Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Partisipasi dan Hambatan Strukturasi Bunga Demokrasi

Partisipasi dan Hambatan Strukturasi Bunga Demokrasi



oleh: Royin Fauziana
(Staf Humas Bawaslu Jawa Timur yang juga Mahasiswa Pascasarjana Universitas Jember)

Opini Yang tersisa dari perhelatan pemilu 2019 adalah cerita tentang keterlibatan perempuan dalam turut serta mengawasi pemilu. Baik itu petugas aktif, maupun yang menjadi pemantau. Partisipasi menjadi salah satu kunci dari suksesnya mengawal pemilu. Sebagaimana jargon Bawaslu: Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu. Bagaimana dengan partsipasi perempuan pada pemilu tahun 2019?

Salah satu ruang partisipasi yang diharapkan dapat meningkat adalah keterlibatan perempuan dalam mengawal demokrasi. Perempuan menjadi elemen penentu dari sebuah negara. Dalam literatur keislaman disebutkan bahwa perempuan merupakan tiang negara. Semakin kuat perempuan, maka akan semakin kokoh sebuah negara.

Dalam laporan USAID, keterlibatan perempuan sangat penting mengingat bahwa populasi perempuan sebagai pemilih lebih separuh pada pemilih pada umumnya. Di Indonesia, jumlah perempuan mencapai angka 96.557.044 pemilih. Lebih besar daripada jumlah pemilih laki-laki yang hanya 96.271.467 pemilih.

Kedua, pemilu akan menghasilkan anggota legislatif dan eksekutif yang menentukan terhadap hajat orang banyak. Teramasuk juga undang undang tentang perempuan nantinya diperoleh dengan representase perempuan atau DPR yang peduli terhadap isu perempuan. Dalam pemilu tahun 2019 lalu tingkat keterpilihan perempuan dalam legislatif belum sampai 20 persen. Walaupun hal ini menjadi tren mengembirakan, namun tetap saja presentase perempuan belum sepenuhnya bisa sesuai dengan ekspektasi.

Masalah tingkat partisipasi perempuan masih cukup rendah. Baik itu sebagai pengawas pemilu maupun terlibat sebagai pemantau pemilu. Dari data yang dimiliki oleh Bawaslu Jatim, jumlah perempuan yang menjadi pengawas kecamatan 212 orang (10,6%), pengawas desa/kelurahan 1.590 orang (18,7%) dan pengawas TPS sebanyak 45.936 orang (35,2%).

Dari sedikitnya partisipasi perempuan membuat kita layak bertanya perihal hambatan yang menyebabkan perempuan masih rendah tingkat keterlibatannya. Selayaknya hal ini menjadi bahan evaluasi untuk segera dibenahi. Khususnya bagi pembuat regulasi. Karena senyatanya Bawaslu merupakan lembaga yang hanya melaksanakan undang undang semata. 

Terhadap fakta lapangan perihal rendahnya partisipasi perempuan dalam mengawasi pemilu, menjadi penting untuk menganalisa dengan menggunakan kerangka teoritik dari Antony Giddens dalam menganalisa persosial sosial dengan membagi dalam dua hal; masalah agensi dan struktur. Giddens melihat perihal faktor individu dan struktur adalah dua hal yang sulit dipisah keduanya. 

Problem Agensi 

Perihal masalah agensi, atau faktor lemahnya keterlibatan perempuan secara pribadi untuk berpartisipasi mengawasi pemilu dapat dianalisa karena masih lemahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perempuan untuk terlibat dalam dunia pengawasan pemilu.

Tingkat pendidikan yang rendah, rapatnya ruang untuk mengejar pendidikan menjadi pendorong yang lengkap untuk menenggelamkan perempuan dalam wilayah publik. Sebaran daerah di Jawa Timur yang berada di desa menyebabkan kualitas perempuan dalam awasi pemilu juga tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar dan sesuai dengan ekspektasi.

Ada masalah pendidikan yang tampaknya juga harus diperhatikan. Pendidikan yang rendah, skill yang belum mumpuni bertamali dengan partisipasi perempuan untuk aktif mengawasi pemilu. tanpa pendidikan yang setara, maka perempuan akan sulit terlibat dalam kerja kerja demokrasi.

Apalagi masih terdapat anggapan bahwa ruang pengawas pemilu merupakan ruang yang cocok hanya untuk laki laki semata. Bawaslu bagi sebagaian perempuan dianggap sebagai lembaga yang maskulin. Dunia pengawasan yang juga sebagai pengadil sepertinya hanya dikooptasi dan pantas dimiliki oleh laki laki semata. 

Pada derajat akhirnya, pola dan masalah agensi memiliki korelasi dengan lemahnya sumber daya perempuan untuk menjadi pengawas pemilu. disamping juga tuna kesadaran bahwa pemilu menjadi suatu agenda yang penting untuk menentukan hajat hidup orang banyak. 

Pola Sumbatan Struktural

Penelitian yang dilakukan oleh Khofifah Indar Parawansa tahun 2002 tampaknya masih relevan dalam konteks sosial yang terjadi hari ini. Khofifah Indar Parawansa menganalisa tentang Hambatan Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa hambatan paling utama adalah masalah dalam kultur dan struktur. Problem perempuan banyak memiliki masalah seputar masalah keluarga, ekonomi, dan juga perihal kemampuan perempuan yang memiliki kecocokan dengna dunia domestik.

Pasca penelitian ini, sekitar tahun 2008 lahir Undang Undang tentang kouta 30 persen bagi partai politik dalam mengajukan wakilnya. Namun Undang Undang perihal kouta partisipasi perempuan belum menyentuh terhadap pengawas pemilu ad hoc. 

Ruang yang tersumbat dan belum ada payung hukum yang jelas menjadi salah satu tuduhan terhadap lembaga ini yang juga berpotensi belum mendorong perempuan untuk terlibat dalam dunia pemilu. Hal ini bertemali dengan kondisi dan situasi perempuan yang masih dipinggirkan secara budaya, politik dan ekonomi. Analisa Mansour Fakih menyebutnya sebagai ketidakadilan gender manakala ada marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam putusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif dan sebagainya.

Pada wilayah sosio kultural, terdapat hambatan dalam keluarga akibat perjanjian kerja yang sepenuh waktu, hingga terbentur pada kultur patriarkhi yang kuat. Patriarkhi ditopang oleh basis agama yang meletakkan perempuan dalam wilayah domestik semata. Hal ini mempengaruhi keputusan perempuan untuk terlibat menjadi pengawas pemilu.

Temuan di lapangan menunjukkan sejumlah sumbatan mengapa perempuan tidak dipilih/tidak memilih menjadi pengawas pemilu. Di Kabupaten Pasuruan misalnya. Ada penolakan dari pengawas kecamatan (panwascam) untuk memasukkan nama-nama perempuan menjadi pengawas desa/kelurahan atau pengawas TPS, dengan alasan rendahnya kapasitas mereka. 

Sementara di Kabupaten Nganjuk, para perempuan enggan mendaftar sebagai pengawas pemilu ad hoc karena kultur kerja di Bawaslu dianggap tidak adaptif terhadap beban kerja domesik perempuan. Rapat-rapat yang berlangsung hingga dini hari, dinilai tidak ramah akan tugas keluarga dan tidak memperhitungkan faktor keamanan perempuan.

Pada derajat ini, hambatan struktural, kultural dan juga ditopang oleh teks agama menjadi palang pintu besar untuk perempuan berpartisipasi mengawasi pemilu. Sehingga asa agar perempuan tampil sebagai pengawas pemilu tidak dapat diwujudkan secara nyata.

Tingkatkan Partisipasi Sejak Dini

Pada derajat awal yang tampaknya perlu diperahtikan adalah memberikan kesadaran bersama bahwa pemilu penting. Bahwa pemilu harus diperhatikan oleh perempuan. Dorongan kesadaran ini dalam rangka untuk memutus apatisme perempuan dalam mengawasi pemilu.

Pada derajat selanjutnya, kesadaran yang terbentuk harus ditopang oleh kemampuan dan skill sebagai pengawas pemilu. Beruntung Bawaslu RI telah memiliki program tentang Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif. Dalam kerangka ini, kelompok perempuan tampaknya harus menjadi sasaran pertama dalam mengembangkan partisipasi perempuan.

Di sisi lain tampaknya juga perlu ditopang oleh regulasi yang jelas perihal pengawas perempuan dan juga tingkat partisipasi pemantau perempuan dalam mengawasi pemilu. Hal ini sekali lagi untuk menjamin perrempuan agar dapat kesempatan yang sama sebagai pengawas pemilu atau pemantau pemilu.

Pada akhirnya, mendorong perempuan dan meningkatkan partisipasi perempuan merupakan upaya untuk menguatkan negara. Karena sekali lagi, perempuan merupakan tiang negara. Jika negara kuat, maka perempuan akan kuat. Mari tingkatkan partisipasi perempuan sejak dini. 

beras