
Ruang Desa, Api Literasi dari Pinggiran Ponorogo
Berita Baru, Ponorogo – Siapa sangka, dari Dusun Medang, Desa Sampung, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, lahir sebuah gerakan literasi yang hidup dan di tengah masyarakat. Bernama Ruang Desa, komunitas ini bukan sekadar taman bacaan masyarakat, melainkan ruang belajar yang menyatukan buku, budaya, dan cita-cita anak muda desa dengan mottonya Aksara, Edukasi, Berkumpul Ria dan Kearifan Lokal.
Ruang Desa adalah komunitas literasi dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang digagas oleh Samsul Hadi, ia tak sendirian bersama kawan kawanya yang sadar akan pentingnya gerakan kemajuan.
Bersama pemuda asli desa setempat. Komunitas ini berdiri bukan dari kemewahan fasilitas, melainkan dari gerakan kolektif, lemari bekas, dan semangat kebersamaan. Di sinilah literasi ditempatkan sebagai jalan perubahan yang membumi.
Samsul Hadi, seorang anak petani dan alumni IAIN Ponorogo, memulai gerakan ini sejak masih kuliah semester lima. Ia saat ini memadukan peran sebagai guru, petani, dan aktivis literasi. Bagi Samsul, literasi bukan soal tumpukan buku, melainkan soal mengolah daya berpikir, mempertahankan budaya, dan menghidupkan desa dari dalam.
Sekretariat komunitas ini berada di Dusun Medang, Desa Sampung. Meski jauh dari pusat kota, Ruang Desa justru menjadi magnet baru bagi anak-anak, remaja, hingga orang tua yang ingin ikut belajar, membaca, atau sekadar berdiskusi tentang sejarah dan kebudayaan lokal.
Komunitas ini mulai aktif sejak tahun 2022 tepatnya pada tanggal 4 Februari. berawal dari gagasan sederhana dan berkembang secara organik. Aktivitasnya semakin konsisten seiring meningkatnya partisipasi masyarakat.
Mulai dari Lapak Baca, Panggung Sastra, Diskusi Sejarah Desa, pelatihan menulis, dokumentasi budaya, Ngangsu Kaweruh. Pasrawungan wacana hingga kegiatan edukatif untuk anak-anak. Ruang Desa berusaha menjadikan literasi sebagai aktivitas sehari-hari yang menggembirakan, tanpa tekanan, dan menyentuh akar kehidupan desa.
Tanpa dana besar Ruang Desa berjalan dengan semangat kolektif. Rak buku dari kayu bekas, koleksi dari sumbangan, dan relawan yang datang silih berganti menjadi bahan bakar utama. Bahkan diskusi kadang berlanjut ke obrolan santai tentang masa kecil menjadikannya ruang yang sangat manusiawi dan akrab.
Di tengah gempuran budaya digital dan instan, Ruang Desa menjaga jati diri masyarakat. Ia menunjukkan bahwa desa tak harus jadi penonton kemajuan, tapi bisa jadi pelaku perubahan berbasis akar budaya. “Kami ingin anak-anak kenal teknologi, tapi juga paham cara menanam,” kata Samsul.
Ruang Desa adalah simbol bahwa perubahan tak selalu dimulai dari kota besar. Ia tumbuh dari pinggiran, dari buku bekas, dan dari semangat anak muda yang mencintai desanya. Kalau Anda sedang di Ponorogo, sempatkan mampir ke Dusun Medang Desa Sampung Kecamatan Sampung. Siapa tahu, Anda tak hanya menemukan buku tapi juga menemukan kembali semangat yang lama hilang.