PB PMII: Amerika Serikat Terang-terangan Mendukung Ukraina
Berita Baru, Jakarta – Hari ini, dunia internasional digemparkan oleh berita perseteruan antara Rusia dan Ukraina. Perang ini terjadi setelah ketegangan yang kian meningkat selama berbulan-bulan antara kedua negara.
Konflik yang berdampak terhadap politik dunia dan sistem pasar global ini mendapat banyak respons, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII Yanju Sahara menjelaskan konflik ini juga berdampak pada bidang ekonomi dan politik.
“Dalam bidang ekonomi, indeks harga saham di bursa efek sampai berwarna merah, harga minyak pun ikut melambung tinggi. Dalam bidang politik, semakin memanaskan ketegangan antara blok barat dan blok timur, ” jelasnya saat dihubungi Beritabaru.co pada Jumat (25/02/2022).
Menurut Yanju, konflik ini bisa dikatakan belum memiliki ujung yang jelas karena kedua belah pihak memiliki argumennya masing-masing.
“Ukraina berhak menentukan arah kebijakan politiknya untuk bergabung dengan Uni Eropa, namun Rusia mengklaim jika Ukraina ikut masuk, maka keamanan nasional Rusia akan terancam karena kehadiran blok barat di kawasan Eropa Timur, ” tuturnya.
Ia juga menyebutkan, langkah Rusia melanggar ketentuan hukum internasional sebab melanggar kedaulatan Ukraina dengan mengancam serta mendikte politik luar negeri yang berdaulat.
Menurutnya pula, konflik ini juga berpotensi bisa meluas dan berdampak ke Indonesia.
“Indonesia bisa membantu untuk mendinginkan tensi dengan cara memanggil dubes Ukraina dan Rusia untuk menganalisa ketegangan yang terjadi sembari membangun strategi mediasi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut, ” tambah Yanju.
Ia menilai, Amerika Serikat secara terang-terangan mendukung Ukraina dengan cara mengirimkan pasokan persenjataan untuk tentara Ukraina. Pihak Amerika mensiagakan pasukannya di sekitar wilayah Ukraina guna mendukung perlawanan terhadap Rusia.
Sedangkan PBB, sangat sulit untuk bersikap karena Rusia merupakan salah satu negara yang memiliki hak veto penuh, sehingga PBB sangat dilematis.
Aneksasi yang dilakukan Rusia, menurut Yanju, menyebabkan wilayah Krimea yang sebelumnya merupakan bagian dari kedaulatan Ukraina harus beralih menjadi milik Rusia.
“Semua bermula sejak jatuhnya Presiden Ukraina Viktor Ganukovych yang disebabkan oleh adanya gerakan Eurosquare, ” tuturnya.
Dalam paradigma Hukum Internasional, intervensi Rusia telah melanggar ketentuan karena memberikan dukungan kepada kelompok separatis di wilayah Donbass dan juga memberikan ancaman berupa invasi militer secara ilegal ke negara tetangganya.
“Pelanggaran pertama pada Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB tentang larangan penggunaan kekerasan, kedua, Resolusi Majelis Umum PBB No. 2131 Tahun 1965 tentang Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty, ketiga, Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 Tahun 1970 tentang The Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States, keempat, Resolusi Majelis Umum PBB No. 3314 yang dikeluarkan tanggal 14 Desember 1974 tentang agresi, ” tuturnya.
Selain itu, menurut Yanju, intervensi Rusia juga melanggar perjanjian bilateral yang sudah disepakati oleh kedua negara. Yaitu, Memorandum on Security Assurances in connection with Ukraine’s accession to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons, memorandum non proliferasi senjata nuklir di Budapest pada tanggal 5 Desember 1994. Serta, Agreement Between Russian Federation and Ukraine on Status and Conditions of Staying of the Black Sea Fleet of Russian Federation on Ukrainian Territory pada Tahun 1997.
“Perjanjian bilateral tersebut menyatakan bahwa pemerintah Rusia harus menghormati kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina. Dan tidak akan menggunakan ancaman atau kekerasan seperti intervensi militer terhadap kedaulatan wilayah Ukraina, ” pungkasnya.