Menyandingkan Kajian Bahasa dan Sastra, Universitas Mataram Gelar Kolokium
Berita Baru, Mataram —Institut Riset Nusantara Yayasan Sentra Kajian Pembangunan Insani bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Mataram selenggarakan Kolokium Berseri.
Seri ketiga ini mengangkat tema “Bahasa, Sastra, Nasionalisme, dan Keindonesiaan Merawat Bahasa Menyelamatkan Bangsa” dengan sub bahasan ke-4 “Membangun Kemandirian Bangsa Melalui Penguatan Peran Bahasa dan Sastra” pada Sabtu, (10 /08 /2022).
Dimoderatori Wika Wahyuni, M.Pd., Kolokium Berseri menghadirkan Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M. Hum, dari UNJ dan Prof. Dr. Mahsum, M.S., dari Universitas Mataram yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting.
Novi berbicara mengenai “Sastra dalam Konteks Keindonesiaan”. Paparan yang disampaikan meliputi, pandangan umum mengenai keindonesiaan, sastra dalam konteks keindonesiaan, keindonesiaan dalam buku Sastra Pariwisata, Sastra Rempah, dan Sastra Maritim, sastra menyuarakan keindonesiaan memasuki abad digital, dan terakhir penutup.
Secara leksikal keindonesiaan berarti ‘hal atau keadaan Indonesia’ beragam cara pandang dan perspektif mengenai Indonesia.
“Keindonesiaan merupakan abstraksi beragam bidang yang berkaitan dengan Indonesia, seperti sejarah, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, teknologi, religi, sosial, budaya, bahasa, geografi, kesenian, olahraga, kriminalitas, kependudukan, ideologi, seni, termasuk sastra,” jelas Novi.
Pengalaman mengedit dan memublikasi kajian sastra tematik dalam buku Sastra Pariwisata (2020), Sastra Rempah (2021), dan Sastra Maritim (2022) memperkaya pandangan mengenai keindonesiaan.
“Beragam fenomena yang menjadi tema utama atau sampingan dari kajian tematik Sastra Pariwisata, Sastra Rempah, dan Sastra Maritim, seperti sejarah, perdagangan, kekerasan, politik, pembunuhan, ketidakadilan, diplomasi, religi, kolonialisme, pertanian, kekuasaan, migrasi, potensi alam, dan penjajahan,” papar Novi.
Dalam tema sastra pariwisata, Novi menyampaikan lima tema, yaitu cerita rakyat Roro Jonggrang, novel Cintaku di Lembata, “Putri Mandalika”, puisi nisan di Aceh, dan legenda Sri Tanjung Sidopekso. “Kelima tema cerita tersebut berpotensi ditempatkan sebagai basis pengembangan industri kreatif untuk mendukung pengembangan pariwisata dan sebagai bagian dari destinasi masal atau minat khusus,” ujar Novi bersemangat.
Tema sastra rempah, dibahas enam subbidang, yaitu potensi dan pemanfaatan rempah yang tersimpan dalam naskah klasik, potensi penghasil rempah Nusantara, pemanfaatan rempah, diplomasi rempah lada, pengembangan tradisi lisan rempah, dan tradisi minum jamu pada masyarakat Bangkalan. “Beragam subtema tersebut menginspirasi untuk ditindaklanjuti dengan penelitian dari segi budidaya, pemasaran, dan pemanfaatannya untuk keperluan pengobatan, kuliner, dan kosmetik,” jelas Novi.
Tema sastra maritim diuraikan ihwal novel Suara Samdra, pengembangan ekowisata bahari, mantra laut, dan novel Laskah Pelangi. “Novel Samudra memfokuskan pada tradisi menangkap ikan paus di Lamalera yang merepresentasikan kepiawaian dan kesucian lamafa, yaitu nelayan yang bertugas menusuk paus yang menjadi sasaran, sedangkan pengembangan ekowisata bahari dirancang sebagai wisata minat khusus dalam rangka studi dan penelitian bidang sejarah, budaya, sastra, dan religi,” ujar Novi.
Uraian berikutnya, berupa kemungkinan pengembangan sastra melalui beragam alih wahana dan pengembangannya dengan memanfaatkan teknologi digital.
Geosastra: Kolaborasi Studi Sastra dan Bahasa
Mahsun sebagai pakar linguistik historis komparatif menawarkan sebuah pendekatan dalam studi sastra dengan mengombinasikan dan mengimplementasikan paradigma bidang linguistik ke dalam studi sastra.
“Kolaborasi bidang bahasa dan sastra dimungkinkan karena sastra menggunakan medium bahasa yang memiliki kaidah-kaidah ketat,” ujar Mahsun.
Mahsun menyampaikan paparan berjudul, “Membangun Kemandirian Bangsa melalui Penguatan Peran Bahasa”. Pakar linguistik historis komparatif dari Universitas Mataram ini telah melakukan penelitian-penelitian yang hasilnya diformulasikan dalam bentuk buku yang ditulisnya. Puluhan buku yang ditulisnya menjadi rujukan kalangan akademisi bidang linguistik di Indonesia.
“Terdapat tingkatan budaya mulai dari yang abstrak berupa pikiran, sistem sosial, sistem kepribadian, dan yang paling konkret adalah sistem tingkah laku yang dapat dibedakan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal,” ujar Mahsun.
Dengan mengutip pandangan Sapir dan Worf, Mahsun menjelaskan bahwa bahasa bukan hanya sebagai unsur kebudayaan, akan tetapi sekaligus sebagai pembentuk kebudayaan, wadah, wujud kepribadian, dan sistem sosial. Bahasa sebagai penyimpan kebudayaan memiliki relevansi dengan peranannya sebagai kearifan lokal dan pembangun karakter.
“Tindakan verbal memiliki kesejajaran dengan yang nonverbal,” ujarnya.
Ia mencontohkan dalam bahasa Jawa ketika mengucapkan, “Ndherek langkung!” dan sambil membungkukkan badan akan menjadi pengetahuan penutur yang terlibat dalam peristiwa tutur.
Selanjutnya Mahsun yang memiliki beragam data dari beragam bahasa daerah mencontohkan leksikon-leksikon yang merepresentasikan cara berpikir, tindakan, dan beragam gejala yang merepresentasikan identitas dan karakteristik masyarakat pendukungnya.
Selesai paparan kedua narasumber dilanjutkan dengan tanya jawab yang berlangsung interaktif dan dialogis. Hingga akhir pertemuan sebagian besar dari 175 peserta masih bertahan hingga akhir.