan, meskipun harga cabai rawit saat ini tengah melambung tinggi, Kementerian Perdagangan tidak akan mengizinkan permohonan impor cabai. Sebab, kata dia, cabai merupakan komoditas yang dapat diproduksi di dalam negeri.
Namun klaim Zulhas tak sesuai fakta di lapangan. Wardi, petani cabai asal Dusun Gangsir, Desa Cinandang, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto, mengaku tetap merugi. Ia menuturkan bahwa mahalnya harga cabai rawit tak berbanding lurus dengan para petani.
Sudah puluhan tahun menjadi petani cabai ini mengaku tetap mengalami kerugian meskipun harga cabai rawit melonjak drastis belakangan ini.
“Tetap rugi, karena kenaikan harga ini tidak saat panen raya beberapa bulan lalu. Panen terakhir, bulan Februari tapi kenaikan harganya baru pertengahan bulan ini,” kata Wardi, Selasa (28/6/2022)
Wardi mengungkapkan, pada musim panen raya bulan Februari 2022 lalu, harga cabai rawit di tingkat petani hanya Rp 3.500 perkilogram. Sehingga ia dan banyak petani lainnya yang sengaja membiarkan buah cabainya layu dan membusuk di ladang.
“Ya saya biarkan, karena harga cabai saat panen raya itu cuma Rp 3.500 perkilogram. Tidak cukup untuk balik modal saja,” ungkap petani berusia 41 tahun ini.
Untuk kebutuhan tanam dan sekali perawatan saja, kata Wardi, dibutuhkan biaya sebesar Rp 500 ribu untuk ukuran lahan seluas 200 bata atau sekitar 2.500 meter persegi. Padahal, tanaman cabai rawit membutuhkan minimal 4 kali perawatan sejak awal tanam hingga panen.
“Dihitung saja, sekali perawatan habis kurang lebih Rp 500 ribu, karena waktu tanam pupuk mahal, barangnya juga sulit, beli pupuk urea saja harus gantian. Mulai tanam sampai panen butuh 4 kali perawatan, jadi total sekitar Rp 2 jutaan modalnya,” ungkap Wardi.
Itungan itu, lanjut Wardi belum termasuk tenaga yang dikeluarkan. Karena lahan yang tidak terlalu luas, Wardi pun memilih merawat tanaman cabainya sendiri. Sehingga selain rugi secara finansial, Wardi juga merasa rugi dari sisi waktu dan tenaga.
“Ya begitu, selalu siklusnya kalau panen raya harganya jatuh sekali, habis panen baru naik. Cabai kan kalau disimpan terlalu lama juga tidak bisa,” ujar bapak dua anak ini.
Sementara petani lainnya, Didit mengatakan, meski tak untung namun petani asal Desa Brayublandong, Kecamatan Dawarblandong ini mengaku bisa balik modal lantaran harga cabai yang mengalami kenaikan. Sebab, ia memilih tetap merawat tanaman cabainya meski saat panen raya harga cabai anjlok.
“Ya, cuma balik modal saja. Karena akhir-akhir ini harga cabainya naik drastis. Kebetulan waktu harga cabai murah pas panen raya itu, tanaman cabai saya tetap saya rawat, jadi ini sisa-sisa panen saja,” kata Didit.
Menurut Didit, saat ini harga cabai rawit di tingkat petani mencapai Rp 70-80 ribu perkilogram. Harga ini jauh dari saat panen raya. Didit mengungkapkan, kenaikan harga cabai ini sebenarnya sudah terjadi sejak bulan April atau saat awal puasa.
“Jelang Lebaran itu sudah naik, karena harganya Rp 38 perkilogram, nah sekarang sudah Rp 80 ribu. Memang biasa begini, habis panen raya harganya naik, pas panen raya jatuh,” ucap pria berusia 37 tahun ini.
Problem Serius Distribusi
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IPPI). Mereka beranggapan Zulhas sudah salah berlogika. Sebab, lonjakan harga cabai tidak selalu berhubungan langsung dengan keuntungan yang akan diterima petani. Seharusnya Zulhas mencari sumber masalah dari lonjakan harga suatu komoditas.
“Kami sangat menyayangkan pernyataan Menteri Perdagangan Bapak Zulkifli Hasan. Entah itu diniatkan guyonan atau tidak, namun hal tersebut tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang menteri, jangan hibur pedagang atau petani dengan logical fallacy atau kesalahan berlogika,” kata Wasekjen Ikappi Bidang Pembinaan Pasar dan Pendidikan Pedagang Pasar, Ahmad Choirul Furqon.
Berdasarkan informasi yang didapatkan Ikappi, petani di sejumlah daerah yang mengalami penurunan panen imbas tingginya curah hujan tidak ikut mendapat keuntungan di tengah tingginya harga cabai rawit saat ini.
“Mereka mengatakan harga dari petani normal, bahkan tidak ada kenaikan yang signifikan,” ujar dia.
Furqon menjelaskan, saat ini harga cabai di sejumlah daerah masih tinggi. Berdasarkan penelusurannya, lonjakan harga cabai rawit terjadi karena panjangnya rantai distribusi.
“Jadi kalau terjadi kenaikan harga yang tidak rasional, berarti ada masalah besar di jalur tengah yaitu rantai distribusi pangan,” kata dia.
Permasalahan tersebut seharusnya bisa diatasi bila ada sistem pengiriman pada daerah yang surplus ke defisit. Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menjelaskan, perlu pembenahan tata kelola pertanian dan distribusi cabai rawit, agar permasalahan ini tidak berulang.
“Kenapa di petani rendah? Ya banyak waktu, awal tahun itu problem awalnya kan karena oversupply sementara, demand belum tinggi ya, itu harga sudah cenderung lebih rendah. Karena cabai keriting, cabai merah dan sebagainya ini tidak disimpan ya, karena kebutuhan masyarakat kita cenderung menggunakan cabai yang segar. Kalaupun ada, ya simpan yang kering. Itu, kan, enggak cocok untuk konsumsi sehari-hari ya, untuk masak,” kata Tauhid kepada reporter Tirto, Kamis (30/6/2022).
Selain itu, kata Tauhid, perlu pembenahan dari sisi distribusi yang harus diperbaiki. Dari kondisi ini seharusnya petani bisa menikmati kenaikan harga tinggi. Namun karena struktur distribusi, terutama untuk produk hortikultur itu sudah sistemik dan memiliki rantai terlalu panjang, maka meskipun ada kenaikan harga di hilir cenderung tidak terasa di hulu.
“Marjin pengangkatan dan pengangkutan cabai ya ada di BPS itu 25 persen ya, itulah menggambarkan situasi rantai yang cukup panjang untuk beberapa komoditas,” kata Tauhid.