Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu
Penyair dan Dramawan yang dijuluki “si Burung Merak”, WS Rendra membacakan puisi di sebuah apartemen mewah di Jakarta Selatan, Kamis (4/2/2004) malam. ANTARA FOTO/pandu dewantara.

Puisi WS Rendra Kupanggil Namamu



Puisi Dr.H.C Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. atau akrab sebagai WS Rendra adalah penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater berkebangsaan Indonesia.

WS Rendra dikenal dengan puisi-puisinya yang menggambarkan kehidupan sosial-politik Indonesia.

Salah satunya, dalam buku kumpulan sajak W.S. Rendra dengan judul “Blues untuk Bonnie” yang terbit pertama kali tahun 1971.

Cengkraman rezim Orde Baru yang membatasi masyarakat dalam menyuarakan isi hatinya. Keadaan yang demikian, menimbulkan pemberontakan batin bagi Rendra.

Pemberontakan batin ini mendorong dirinya untuk menuliskan sajak-sajak. Salah satunya, sajak berjudul Kupanggil Namamu.

Berikut Puisi Kupanggil Namamu Karya WS. Rendra

KUPANGGIL NAMAMU

Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengarku?

Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.

Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia
Tak ada yang bisa kujangkau
Sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.

Berulang kali kupanggil namamu
Di manakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggil namamu.
Kupanggil namamu.
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan ?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memperdulikan hal yang besar saja.

Seribu jari dari masa silam
menuding kepadaku.
Tidak
Aku tak bisa kembali.

Sambil terus memanggil namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
Penuh. Dan Prawan.

Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.

beras