Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Politik Dinasti: Catatan Hitam Demokrasi di Indonesia

Politik Dinasti: Catatan Hitam Demokrasi di Indonesia



Berita Baru, Surabaya – Politik dinasti hingga kini masih menjadi salah satu hal yang cukup sulit untuk ditinggalkan. Padahal praktik ini memiliki banyak sekali peluang dampak buruk. Seperti otoritas kekuasaan, korupsi, nepotisme dan lain sebagainya.

Namun, disisi lain memang semua orang berhak untuk memegang jabatan pemerintahan. Jadi, memang tidak ada larangan untuk adanya praktik politik ini. Tapi, keberadaannya memang masih menjadi polemik.

Indonesia masih menjadi salah satu negara yang masih menggunakan politik trah ini. Hal itu memang cukup dibenci oleh banyak orang. Namun, kenyataannya praktik ini sudah sangat mengakar dan susah untuk dihapuskan.

Politik Dinasti Masih Menjadi Catatan Hitam Demokrasi di Indonesia

Dari masa ke masa praktik ini masih cukup kental. Bahkan, semakin banyak dan jelas contoh-contoh dinasti yang bisa kita lihat. Hal itu pastinya menjadi salah satu keresahan dari banyak pihak.

Pada tahun 2015 sebenarnya sudah ada angin segar tentang penghapusan praktik politik ini. Ya, dengan munculnya UU No. 8 Tahun 2015 yang mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Dalam pasal 7 huruf r menyatakan bahwa calon kepala daerah tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan petahana.

Calon kepala daerah tidak boleh memiliki hubungan dengan petahana, seperti hubungan ayah, ibu, adik, kakak, ipar, paman, bibi, dan menantu. Namun, bukan berarti mereka tidak bisa menjabat sebagai pejabat pemerintahan. Pencalonan lagi boleh dilakukan dengan catatan petahana sudah melewati satu kali masa jabatan.

UU ini muncul lantaran adanya 59 kepala daerah terpilih pada tahun 2014 yang masih memiliki ikatan keluarga dengan petahana. Peraturan ini sudah tentu menjadi salah satu aturan yang banyak dinantikan oleh masyarakat.

Namun, pada akhirnya peraturan ini dibatalkan oleh MK. Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 I Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. Nah, itulah yang membuat tidak adanya larangan politik dinasti hingga detik ini.

Praktik Politik Trah

Sekarang ini, praktik politik berbasis dinasti bukan lagi sekadar fenomena politik, melainkan telah menjadi pandemi politik yang merambah ke berbagai wilayah tanpa terkendali. Proliferasi praktik politik dinasti ini jelas akan mengancam perkembangan demokrasi yang sehat di Indonesia. Dengan politik trah, pengelolaan negara dan pemerintahan dapat terjadi di dalam ‘ruang kamar’.

Penyakit politik dinasti tersebut bukan hanya ada di lembaga legislatif, melainkan juga eksekutif. Berdasarkan hasil riset Lembaga Studi Negara Institute (LNSI) mencatat sekitar 17,22% anggota DPR periode 2019-2024 adalah bagian dari politik trah, karena terkait dengan pejabat publik, baik melalui hubungan keluarga, perkawinan, atau gabungan keduanya.

Pada masa ini masih banyak sekali praktik politik trah yang bisa kita temukan. Misalnya, Gibran Rakabuming Raka yang menjabat sebagai Walikota Solo, Bobby Nasution yang menjadi walikota Medan. Keduanya merupakan Alanak dan menantu dari Presiden yang menjabat pada periode ini.

Selain itu, pastinya masih ada banyak sekali kasus yang bisa kita temukan. Misalnya, Anggota DPR pada masa jabatan tahun 2019-2024 ini. Salah satunya adalah Achmad Dimyati Natakusumah dan Anaknya Rizki Aulia Rahman Natakusumah yang sama-sama menjabat sebagai anggota DPR RI, masing masing dari Partai PKS dan Demokrat.

Prediksinya, pada tahun 2024 yang akan datang fenomena politik berbasis dinasti akan semakin merebak. Baik dalam konteks pemilihan legislatif maupun Pilkada. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan mereka, sehingga tidak jatuh ke tangan pihak lain.

Faktor Pendorong

Politik dinasti yang muncul pada saat ini sudah cukup mendarah daging. Praktik politik trah di Indonesia telah mengalami pertumbuhan karena beberapa faktor. Pertama, ketiadaan regulasi yang membatasi partisipasi dalam politik. 

Putusan Mahkamah Konstitusi menghapuskan larangan konflik kepentingan bagi calon kepala daerah. Kedua, lemahnya sistem internal partai politik dengan kaderisasi yang macet dan preferensi terhadap ikatan keluarga daripada merit sistem. 

Selanjutnya, tindakan politik pragmatis mencari calon yang terhubung dengan pejabat yang memiliki peluang menang. Selain itu juga adanya dominasi oligarki politik dalam partai dan rendahnya literasi politik pemilih tentang dampak negatif politik trah.

Dampak

Praktik politik dinasti ini akan memiliki dampak yang cukup buruk untuk keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Pertama, praktik ini menghambat sistem kaderisasi di partai politik, menggantinya dengan popularitas dan kekayaan sebagai kriteria utama.

Ini menghasilkan calon instan tanpa proses kaderisasi. Kedua, politik trah menghasilkan oligarki politik, dengan akses eksklusif ke kekuasaan. 

Ketiga, data KPK menunjukkan korelasi antara politik kekerabatan dan praktik korupsi, seperti yang terlihat di Provinsi Banten. Pemahaman ini penting agar pemilih tetap objektif dan mencegah manipulasi emosional dalam politik.

Pencegahan

Praktik politik dinasti dalam demokrasi elektoral sulit dicegah, tetapi bisa dibatasi. Pertama, negara harus memiliki regulasi yang kuat untuk mencegah penyebaran dinasti. Kedua, partai politik perlu menerapkan sistem kandidasi yang adil dan meritokrasi. 

Berikutnya, pendidikan pemilih yang rasional dan terstruktur diperlukan. Edukasi politik yang kuat harus membangun literasi politik yang kritis. Pemilih harus memilih berdasarkan visi, misi, dan kualitas program kerja, bukan karena faktor dinasti politik. 

Keputusan pemilih berdampak besar selama lima tahun ke depan. Gunakan hak pilih secara rasional dan bertanggung jawab. Suara rakyat menentukan arah perubahan dan perbaikan bangsa/daerah. Pemilih cerdas diharapkan memilih pemimpin berkualitas dalam pemilu/pilkada mendatang.

Politik dinasti memang menjadi salah satu masalah yang cukup sulit untuk diatasi. Untuk bisa mengatasi hal tersebut tentunya harus ada kesadaran dari banyak pihak. Nah, hal tersebut bisa kita mulai dari diri kita sendiri.

beras